LATAR
BELAKANG
Memasuki abad XXI bangsa Indonesia
masih dihadapkan pada persoalan krusial pada berbagai segi kehidupan baik sosial,
budaya, ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Tingkat kemiskinan dan
pengangguran menunjukkan tren semakin tinggi (tahun 2005, 15.97 %, 2006, 17.75
%) dunia industri yang begitu didewakan sebagai soko guru pembangunan sepanjang
Orde Baru begitu rapuh, demikian juga fenomena disintegrasi merebak dimana-mana
menjadi tontonan yang semakin jelas
untuk kita saksikan. Banyak ahli berpendapat, bahwa sistem ekonomi kapitalis
yang monopolistik yang telah menggurita di Indonesia itulah penyebab utama terpuruknya
kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, diperparah dengan kondisi begitu
rapuhnya jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa.
Sebenarnya sejak tahun 1970-an telah banyak kritik terhadap sistem ekonomi
kapitalis, karena dipandang tidak mampu mensejahterakan umat manusia secara
adil dibanyak negara di dunia bahkan justru menciptakan keterbelakangan dan
ketergantungan. Kondisi
keterbelakangan antara lain merupakan produk historis hubungan negara kolonial
dengan negara terjajah, negara miskin dengan negara maju. Selain itu adanya polarisasi hubungan
satelit-metropolis merupakan sebab langsung keterbelakangan karena hubungan itu
menyebabkan terbangunnya mekanisme pengambilan surplus oleh negara pusat dari
negara satelit. Akan tetapi penguasa Indonesia pada periode itu justru ikut “bermain”
dalam ekonomi “kapitalis yang monopolistik” sebagaimana tercermin dari produk hukum berupa UU No. 5/ tahun 1967 tentang
Kehutanan. Menyertai implementasi UU ini adalah pemberian hak-hak pada pemodal
luar negeri maupun dalam untuk memanfaatkan hutan sebagai areal industri. Untuk
itu ada Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI), UU No. 11/ 1967 tentang Pertambangan. Sebagai
implementasi dari UU ini ada Kontrak Karya Pertambangan dan lain-lain, yang
memberi peluang pemodal mengekplorasi dan mengeksploitasi potensi pertambangan
kita, disusul
juga UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan sebagainya.
Baru pada tahun-tahun
terakhir pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto mencanangkan gerakan
Kebangkitan Kebangsaan Nasional II (gerakan nasionalisme II). Tampaknya ada
beberapa isu penting dibalik pencanangan gerakan itu. Pertama, secara eksplisit Presiden Suharto ingin menggelorakan
kembali semangat nasionalisme yang menunjukkan fenomena memudar yang
diindikasikan oleh apatisme dan frustasi massa yang meluas sebagai akibat dari
kerapuhan-kerapuhan dalam pembangunan ekonomi dan politik selama kekuasaannya.
Melalui gerakan kebangkitan nasionalisme II itu ia ingin mendapatkan dukungan
lebih kuat dari semua elemen bangsa. Kedua,
secara implisit pencanangan gerakan itu sangat
terkait dengan upaya Presiden Suharto dalam
membangun merek diri (personal branding)
dan merupakan manifestasi dalam upayanya untuk memperkuat legitimasi kekuasaan
yang dimilikinya.
Realitasnya
gerakan itu hanya menyentuh tataran retorika, tidak pernah berhasil menyentuh
pada tataran subtansi dari kehidupan rakyat banyak, sehingga sama sekali tidak
berpengaruh terhadap kebangkitan nasionalisme II. Pertanyaannya adalah mengapa
upaya untuk menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasioalime bangsa
Indonesia, sulit untuk dilakukan. Apakah ada yang salah dari kondisi dan cara
berfikir bangsa Indonesia dewasa ini sehingga sulit diajak melakukan manufer
menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasionalisme dalam rangka melakukan
loncatan historis untuk mencapai perkembangan yang spektakuler sebagaimana yang
terjadi pada awal abad XX. Untuk itu tulisan ini akan memaparkan beberapa
permasalahan yang menarik; pertama,
bagimana perkembangan nasionalisme Indonesia pra kemerdekaan yang bergerak dari
skala etnisitas ke arah kerakyatan (populist)
dan kebangsaan (nationality); kedua, mengapa upaya menggelorakan
kembali nasionalisme dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini begitu sulit dilakukan;
ketiga, bagaimana pentingnya
nasionalisme sebagai landasan bagi pengembangan entrepreneur.
II. METODE
Dalam mengkaji nasionalisme dan
landasan pengembangan entrepreneur digunakan metode sejarah. Menurut Garraghan, metode sejarah merupakan seperangkat
aturan dan prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah
secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesa hasil-hasil
yang dicapai dalam bentuk tertulis. Sementara itu Gottschalk mendefinisikan
metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman
dan peninggalan masa lampau. Dalam
menerapkan metode sejarah ini ada empat langkah kegiatan yang dilakukan, yaitu;
(1) Heuristik, yaitu pengumpulan sumber baik berupa sumber primer (arsip,
dokumen, dll.) maupun sumber sekunder (jurnal, buku), (2) Kritik, intern dan
ekstern terhadap sumber sejarah yang diperoleh (penilaian kritis terhadap
sumber sejarah yang berguna untuk memastikan apakah data/sumber yang ditemukan
asli/otentik ataukah palsu dan apakah data tersebut dapat dipercaya/kredibel
atau bohong), (3) Interpretasi yang merupakan analisis dan sintesis terhadap
fakta-fakta yang telah ditemukan dari sumber sejarah yang dalam penelitian
sosiologi disebut analisa data, (4) Historiografi, yaitu kegiatan
merekonstruksi peristiwa masa lampau dalam bentuk kisah sejarah yang harus
dituangkan secara tertulis.
III. PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan Nasionalisme
Indonesia Periode Pra
Kemerdekaan
Tumbuhnya nasionalisme Indonesia
berkaitan erat dengan sistem politik kolonial Belanda yang memposisikan bangsa
Indonesia sebagai bangsa terjajah yang harus dikuasai dan dieksploitasi segala
sumberdaya yang dimilikinya. Pada waktu itu kriteria etnik dan ras dijadikan
dasar dari struktur hukum dalam masyarakat kolonial Indonesia. Sebagaimana
tercermin pada pasal 109 Peraturan Pemerintah (Regeerings-reglement) tahun 1854, diadakan pembedaan antara “Orang
Eropa dan orang-orang yang dipersamakan” di satu pihak dan “pribumi” di pihak
lain. Pada awalnya kategori “pribumi” mencakup orang-orang Cina, Arab dan
sebagainya, tapi dalam perkembangannya mereka dipisahkan mejadi kelompok
sendiri dengan sebutan “Timur Asing” yang menduduki kelas kedua setelah
kelompok Eropa, sedangkan bangsa Indonesia ditempatkan pada kelas terendah.
Kiranya kondisi struktural ini secara kultural telah menjadikan bangsa
Indonesia mengindap minderwaardigheids-complex,
semacam sindrom rendah diri yang kronis.
Selain itu pemerintah
kolonial selalu berusaha memperkuat hegemoni kekuasaan secara politik. Dalam
hal ini posisi negara dan rakyat cenderung berhadap-hadapan, sehingga situasi
konflik menjadi sesuatu yang laten. Kekuatan kolonial memperkuat posisi negara
kolonial, sedangkan posisi rakyat terjajah semakin diperlemah. Proses penguatan
negara kolonial (strengthening of the
colonial state) ini berlangsung sepanjang abad XIX dan mencapai puncaknya
pada perempat akhir abad itu ketika berlangsung proses birokratisasi
pemerintahan di Hindia Belanda/Indonesia.
Proses penguatan negara
kolonial itu berjalan seiring dengan ekspansi ekonomi. Bahkan dapat dikatakan,
bahwa penguatan negara kolonial itu pada dasarnya dalam rangka untuk melakukan
ekspansi ekonomi. Suatu kondisi yang kontradiktif, jika di negeri induk Belanda
memberi kebebasan rakyat dan dunia swasta, sebaliknya di negeri koloni
pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang intervensionis baik dalam politik
maupun ekonomi. Dalam konteks ini daerah koloni dalam posisi sebagai daerah
eksploitasi (wingewest) yang harus
mendatangkan keuntungan bagi negeri induk. Jadi fungsi negeri jajahan hanya
sebagai sapi perahan. Melalui masuknya modal swasta Eropa ke Indonesia
berkembang industri di berbagai sektor baik pertanian, perkebunan maupun
pertambangan. Berkaitan dengan itu lahir kebijakan ekonomi politik yang sangat
eksploitatif seperti tanam paksa, kerja rodi dan lain lain. Oleh karena itu
potret masyarakat Indonesia pada waktu itu berada dalam penderitaan
multidimensi, yaitu secara kultural terhina, secara politik terbelenggu dan
secara ekonomi tereksploitasi.
Demikian juga program
Politik Etis yang diusung pemerintah kolonial pada awal abad XX yang secara
retorik ditujukan untuk “membalas budi” masyarakat jajahan dengan
mensejahterakan, tidak lebih sebagai alat bagi pemerintah kolonial untuk
meneguhkan kembali kekuasaannya atas masyarakat koloni yang seperempat abad
terakhir dalam hisapan pemodal swasta Eropa. Dalam kerangka politik etis ini,
negara yang menentukan konsep kesejahteraan secara ekonomi maupun politik
dengan membangun persepsi, bahwa rakyat sebagai kawulo dan pemerintah sebagai gusti
yang “berwenang” untuk menjadi pangreh
praja (yang memerintah negara). Tidak berlebihan jika bersamaan dengan
pelaksanaan politik etis ini diiringi dengan ekspansi dan penaklukan yang
brutal atas daerah-daerah koloni antara lain seperti Aceh, Lombok, Bone, Seram
dan lain lain.
Menghadapi penderitaan
multidimensi tersebut, bangsa Indonesia dari perbagai daerah koloni selalu
melakukan perlawanan (resistens) dan
resistensi ini telah menjadi bagian yang integral dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia. Untuk itu sepanjang abad XIX banyak dijumpai aneka macam
bentuk perjungan bangsa Indonesia untuk membebaskan belenggu kolonial,
perlakukan yang diskriminatif maupun perampasan kemakmuran baik dalam skala
kecil maupun skala besar seperti perang Aceh, perang Padri, perang Diponegoro,
perang Pattimura. Berbagai perjuangan itu jelas masih bersifat lokal kedaerahan
dan nasionalisme belum terbentuk secara
konkrit.
Nasionalisme Indonesia
mulai muncul dalam bentuk yang konkrit pada abad XX di mana nasionalisme muncul
sebagai bagian dari proses berlangsungnya wacana intelektual sebagai
konsekuensi logis dari perkembangan pendidikan moderen sejak akhir abad XIX.
Pada tahap awal, benih-benih nasionalisme masih banyak diwarnai oleh perasaan
etnisitas atau kesukuan yang tinggi. Budi Utomo sendiri yang dianggap sebagai
organisasi pergerakan nasional yang pertama di Idonesia, pada awalnya lebih
memiliki perhatian pada etnik Jawa (dan Madura). Demikian juga para pemuda,
yang secara umum memiliki semangat pembaharuan dan revolusioner, pada waktu itu
juga masih terkotak-kotak dalam organisasi yang berbasis etnik dan kedaerahan
serta ikatan primordial seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond,
Jong Islamiten Bond, dan sebagainya. Perasaan kesukuan dan kedaerahan serta
keagamaan ini pula yang menjadi salah satu penyebab gagalnya Konggres Pemuda I.
Prasangka kesukuan masih cukup mewarnai wacana interaksi sosial diantara
kelompok pada waktu itu. Barangkali apa yang dibayangkan oleh sebagian dari
pemuda pada waktu itu bukan nation-state
sebagaimana yang kemudian terbentuk, tetapi lebih mendekati kepada konsep ethno-nation yaitu kebangsaan yang
dibangun atas kesamaan etnik.
Pada tahap perkembangan
berikutnya, nasionalisme dengan corak kerakyatan dan kebangsaan cukup menonjol.
Corak kerakyatan dapat dijumpai pada organisasi Sarekat Islam (SI). Pada
awalnya SI merupakan suatu gerakan kaum menengah Islam yang menentang dominasi
kaum pedagang Cina. Namun demikian dalam proses selanjutnya SI berkembang
menjadi gerakan kerakyatan yang membela kaum pribumi yang mayoritas Islam dari
penindasan kolonialisme. Proses radikalisasi SI terjadi sejalan dengan
interaksi ideologis antara Islamisme dan Komunisme. Banyak tokoh SI yang
memiliki simpati dengan metode perjuangan ala komunis menjadi tokoh-tokoh
kerakyatan yang radikal bukan hanya dalam melawan kolonialisme tetapi juga
feodalisme yang juga dipandang memiliki sifat menindas rakyat.
Sementara itu nasionalisme
yang bercorak kebangsaaan antara lain dapat dijumpai pada organisasi Indische
Partiij dan PNI. Munculnya kesadaran “kebangsaan Indonesia” tentu berkaitan
dengan semakin banyaknya kaum terpelajar yang lahir dari “pendidikan kaum
tertindas”. Dengan kemampuan dan kesempatan yang diperolehnya, mereka bisa
mengikuti perkembangan kapitalisme dan kolonialisme yang sedang mengalami
kekalutan. Mereka melihat bahwa nasionalisme yang akan melahirkan negara
bangsalah yang akan mampu menggantikan kedudukan dan peran negara kolonial.
Nasionalisme Indonesia periode pra kemerdekaan dapat dikatakan telah
berhasil dalam mengantarkan kepada proses formasi bangsa Indonesia yang
berpuncak pada Proklamsi 17 Agustus 1945. Hal itu karena nasionalisme
benar-benar menjadi jiwa dan semangat dari segenap derap perjuangan bangsa
Indonesia yang diekspresikan melalui berbagai organisasi pergerakan nasional.
Organisasi-organisasi pergerakan nasional pada waktu itu betul-betul aktual
sesuai dengan kondisi masyarakat dan para tokoh memiliki kemandirian dan
kemampuan mengartikulasikan dan “merealisasikan” cita-cita masyarakatnya.
3.2. Nasinalisme Dan Kemandirian Bangsa
Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi yang
meletakkan kecintaan, kesetiaan dan komitmen tertinggi pada negara kebangsaan.
Unsur utama yang terkandung dalam konsep nasionalisme itu adalah keinginan
untuk hidup bersama sebagai suatu komunitas bangsa yang memiliki tujuan dan
cita-cita yang hendak diraih bersama. Dengan demikian pemikiran dan tingkah
laku seorang nasionalis senantiasa didasarkan pada kesadaran menjadi bagian
dari suatu komunitas bangsa dan berorientasi pada pencapaian tujuan bersama
sebagai bangsa.
Sebagaimana telah
disinggung nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai respon atas
kolonialisme. Kesamaan nasib sebagai sesama kaum terjajah merupakan suatu
ikatan kuat diantara etnik-etnik di Indonesia untuk menjalin ikatan perjuangan,
sedangkan keinginan untuk merajut masa depan yang lebih gemilang mendorong
untuk membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai manifestasi dari nasionalisme. Suatu
hal yang luar biasa adalah nasionalisme ini mencapai tingkatan tertinggi dengan
dirumuskannya hal itu secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu berkehendak
membangun suatu negara bangsa (nation-state)
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.
Persoalannya
adalah setelah Indonesia merdeka,
masih perlukah nasionalisme itu dimiliki oleh bangsa Indonesia, untuk
kepentingan apa, dan dalam bentuk yang bagaimana. Indonesia
sebagai negara merdeka berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
merupakan daerah bekas koloni Belanda memiliki wilayah yang sangat luas yaitu
sekitar 587.000 km2, jarak dari barat ke timur lebih panjang dari pada jarak
antara London dan Siberia. Wilayah itu merupakan kawasan kepulauan terbesar di
dunia yang terdiri dari sekitar 17.508
pulau besar dan kecil yang dihuni oleh ratusan suku bangsa. Dengan
kondisi objektif yang demikian itu, agar Indonesia tetap eksis sebagai negara
yang merdeka dan berdaulat tentu mutlak tetap diperlukan nasionalisme, meskipun
dalam bentuk yang fleksibel kontekstual
sesuai dengan kebutuhan dan tantangan pada jamannya.
Ir. Soekarno
sebagai salah seorang founding father
dan Presiden pertama negara RI, selama masa kekuasaannya ideologi nasionalisme
diarahkan untuk mendesain suatu nation
state dengan fundamen nation and
character building. Kebijakan-kebijakannya sangat nasionalistik dan
berkarakter untuk membangun kemandirian bangsa dalam rangka mewujudkan
cita-cita kemerdekaan seperti yang diamanatkan dalam bagian Pembukaan UUD 1945.
Hal tersebut juga tercermin dari perlawanannya yang gigih terhadap
kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Secara garis besar dapat dikatakan,
bahwa nasionalisme yang dibangun dan digelorakan Soekarno berhasil memadukan
relasi masyarakat-negara ke dalam ikatan solidaritas sosial yang berhasil
meleburkan sekat-sekat primordialisme sebagai penggerak persatuan bangsa.
Dalam
pandangan Soekarno, nasionalisme adalah dasar untuk membangun kemandirian
bangsa dan kemandian bangsa adalah modal utama untuk mewujudkan cita-cita
kemedekaan, yaitu bangsa yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis. Program-program yang
diarahkan untuk itu antara lain “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang
berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk
impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri pribumi dari
tekanan kekuatan non pribumi. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Kemandirian tidak terbatas secara ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu
pada era Soekarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh
integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan
separatis seperti DI/TII, PRRI/PERMESTA, RMS, OPM, dan sebagainya. Bahkan dari
hal ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan di negara-negara
bekas koloni di kawasan Asia Afrika (AA), karena mampu tampil sebagai pelopor
dalam gerakan AA, gerakan Non Blok, Nefo, dan lain- lain.
Memasuki era Soeharto bahkan hingga dewasa ini, nasionalisme dan
kemandirian bangsa seakan “tergadaikan”, tidak jelas bentuk dan fungsinya,
sehingga tampak jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selama
orde baru kebijakan penguasa lebih diletakkan pada ideologi “developmentalism” yang bergerak ke arah
formula administrative-state, sehingga
lahirlah monopoli negara di satu sisi dan pemisahan negara dan masyarakat pada
sisi yang lain. Kebijakan pembangunan sangat dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran ekonomi kelompok ekonom
yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang bekerja dengan tim
penasehat asing (Amerika dan Badan Internasional atau Transnasional
Corporation). Dengan kondisi yang demikian, Indonesia telah menjerumuskan
diri dalam pusaran kekuatan ekonomi kapitalis dan ikut “bermain” dalam ekonomi
“kapitalis yang monopolistik”. Dalam konteks yang demikian tentu sulit bagi
kita untuk dapat menemukan aktualisasi dari jiwa dan semangat nasionalisme dan
mustahil kita dapat memiliki kemandirian sebagai bangsa.
Tidak berlebihan jika
kemudian kita simpulkan, bahwa nasionalisme dan kemandirian bangsa Indonesia
hingga dewasa ini sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal
ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan kemudian terjerat dalam
skenario ekonomi “kapitalis yang monopolistik”, melainkan telah sangat pandai
ikut “bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi
asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain. untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam Indonesia. Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia
yang dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan, kemiskinan dan
kehancuran masyarakat lokal yang menjadi bagian integral dari masyarakat
nasional (bangsa Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai bangsa
tidak lagi cukup kuat memiliki nasionalisme dan kemandirian. Ini adalah fakta
aktual yang harus kita hadapi dan sikapi secara kritis sebagai anak bangsa.
Sebagaimana
kita ketahui Freeport adalah korporasi milik Amerika Serikat yang telah
mengangkangi tambang emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur lebih
dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton perak. Selama 30
tahun lebih dan belum lama diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi
kekayaan itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun. Sebagai kompensasinya
Freeport hanya memberi bagi hasil (profit
sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat bersih di luar pajak. Oleh karena itu kita dapat menyaksikan apa
yang terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki akses pendidikan,
35,5 % tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, dan lebih dari 70 % hidup
tanpa air bersih. Data HDI (Human
Development Index) 2004 menunjukkan, Papua menempati urutan ke-212
(terutama mereka yang tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari
300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi kerusakan ekologi yang
sangat parah yang tidak mungkin dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.
3.3. Nasionalisme Sebagai Landasan Pengembangan Jiwa
Entrepreneur
Bertitik tolak dari fakta aktual, bahwa kita sebagai
bangsa berada dalam kondisi krisis multidimensi, maka menjadi keharusan untuk
menggelorakan kembali nasionalisme terutama di kalangan mahasiswa yang
merupakan golongan intelektual kader penerus pemimpin bangsa. Dalam kehidupan
ekonomi, secara nyata kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki kemandirian
apalagi kedaulatan, sehingga krisis ekonomi yang berlangsung tidak ada prospek
kapan akan berakhir. Salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi yang
berkepanjangan di Indonesia adalah banyaknya para pebisnis atau entrepreneur
Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme.
Mereka kurang memiliki rasa “handarbeni” keberadaan bangsa Indonesia dan
keutuhan tanah air Indonesia. Oleh karena itu banyak pengusaha melarikan uangnya
ke luar negeri, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan tindakan bisnis
lain yang merugikan negara dan masyarakat termasuk pembalakan hutan secara liar
yang terjadi akhir-akhir ini dalam kasus Edelin Lis.
Sesungguhnya
upaya-upaya untuk membangun “ekonomi nasionalistik”, artinya pembangunan
ekonomi yang didasari atas semangat kebangsaan dan cinta tanah air sudah
diupayakan oleh pemerintah republik Indonesia segera setelah kemerdekaan. Pada
waktu itu, dalam ranah entrepreneurship, masih ada pembedaan tajam antara
pengusaha pribumi dan non pribumi. Kolonialisme telah mewariskan kehancuran
jiwa entrepreneurship kaum pribumi dan sebaliknya memberikan kesempatan yang
luas kepada kaum non pribumi. Akibatnya pengusaha pribumi tidak memiliki banyak
pengalaman yang signifikan dalam berbisnis. Demikian juga para ekonomom pribumi
juga tidak memiliki pengalaman mengatur perekonomian negara. Apa yang terjadi
kemudian adalah masuknya korporasi-korporasi asing yang kemudian diintegrasikan
dalam kebijakan ekonomi politik nasional yang kurang berpihak pada kepentingan
masyarakat luas. Terjadilah praktek-praktek KKN antara penguasa dan pengusaha.
Pada akhirnya dominasi ekonomi Indonesia merdeka jatuh ke tangan pengusaha
non-pribumi. Program “perlindungan” pemerinah seperti Program Benteng akhirnya
hanya menjadi selubung bagi praktek kolusi yang terkenal dengan “Ali-Baba”.
Saat ini kita masih mewarisi kondisi
sebagaimana yang digambarkan di atas, meskipun dikotomi antara pengusaha
pribumi dan non-pribumi sudah semakin meluntur. Persoalannya adalah bahwa saat
ini nasionalisme dan patriotisme, tampak sudah tidak lagi menjadi jiwa para
entrepreneur. Apalagi saat ini terjadi kemerosotan perasaan nasionalisme di
berbagai kalangan dalam masyarakat. Dengan demikian penanaman rasa nasionalisme
dan patriotisme di kalangan entrepreneur sangat diperlukan. Dengan
nasionalisme, karya usaha anak bangsa akan lebih bermakna, dan harapan untuk
kembali pada upaya menggapai cita-cita kemerdekaan bisa dicapai. Jika
nasionalisme tidak dijadikan landasan bagi pengembangan jiwa entrepreneur, kita
sebagai bangsa akan sulit untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu sebagai
bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.
DAFTAR
PUSTAKA
Baran, P and Sweezy, P. 1970. Monopoly Capital. Harmondsworth: Pelican.
Culley, Lorraine. 1977. Economic Development In
Neo-Marxist Theory. Dalam Hindess, Barry. Sociological
Theories Of The Economy. London:
The Macmillan Press Ltd.
Drake, C. Drake. 1989. National
Integration in Indonesia: Patters and Policies. Honolulu: University of
Hawaii Press.
Houben, V.J.H. 2002. Java in the 19 th
Century: Consolidation of a Territorial State. Dalam Howard Dick dkk. The Emergence of A National Economy: An
Economic History of Indonesia 1800-2000. Leiden: KITLV Press.
Kohn, Hans.1961. Nasionalisme. Arti Dan Sejarahnya. Djakarta: Pustaka Sardjana.
Lindblad, J. Th. 2002. The Outer
Islands in the 19 th Century: Contest for Periphery. Dalam Howard Dick dkk. The Emergence of A National Economy: An
Economic History of Indonesia 1800-2000. Leiden: KITLV Press.
Legge, J.D. 1977. Indonesia. Sydney: Prentice Hall.
Niel, Robert van. 1984. The Emergence of the Modern Indonesian Elite.
Dordrecht: Foris Publication.
Subijanto, Bijah. 2006. Wawasan Kebangsaan Konsepsi dan Strategi
Pemantapannya. Jakarta: Cet. Makalah Lemhanas.
Walcott, A.S.1914. Java and her neighbors: A travele’s note in
Java, Celebes, the Moluccas and Sumatra. New York and London: Knickerbocker
Press.
Y. Andaya, Leonard. 1996. Ethnonation,
nation-state and regionalism in Southeast Asia. In Proceeding of the International Symposium Southeast Asia: Global Area
Studies for the 21 th Century. Japan: Kyoto University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar