EKSISTENSI
ILMU SOSIAL ALAMAMIAH DASAR SESUAI DENGAN PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Latar Belakang
Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai banyak
kelebihan. Inilah yang disebut sebagai unsur positif, yakni suatu potensi yang
menentukan eksistensinya. Misalnya, manusia unggul dalam segi intelektual,
sehingga dalam mengarungi kehidupannya, ia mempergunakan tujuan, program
(rencana), dan mengambil langkah-langkah yang sistematis, guna mencapai tujuan
itu. Dengan keunggulan intelektualnya pula, manusia memiliki kemampuan
menanggulangi hambatan dan tantangan.
Manusia juga dikenal memiliki perasaan (emosional), yang dapat dikontrol
sehingga menjadi unsur yang produktif. Misalnya, melahirkan karya seni yang
indah, dan menakjubkan.
Manusia juga dikaruniai nafsu, yang dapat dikendalikan, sehingga menjadi
unsur psikologis yang mendorongnya untuk tetap bertahan dan mencapai kemajuan.
Tanpa nafsu, kehidupan manusia barangkali menjadi statis.
Tugas manusia adalah mengidentifikasikan unsur-unsur positif tersebut,
sehingga mampu mengelolanya menjadi “milik” yang menempatkan dirinya dalam
suatu “eksistensi” tertentu.
Eksistensi manusia mengacu pada kualitas personal. Bukan seperti yang
dimengerti oleh kalangan awam, yang biasanya mengidentifikasikan eksistensinya
dengan “status sosial”, sehingga ada anggapan bahwa orang yang disebut eksis
adalah yang kaya, punya wewenang besar, memiliki power. Hakikat eksistensi
yaitu gabungan dari unsur-unsur yang subjektif seperti etos, moral, kemampuan,
kompetensi, kecakapan.
Perlu dipahami bahwa tidak dapat dijamin orang yang memiliki status sosial
tinggi sudah pasti memiliki EGODEFENSIVE yang tinggi pula.
B. Eksistensi Sosial
Alamamiah Dasar yang Sesuai BK
Kastenbaum telah bertahun-tahun melakukan penelitian untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara perkembangan individu dan usia (waktu). Hasilnya,
waktu hanya memberikan kontribusi pada pertumbuhan fisik, sedangkan
viabilitynya sangat di tentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang kompleks.
Memang, sampai saat ini ada perdebatan yang tak kunjung selesai antara
penganut paham BEHAVIORAL GENETICS dan paham EVOLUTIVE. Paham pertama berasumsi
bahwa unsur genetis (Keturunan) mempunyai kontribusi terhadap perilaku,
temperamen, kemampuan (ability), dan sebagainya.
Sosialisasi merupakan proses pengenalan terhadap simbol-simbol,
nilai-nilai, dan perilaku dari lingkungannya yang kemudian akan direduksi
menjadi sistem nilai. Sosialisasi dimulai dengan internalisasi, yakni
penyerapan sesuatu dari lingkungan, kemudian di ikuti dengan seleksi dan
penerimaan, lalu pada akhirnya membentuk konsep diri.
Dengan demikian, sosialisasi bukanlah suatu proses yang terjadi begitu
saja, melainkan menuntut keaktifan subyek individualnya. Semakin aktif menyerap
sesuatu dari lingkungan tentu semakin banyak yang bisa diserap.
1. Tujuan hidup (Idealisme)
Eksistensi diri mempunyai makna subyektif, setiap orang mempunyai ukuran
yang berbeda-beda mengenai standar hidup, kepuasan, kebutuhan, idealisme.
Dengan demikian, eksistensi diri sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang
merumuskan tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini merupakan keinginan yang kuat untuk
mencapai atau memperoleh sesuatu. Dan dapat di artikan sebagai suatu proses
bagaimana seseorang menemukan “jati diri” (aku ini siapa ?).
Idealisme adalah suatu cita-cita yang dirumuskan secara rasional, dan
menjadi orientasi dominan dalam kehidupan seseorang. Menetapkan tujuan hidup,
mempunyai segi positif, agar tidak mudah terombang-ambing perubahan situasi dan
kondisi lingkungan, memiliki etos atau semangat untuk maju (need for
achievement) demi mencapai tujuan tersebut, agar tidak segan-segan mengerahkan
sumber daya yang tersedia demi mencapai tujuan. Dan memiliki prinsip yang kuat
dalam menggunakan “cara” (metode) dan argumentasi sebagai landasan filosofi
sikap / perbuatannya.
2. Loyalitas
Jika di teliti lebih lanjut, prinsip loyalitas sesungguhnya berlaku pada
aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya mengandung unsur integrasi
sosial, konsep loyalitas juga menuntut dilaksanakannya sejumlah tanggung jawab,
pengabdian, dan penghormatan (respek).
Loyalitas, pengabdian, atau apapun istilahnya, harus berasal dari hati
sanubari yang paling dalam. Unsur keikhlasan rela hati merupakan pembeda.
Sebuah pengabdian tanpa keikhlasan, sama dengan sikap yang dibuat-buat
(artifisial) karena adanya kepentingan itu bersifat relatif labil.
3. Moralitas
Lawrence Kohlberg (1969) memperkenalkan teori tahap-tahap perkembangan
moral yang dikenal dengan Kolhberg’s State Theory of Moral Development.
- Tahap 0 : No Morality Orientation
Yaitu pada tahap ini seorang anak tidak berbuat sesuatu, karena yang ada
dalam benaknya beru berupa keinginan. Ia belum mampu membedakan antara sesuatu
yang “menyenangkan” dan tidak menyenangkan”, dan belum memiliki moral sense
untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
- Tahap 1 : Punishment – Obedience Orientation
Yaitu pada tahap ini seseorang menaati norma-norma tentang baik buruk
berdasarkan metode “Hukuman”.
- Tahap 2 : Instrumental Hedonism and Concrete
Reciprocity
Yaitu pada tahap ini mulai tumbuh pengetahuan yang murni tentang orientasi
keakuan (egoistic orientation). Sesuatu yang baik menurut persepsinya sendiri
adalah sesuatu yang mengandung unsur hedonisme (suatu perbuatan untuk
menggunakan kesenangan).
- Tahap 3 : Orientation to Interpersonal
Relations of Mutuality
Yaitu konsep moral yang terbentuk atas hubungan dengan orang lain. Motif
dan intensitas perbuatannya dilandasi oleh keinginan untuk membangun
“kebersamaan”.
- Tahap 4 : Maintenance of Social Order, Fixed
Rules, and Authurity
Yaitu basis pengertian moralitas di bangun berdasarkan sistem nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Penggabungan pelbagai norma hukum yang universal, dan
otoritas.
- Tahap 5 : Social Contact Perspektive
Yaitu pandangan konsep moral di sesuaikan dengan konsep moral masyarakat.
- Tahap 6 : Universal Ethical Principle
Orientation
Yaitu pada tahap ini seseorang mulai merumuskan konsep moral berdasarkan
nilai-nilai etika yang universal. Seseorang sudah berpegang pada prinsip “saya
harus melakukan apa yang saya rasakan secara mendalam untuk memperoleh
kebenaran yang mendasar !”
- Tahap 7 : Contemplative Non-Egoistic
Experience
Yaitu tahap ini baru merupakan hipotesis, yang menghubungkanpengalaman
hidup dengan kontemplasi. Moral sudah menyangkut orang lain, bahkan di dorong
oleh pemahaman tentang kehidupan setelah mati.
Moral adalah suatu ajaran, tuntunan, yang membimbing manusia hidup secara
sehat. Moral mempunyai kekuatan ke dalam dan keluar. Bagi individu, moral
memberi keuntungan bagi tumbuhnya kebahagiaan sedangkan pada orang lain dan
lingkungannya menciptakan suasana yang damai, integratif, dan kondisi dinamis.
4. Kerja sama dan kompetisi
Kerja sama merupakan kodrat manusia. Ketika tantangan hidup manusia semakin
kompleks, bisa jadi perlunya pembagian tugas atau kerja yang spesifik. Setiap
orang mengambil peranan yang unik sesuai dengan apa yang bisa dilakukan. Semua
bentuk kerja sama itu pada hakikatnya adalah mengelola sumber daya (alam dan
manusia) semaksimal dan seefesien mungkin sehingga menjadi produk yang
bermanfaat. Kesejahteraan manusia
ditentukan oleh produk-produk tersebut.
Ketika suatu produk yang sama telah diproduksi oleh orang yang berbeda dan
sumber daya alam yang tersedia semakin menipis, kompetisipun tak terelakkan.
Kompetisi adalah persaingan demi menghasilkan produk yang terbaik. Kiranya
pola hidup kompetitif juga merupakan kodrat manusia. Charles Robert Darwin
mengatakan bahwa tidak ada individu yang persis sama. Setiap individu membawa
dan mempunyai eksistensi yang berbeda baik dalam hal potensi, keterampilan,
kemampuan, orientasi dan sebagainya.
Hanya saja perlu dipahami bahwa kompetisi harus dilakukan dengan landasan
moral yang tinggi, tidak menghalalkan atau menggunakan segala cara.
5. Bakat
Setiap manusia memilki potensi bawaan (genetik). Kita sering menyebutnya
sebagai “Bakat”. Ada orang yang berbakat mampu menguasai linguistik, maka hanya
belajar sebentar saja ia sudah mampu menguasai.
Ada juga orang yang pandai mereparasi radio kaset karena belajar tanpa guru
(Ortodidak). Semua itu karena yang bersangkutan memang berbakat. Tanpa upaya mengenali
diri sendiri maka bakat bagaikan mutiara yang terpendam di dalam lautan.
6. Kebutuhan
Sebagai makhluk alamiah, manusia mempunyai kebutuhan tertentu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai.
Artinya untuk menetukan segala kebutuhannya, ia harus bekerja dan berkarya.
Implementasi pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang disebut “kerja”
inilah yang dewasa ini menjadi penggerak perubahan masyarakat. Kebutuhan dan
produksi menunjukkan garis lurus yang signifikan. Kebutuhan yang semakin
meningkat merangsang manusia untuk meningkatkan produksinya. Akan tetapi, hasil
produksi yang meningkatkan produksinya.
7. Rasa Kesepian
Orang yang merasa kesepian adalah orang yang merasakan dirinya tidak lagi
berarti. Oleh sebab itu, dia kehilangan kegembiraan hidupnya. Itu dikatakan
oleh J.P. Sartie, seorang filsuf. Kesepian bisa muncul dalam berbeda-beda
bentuk seperti :
- Rasa jemu
- Rasa gelisah
- Rasa takut
Gejala kesepian tampak dari semakin banyaknya manusia yang terisolasi dari
suatu sistem karena :
-
Tidak mampu menguasai tekhnologi
-
Tidak berdaya menghadapi Hygemoni kekuatan kapitalisme
yang cenderung menciptakan dikotomi antara kelompok “Kuat” pemilik kapital dan
kelompok “Lemah” yang miskin.
-
Produk ini mobilisasi politik yang menyebabkan
unsur-unsur yang berbeda cenderung tersisih dari proses sosial.
8. Kenakalan (masa adolesen)
Dalam frekuensi yang tinggi dan skala yang meluas, perilaku yang
“menyimpang” tersebut menghadirkan pemandangan yang kurang etis. Para ahli
mempunyai interpretasi yang berbeda-beda mengenai gejala “kenakalan”.
-
Menurut Darwin, kenakalan adalah hasil proses evolusi
biologis yang di dorong oleh aktivitas intelektual.
-
Menurut G. Stanley Hall kenakalan adalah hasil proses
evolusi bentuk idealisme yang melampaui kewajaran (perfeksionis).
-
Menurut Jean Plaget kenakalan merupakan bentuk adaptasi
dari perkembangan pemikiran (intelektual).
-
Menurut Eric Ericson kenakalan lebih sering disebabkan
oleh krisis dalam menemukan identitas diri yang dialami orang bersangkutan.
-
Menurut M. K. Opier dalam J.G Holwes (Ed), Modern
Perspektive in Adolcent Psyciatry (1971), berpendapat bahwa adolesen merupakan
bentuk budaya anak muda metropolitan. Masyarakat perkotaan yang mengalami
kepatahan tatanan mendorong kelompok anak muda untuk membuat tatanan baru.
-
Menurut Azhadi Siregar, pengajar fisipol UGM
Yogyakarta, bahwa kenakalan dikatakan membahayakan jika akibatnya merugikan
orang lain.
9. Trauma
Trauma merupakan bentuk dari perasaan sensitif yang berlebihan
(Hipersensitive). Manusia sering kali gagal mengontrol emosi ketika dihadapkan
pada persoalan-persoalan pelik atau realitas yang tidak menyenangkan. Sehingga,
persoalan yang sebenarnya sederhana baginya menjadi sangat pelik.
Akibat psikologis dari trauma :
3 Orang yang bersangkutan sangat berprasangka terhadap lingkungannya,
sehingga cenderung mengucilkan diri dari pergaulan.
-
Retetan berikutnya dari kecurigaan tersebut, ada
kemungkinan orang tersebut memberikan vonis negatif terhadap dunia eksternalnya
sebelum suatu kebenaran dapat di buktikan.
-
Trauma sangat merugikan individu, karena dirinya telah
kehilangan banyak kesempatan untuk berubah.
10. Sikap sombong
Kesombongan adalah salah satu bentuk Narsisisme memuja diri sendiri,
menganggap diri sendiri lebih unggul. Kesombongan individu menimbulkan citra
yang kurang baik bagi orang lain, sehingga sangat berpengaruh terhadap
interaksi sosialnya. Bagi orang yang bersangkutan, sikap sombong menutup
kemungkinan adanya instrospeksi, sehingga mengurangi kepekaannya terhadap
kekurangan-kekurangan diri yang seharusnya diperbaiki.
11. Sikap Malas
Sikap malas mempunyai konteks sosio – kultural dan psikologis. Konteks yang
pertama berpangkal pada pandangan bahwa nilai-nilai sosial (social-values)
mengarahkan pada kondisi patalistik yakni suatu anggapan bahwa eksistensi
manusia telah digariskan oleh kekuatan adi kodrati sejak dalam kandungan.
12. Sikap Hipokrit
Mukhtar Lubis, wartawan dan sastrawan Indonesia terkemuka, menyatakan bahwa
manusia indonesia mempunyai kecenderungan bersikap hipokrit (munafik), apa yang
dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan.
Memasuki era informasi, sikap hipokrit ini sangat tidak menguntungkan.
Pesan-pesan komunikasi tidak bisa menunjukkan realitas sebenarnya. Maka,
ketidakpastianpun ada dimana-mana.
Disekitar kita padahal memasuki kehidupan modern yang serba tekhnologis
dibutuhkan rasionalitas dan kepastian (objektivitas) dalam pelbagai sektoral.
13. Kesadaran Diri (Self Awareness)
Keadaan kesadaran diri muncul ketika kita mengarahkan perhatian kita ke
dalam untuk memfokuskan pada isi diri sendiri. Menurut Brighem (1991),
kesadaran diri menunjukkan derajat (seberapa jauh). Perhatian diarahkan ke dalam
untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari diri sendiri. Sebagian besar
dari perilaku kita sehari-hari adalah rutin dan otomatis. Sehingga tidak pernah
kita fikirkan. Pada umumnya, kita tidak berpikir tentang diri kita sendiri.
Ketika melakukan perilaku yang otomatis, bahkan tidak juga berpikir tentang apa
yang dipikirkan orang lain tentang kita. Menempati suatu posisi yang menonjol
di dalam suatu kelompok, maka kita akan memasuki kesadaran diri yang secara
alami untuk membandingkan perilaku kita dengan standar internal.
Perbandingan ini biasanya menghasilkan diskrepansi negatif yang tidak
menyenangkan, dan mengurangi harga diri
kita secara temporer. Sehingga kita menemukan bahwa kita jauh dari gambaran
tentang diri yang ideal. Dan yang kita pikirkan / pengalaman kesadaran diri
pada umumnya akan menimbulkan suasana hati (mood) yang negatif (hass dan
eisenstadt, (1990).
Kesadaran diri adalah hal yang
sangat penting untuk memahami konsep diri dan standar, nilai serta tujuan yang
dimiliki seseorang.
Teori kesadaran diri mengemukakan ada dua cara untuk mengatasi keadaan yang
tidak menyenangkan :
1. “Shape Up”
dengan berperilaku dalam cara-cara yang dapat mengurangi deskrempansi
diri.
2. “Ship Out” dengan melakukan penarikan diri
(With Grawal) dari kesadaran diri.
Kesadaran diri publik adalah jika perhatian diarahkan pada aspek-aspek
tentang diri yang kelihatan kepada orang lain, seperti penampilan dan
tindakan-tindakan sosial. Kesadaran diri pribadi adalah ketika perhatian di
fokuskan pada aspek-aspek yang relatif pribadi dari diri, seperti mood,
persepsi dan perasaannya.
Di dalam membahas eksistensi manusia, bukan saja membahas tentang unsur
positif dan unsur negatif. Manusia juga harus memahami tentang :
14. Harga diri (self-esteem)
Sementara konsep diri adalah komponen kognitif, maka harga diri adalah
komponen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan
negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang.
Sumber-sumber terpenting dalam pembentukan atau perkembangan harga diri
adalah pengalaman dalam keluarga, umpan balik terhadap performance dan
perbandingan sosial. Cooper Smith (1967) menyimpulkan ada empat tipe perilaku
orang tua yang dapat meningkatkan harga diri :
1.
Menunjukkan penerimaan, afeksi, minat dan keterlibatan
pada kejadian-kejadian atau kegiatan yang dialami anak.
2.
Menerapkan batasan-batasan jelas pada perilaku anak
secara teguh dan konsisten.
3.
Memberi batasan-batasan dan menghargai inisiatif.
4.
Bentuk disiplin yang tidak memaksa (menghindari
hak-hak istimewa dan mendiskusikan alasan-alasan daripada memberikan hukuman
fisik).
Kita memperoleh harga diri dari pengalaman diri kita sebagai agen penyebab
yang aktif terhadap apa yang terjadi di dunia ini dan dalam pengalaman untuk
mencapai tujuan serta melengkapi rintangan-rintangan atau kesulitan.
Harga diri berkaitan dengan cara penting bagaimana orang mendekati
kehidupan mereka sehari-hari. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung
untuk bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif
secara relatif tidak sehat, cemas, tertekan, dan pesimis tentang masa depannya
dan mudah atau cenderung gagal.
15. Kecemasan sosial (Social anxiety)
Kecemasan sosial adalah perasaan tidak nyaman dalam kehadiran orang-orang lain,
yang selalu disertai oleh perasaan malu yang ditandai dengan kejanggalan,
hambatan, dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial itu.
Kecemasan merupakan suatu respon yang beragam terhadap situasi yang
mengancam, yang pada umumnya berwujud ketatakutan, kognitif, keterbangkitan
syaraf fisiologis, dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau
kegugupan.
Individu-individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk
menolak orang lain, barangkali karena mereka takut ditolak diri mereka sendiri.
Mereka juga menarik diri tidak efektif dalam interaksi sosial, barangkali
karena mereka mempersepsikan reaksi negatif bahkan ketika tidak ada seorangpun
yang hadir.
Setiap orang pernah mengalami kecemasan sosial walaupun hanya
kadang-kadang. Ketika mengalami hal ini,
biasanya mereka tidak hanya mengalami ketegangan yang subjektif, tetapi
berperilaku dalam cara-cara yang menganggu interaksi sosial.
Walaupun aspek kognitif, afektif dan
behavioral dari kecemasan saling berkaitan, korelasi antara ketiga aspek ini
tidaklah sekuat sebagaimana yang diharapkan. Kecemasan sosial kadang-kadang
berkaitan dengan perilaku yang dapat diamati, tetapi tidak mesti hubungan
diantara subjective anxiety dan perilaku yang sesuai.
Skala yang memfokuskan pada pengalaman ketakutan dan kecemasan subjective
dalam konteks sosial adalah the fear of negative evaluation scale (FNE) yang
mengukur tingkat atau derajat sejauh mana orang yang kuatir tentang bagaimana
mereka dipersepsi dan harapan dievaluasi secara negatif oleh orang-orang lain.
Skala lain untuk mengungkap
kecemasan sosial adalah dengan mengungkap penghindaran sosial (social
avoidance) dan distress sosial yang merujuk pada suatu kecenderungan untuk
menghindari interaksi sosial dan merasa cemas (avoidance adalah suatu respon
behavioral dan distress adalah suatu reaksi afektif).
16. Resentasi diri (self – presentation)
Dalam prosesnya, individu akan melakukan pengelolaan pesan (impresion
management) pada saat ini, individu melakukan suatu proses dimana dia akan menyeleksi
dan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu
dihadirkan serta memproyeksi hal tersebut, karena kita ingin orang lain
menyukai kita, ingin mempengaruhi mereka, ingin memperbaiki posisi, memelihara
status.
Kita dapat mengidentifikasikan dua komponen dari pengelolaan pesan
(impresion management). Yaitu motivasi pengelolaan pesan (impresion multy
fashion) konstruksi pengelolaan pesan
(impresion cunstruction).
Motivasi pengelolaan pesan menggambarkan bagaimana motivasi yang kamu
miliki untuk mengendalikan orang lain dalam melihatmu atau untuk menciptakan
pesan tertentu dalam pikiran orang lain. Sedangkan konstruksi pengelolaan pesan
menyangkut pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan mengubah perilaku
dalam cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan.
Argyle(1994) mengemukakan ada tiga motivasi primer pengelolaan pesan, yaitu
:
a.
Keinginan untuk mendapatkan imbalan materi atau
sosial.
b.
Untuk memepertahankan atau meningkatkan harga diri.
c.
Untuk mempermudah pengembangan identitas diri
(menciptakan dan mengukuhkan identitas diri).
17. Munculnya perasaan / mood yang positif
Kita cenderung tertarik atau suka kepada orang dimana kehadirannya
berbarengan dengan munculnya persaan positif , bahkan meski perasaan positif
yang muncul tidak berkaitan dengan perilaku orang tersebut.
18. Prasangka
Istilah prasangka dan diskriminasi sebenarnya mengandung konsep pengertian
yang tidak sama. Prasangka dibatasi sebagai sikap negatif yang tidak dibenarkan
terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya.
Dengan melihat berbagai pendekatan teoritik mengenai prasangka yang telah
diuraikan diatas, maka dapat diemukakan beberapa kemungkinan upaya untuk
mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka,
1.
Melakukan kontak langsung
Kontak antar
individu yang berprasangka dengan target prasangka akan efektif apabila
didukung oleh beberapa syarat, yaitu :
-
Apabila status orang yang berprasangka dengan target
prasangka sama.
-
Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang intim dan bukan hubungan “ super facial”
-
Situasi kontak melibatkan aktivitas yang independen
serta kooperatif
-
Adanya tujuan lebih tinggi yang hendak dicapai
-
Situasi kontak menyenangkan dan saling mendukung
-
Iklim sosial yang menyenangkan dan harmonis
2.
Mengajarkan pada anak untuk tidak membenci
3.
Mengoptimalkan peran orang tua, guru, orang dewasa
yang dianggap penting melalui contoh perilaku yang ditunjukan ( pengukuhan
positif)
4.
Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan
(distingsi) tentang orang lain. Belajar mengenal dan memahami orang lain
berdasarkan karakteristiknya yang unik dan bukan semata-mata berdasarkan
keanggotaan orang tersebut.
KESIMPULAN
Di dalam mempelajari tentang
eksistensi manusia yang berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan manusia.
Misalnya manusia unggul dalam segi intelektual, sehingga dalam mengarungi
kehidupannya. Manusia mempergunakan tujuan, program ( rencana), dan mengambil
langkah-langkah yang sistematis, guna mencapai tujuan hidup yang lebih
sempurna.
Manusia juga mempunyai sikap-sikap seperti
emosional, cemburuan dan lain-lain. Dalam buku ini kita harus betul-betul
menafsirkan apa isinya dan kandungan tentang baik dan buruknya suatu sifat
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Panuju Redi.
Drs. 1996. Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan.
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dayakisni
Tri. Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial.
Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Katalog Dalam Terbitan (KDT).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar