Senin, 21 September 2015

EKSISTENSI ILMU SOSIAL ALAMAMIAH DASAR SESUAI DENGAN PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING



EKSISTENSI ILMU SOSIAL ALAMAMIAH DASAR SESUAI DENGAN PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING

A.    Latar Belakang
Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai banyak kelebihan. Inilah yang disebut sebagai unsur positif, yakni suatu potensi yang menentukan eksistensinya. Misalnya, manusia unggul dalam segi intelektual, sehingga dalam mengarungi kehidupannya, ia mempergunakan tujuan, program (rencana), dan mengambil langkah-langkah yang sistematis, guna mencapai tujuan itu. Dengan keunggulan intelektualnya pula, manusia memiliki kemampuan menanggulangi hambatan dan tantangan.
Manusia juga dikenal memiliki perasaan (emosional), yang dapat dikontrol sehingga menjadi unsur yang produktif. Misalnya, melahirkan karya seni yang indah, dan menakjubkan.
Manusia juga dikaruniai nafsu, yang dapat dikendalikan, sehingga menjadi unsur psikologis yang mendorongnya untuk tetap bertahan dan mencapai kemajuan. Tanpa nafsu, kehidupan manusia barangkali menjadi statis.
Tugas manusia adalah mengidentifikasikan unsur-unsur positif tersebut, sehingga mampu mengelolanya menjadi “milik” yang menempatkan dirinya dalam suatu “eksistensi” tertentu.
Eksistensi manusia mengacu pada kualitas personal. Bukan seperti yang dimengerti oleh kalangan awam, yang biasanya mengidentifikasikan eksistensinya dengan “status sosial”, sehingga ada anggapan bahwa orang yang disebut eksis adalah yang kaya, punya wewenang besar, memiliki power. Hakikat eksistensi yaitu gabungan dari unsur-unsur yang subjektif seperti etos, moral, kemampuan, kompetensi, kecakapan.
Perlu dipahami bahwa tidak dapat dijamin orang yang memiliki status sosial tinggi sudah pasti memiliki EGODEFENSIVE yang tinggi pula.


B.     Eksistensi  Sosial Alamamiah Dasar yang Sesuai BK
Kastenbaum telah bertahun-tahun melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara perkembangan individu dan usia (waktu). Hasilnya, waktu hanya memberikan kontribusi pada pertumbuhan fisik, sedangkan viabilitynya sangat di tentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang kompleks.
Memang, sampai saat ini ada perdebatan yang tak kunjung selesai antara penganut paham BEHAVIORAL GENETICS dan paham EVOLUTIVE. Paham pertama berasumsi bahwa unsur genetis (Keturunan) mempunyai kontribusi terhadap perilaku, temperamen, kemampuan (ability), dan sebagainya.
Sosialisasi merupakan proses pengenalan terhadap simbol-simbol, nilai-nilai, dan perilaku dari lingkungannya yang kemudian akan direduksi menjadi sistem nilai. Sosialisasi dimulai dengan internalisasi, yakni penyerapan sesuatu dari lingkungan, kemudian di ikuti dengan seleksi dan penerimaan, lalu pada akhirnya membentuk konsep diri.
Dengan demikian, sosialisasi bukanlah suatu proses yang terjadi begitu saja, melainkan menuntut keaktifan subyek individualnya. Semakin aktif menyerap sesuatu dari lingkungan tentu semakin banyak yang bisa diserap.
1.      Tujuan hidup (Idealisme)
Eksistensi diri mempunyai makna subyektif, setiap orang mempunyai ukuran yang berbeda-beda mengenai standar hidup, kepuasan, kebutuhan, idealisme. Dengan demikian, eksistensi diri sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang merumuskan tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini merupakan keinginan yang kuat untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Dan dapat di artikan sebagai suatu proses bagaimana seseorang menemukan “jati diri” (aku ini siapa ?).
Idealisme adalah suatu cita-cita yang dirumuskan secara rasional, dan menjadi orientasi dominan dalam kehidupan seseorang. Menetapkan tujuan hidup, mempunyai segi positif, agar tidak mudah terombang-ambing perubahan situasi dan kondisi lingkungan, memiliki etos atau semangat untuk maju (need for achievement) demi mencapai tujuan tersebut, agar tidak segan-segan mengerahkan sumber daya yang tersedia demi mencapai tujuan. Dan memiliki prinsip yang kuat dalam menggunakan “cara” (metode) dan argumentasi sebagai landasan filosofi sikap / perbuatannya.
2.      Loyalitas
Jika di teliti lebih lanjut, prinsip loyalitas sesungguhnya berlaku pada aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya mengandung unsur integrasi sosial, konsep loyalitas juga menuntut dilaksanakannya sejumlah tanggung jawab, pengabdian, dan penghormatan (respek).
Loyalitas, pengabdian, atau apapun istilahnya, harus berasal dari hati sanubari yang paling dalam. Unsur keikhlasan rela hati merupakan pembeda. Sebuah pengabdian tanpa keikhlasan, sama dengan sikap yang dibuat-buat (artifisial) karena adanya kepentingan itu bersifat relatif labil.
3.      Moralitas
Lawrence Kohlberg (1969) memperkenalkan teori tahap-tahap perkembangan moral yang dikenal dengan Kolhberg’s State Theory of Moral Development.
-     Tahap 0 : No Morality Orientation
Yaitu pada tahap ini seorang anak tidak berbuat sesuatu, karena yang ada dalam benaknya beru berupa keinginan. Ia belum mampu membedakan antara sesuatu yang “menyenangkan” dan tidak menyenangkan”, dan belum memiliki moral sense untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
-     Tahap 1 : Punishment – Obedience Orientation
Yaitu pada tahap ini seseorang menaati norma-norma tentang baik buruk berdasarkan metode “Hukuman”.
-     Tahap 2 : Instrumental Hedonism and Concrete Reciprocity
Yaitu pada tahap ini mulai tumbuh pengetahuan yang murni tentang orientasi keakuan (egoistic orientation). Sesuatu yang baik menurut persepsinya sendiri adalah sesuatu yang mengandung unsur hedonisme (suatu perbuatan untuk menggunakan kesenangan).
-     Tahap 3 : Orientation to Interpersonal Relations of Mutuality
Yaitu konsep moral yang terbentuk atas hubungan dengan orang lain. Motif dan intensitas perbuatannya dilandasi oleh keinginan untuk membangun “kebersamaan”.
-     Tahap 4 : Maintenance of Social Order, Fixed Rules, and Authurity
Yaitu basis pengertian moralitas di bangun berdasarkan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Penggabungan pelbagai norma hukum yang universal, dan otoritas.
-     Tahap 5 : Social Contact Perspektive
Yaitu pandangan konsep moral di sesuaikan dengan konsep moral masyarakat.
-     Tahap 6 : Universal Ethical Principle Orientation
Yaitu pada tahap ini seseorang mulai merumuskan konsep moral berdasarkan nilai-nilai etika yang universal. Seseorang sudah berpegang pada prinsip “saya harus melakukan apa yang saya rasakan secara mendalam untuk memperoleh kebenaran yang mendasar !”
-     Tahap 7 : Contemplative Non-Egoistic Experience
Yaitu tahap ini baru merupakan hipotesis, yang menghubungkanpengalaman hidup dengan kontemplasi. Moral sudah menyangkut orang lain, bahkan di dorong oleh pemahaman tentang kehidupan setelah mati.
Moral adalah suatu ajaran, tuntunan, yang membimbing manusia hidup secara sehat. Moral mempunyai kekuatan ke dalam dan keluar. Bagi individu, moral memberi keuntungan bagi tumbuhnya kebahagiaan sedangkan pada orang lain dan lingkungannya menciptakan suasana yang damai, integratif, dan kondisi dinamis.
4.      Kerja sama dan kompetisi
Kerja sama merupakan kodrat manusia. Ketika tantangan hidup manusia semakin kompleks, bisa jadi perlunya pembagian tugas atau kerja yang spesifik. Setiap orang mengambil peranan yang unik sesuai dengan apa yang bisa dilakukan. Semua bentuk kerja sama itu pada hakikatnya adalah mengelola sumber daya (alam dan manusia) semaksimal dan seefesien mungkin sehingga menjadi produk yang bermanfaat.  Kesejahteraan manusia ditentukan oleh produk-produk tersebut.
Ketika suatu produk yang sama telah diproduksi oleh orang yang berbeda dan sumber daya alam yang tersedia semakin menipis, kompetisipun tak terelakkan.
Kompetisi adalah persaingan demi menghasilkan produk yang terbaik. Kiranya pola hidup kompetitif juga merupakan kodrat manusia. Charles Robert Darwin mengatakan bahwa tidak ada individu yang persis sama. Setiap individu membawa dan mempunyai eksistensi yang berbeda baik dalam hal potensi, keterampilan, kemampuan, orientasi dan sebagainya.
Hanya saja perlu dipahami bahwa kompetisi harus dilakukan dengan landasan moral yang tinggi, tidak menghalalkan atau menggunakan segala cara.
5.      Bakat
Setiap manusia memilki potensi bawaan (genetik). Kita sering menyebutnya sebagai “Bakat”. Ada orang yang berbakat mampu menguasai linguistik, maka hanya belajar sebentar saja ia sudah mampu menguasai.
Ada juga orang yang pandai mereparasi radio kaset karena belajar tanpa guru (Ortodidak). Semua itu karena yang bersangkutan memang berbakat. Tanpa upaya mengenali diri sendiri maka bakat bagaikan mutiara yang terpendam di dalam lautan.
6.      Kebutuhan
Sebagai makhluk alamiah, manusia mempunyai kebutuhan tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai. Artinya untuk menetukan segala kebutuhannya, ia harus bekerja dan berkarya.
Implementasi pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang disebut “kerja” inilah yang dewasa ini menjadi penggerak perubahan masyarakat. Kebutuhan dan produksi menunjukkan garis lurus yang signifikan. Kebutuhan yang semakin meningkat merangsang manusia untuk meningkatkan produksinya. Akan tetapi, hasil produksi yang meningkatkan produksinya.
7.      Rasa Kesepian
Orang yang merasa kesepian adalah orang yang merasakan dirinya tidak lagi berarti. Oleh sebab itu, dia kehilangan kegembiraan hidupnya. Itu dikatakan oleh J.P. Sartie, seorang filsuf. Kesepian bisa muncul dalam berbeda-beda bentuk seperti :
-    Rasa jemu
-    Rasa gelisah
-    Rasa takut
Gejala kesepian tampak dari semakin banyaknya manusia yang terisolasi dari suatu sistem karena :
-        Tidak mampu menguasai tekhnologi
-        Tidak berdaya menghadapi Hygemoni kekuatan kapitalisme yang cenderung menciptakan dikotomi antara kelompok “Kuat” pemilik kapital dan kelompok “Lemah” yang miskin.
-        Produk ini mobilisasi politik yang menyebabkan unsur-unsur yang berbeda cenderung tersisih dari proses sosial.
8.      Kenakalan (masa adolesen)
Dalam frekuensi yang tinggi dan skala yang meluas, perilaku yang “menyimpang” tersebut menghadirkan pemandangan yang kurang etis. Para ahli mempunyai interpretasi yang berbeda-beda mengenai gejala “kenakalan”.
-            Menurut Darwin, kenakalan adalah hasil proses evolusi biologis yang di dorong oleh aktivitas intelektual.
-            Menurut G. Stanley Hall kenakalan adalah hasil proses evolusi bentuk idealisme yang melampaui kewajaran (perfeksionis).
-            Menurut Jean Plaget kenakalan merupakan bentuk adaptasi dari perkembangan pemikiran (intelektual).
-            Menurut Eric Ericson kenakalan lebih sering disebabkan oleh krisis dalam menemukan identitas diri yang dialami orang bersangkutan.
-            Menurut M. K. Opier dalam J.G Holwes (Ed), Modern Perspektive in Adolcent Psyciatry (1971), berpendapat bahwa adolesen merupakan bentuk budaya anak muda metropolitan. Masyarakat perkotaan yang mengalami kepatahan tatanan mendorong kelompok anak muda untuk membuat tatanan baru.
-            Menurut Azhadi Siregar, pengajar fisipol UGM Yogyakarta, bahwa kenakalan dikatakan membahayakan jika akibatnya merugikan orang lain.
9.      Trauma
Trauma merupakan bentuk dari perasaan sensitif yang berlebihan (Hipersensitive). Manusia sering kali gagal mengontrol emosi ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan pelik atau realitas yang tidak menyenangkan. Sehingga, persoalan yang sebenarnya sederhana baginya menjadi sangat pelik.
Akibat psikologis dari trauma :
3 Orang yang bersangkutan sangat berprasangka terhadap lingkungannya, sehingga cenderung mengucilkan diri dari pergaulan.
-            Retetan berikutnya dari kecurigaan tersebut, ada kemungkinan orang tersebut memberikan vonis negatif terhadap dunia eksternalnya sebelum suatu kebenaran dapat di buktikan.
-            Trauma sangat merugikan individu, karena dirinya telah kehilangan banyak kesempatan untuk berubah.
10.  Sikap sombong
Kesombongan adalah salah satu bentuk Narsisisme memuja diri sendiri, menganggap diri sendiri lebih unggul. Kesombongan individu menimbulkan citra yang kurang baik bagi orang lain, sehingga sangat berpengaruh terhadap interaksi sosialnya. Bagi orang yang bersangkutan, sikap sombong menutup kemungkinan adanya instrospeksi, sehingga mengurangi kepekaannya terhadap kekurangan-kekurangan diri yang seharusnya diperbaiki.
11.  Sikap Malas
Sikap malas mempunyai konteks sosio – kultural dan psikologis. Konteks yang pertama berpangkal pada pandangan bahwa nilai-nilai sosial (social-values) mengarahkan pada kondisi patalistik yakni suatu anggapan bahwa eksistensi manusia telah digariskan oleh kekuatan adi kodrati sejak dalam kandungan.
12.  Sikap Hipokrit
Mukhtar Lubis, wartawan dan sastrawan Indonesia terkemuka, menyatakan bahwa manusia indonesia mempunyai kecenderungan bersikap hipokrit (munafik), apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan.
Memasuki era informasi, sikap hipokrit ini sangat tidak menguntungkan. Pesan-pesan komunikasi tidak bisa menunjukkan realitas sebenarnya. Maka, ketidakpastianpun ada dimana-mana.  Disekitar kita padahal memasuki kehidupan modern yang serba tekhnologis dibutuhkan rasionalitas dan kepastian (objektivitas) dalam pelbagai sektoral.
13.  Kesadaran Diri (Self Awareness)
Keadaan kesadaran diri muncul ketika kita mengarahkan perhatian kita ke dalam untuk memfokuskan pada isi diri sendiri. Menurut Brighem (1991), kesadaran diri menunjukkan derajat (seberapa jauh). Perhatian diarahkan ke dalam untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari diri sendiri. Sebagian besar dari perilaku kita sehari-hari adalah rutin dan otomatis. Sehingga tidak pernah kita fikirkan. Pada umumnya, kita tidak berpikir tentang diri kita sendiri. Ketika melakukan perilaku yang otomatis, bahkan tidak juga berpikir tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Menempati suatu posisi yang menonjol di dalam suatu kelompok, maka kita akan memasuki kesadaran diri yang secara alami untuk membandingkan perilaku kita dengan standar internal.
Perbandingan ini biasanya menghasilkan diskrepansi negatif yang tidak menyenangkan, dan mengurangi  harga diri kita secara temporer. Sehingga kita menemukan bahwa kita jauh dari gambaran tentang diri yang ideal. Dan yang kita pikirkan / pengalaman kesadaran diri pada umumnya akan menimbulkan suasana hati (mood) yang negatif (hass dan eisenstadt, (1990).
            Kesadaran diri adalah hal yang sangat penting untuk memahami konsep diri dan standar, nilai serta tujuan yang dimiliki seseorang.
Teori kesadaran diri mengemukakan ada dua cara untuk mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan :
1.      “Shape Up”  dengan berperilaku dalam cara-cara yang dapat mengurangi deskrempansi diri.
2.      “Ship Out” dengan melakukan penarikan diri (With Grawal) dari kesadaran diri.
Kesadaran diri publik adalah jika perhatian diarahkan pada aspek-aspek tentang diri yang kelihatan kepada orang lain, seperti penampilan dan tindakan-tindakan sosial. Kesadaran diri pribadi adalah ketika perhatian di fokuskan pada aspek-aspek yang relatif pribadi dari diri, seperti mood, persepsi dan perasaannya.
Di dalam membahas eksistensi manusia, bukan saja membahas tentang unsur positif dan unsur negatif. Manusia juga harus memahami tentang :
14.  Harga diri (self-esteem)
Sementara konsep diri adalah komponen kognitif, maka harga diri adalah komponen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang.
Sumber-sumber terpenting dalam pembentukan atau perkembangan harga diri adalah pengalaman dalam keluarga, umpan balik terhadap performance dan perbandingan sosial. Cooper Smith (1967) menyimpulkan ada empat tipe perilaku orang tua yang dapat meningkatkan harga diri :
1.      Menunjukkan penerimaan, afeksi, minat dan keterlibatan pada kejadian-kejadian atau kegiatan yang dialami anak.
2.      Menerapkan batasan-batasan jelas pada perilaku anak secara teguh dan konsisten.
3.      Memberi batasan-batasan dan menghargai inisiatif.
4.      Bentuk disiplin yang tidak memaksa (menghindari hak-hak istimewa dan mendiskusikan alasan-alasan daripada memberikan hukuman fisik).
Kita memperoleh harga diri dari pengalaman diri kita sebagai agen penyebab yang aktif terhadap apa yang terjadi di dunia ini dan dalam pengalaman untuk mencapai tujuan serta melengkapi rintangan-rintangan atau kesulitan.
Harga diri berkaitan dengan cara penting bagaimana orang mendekati kehidupan mereka sehari-hari. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri.  Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas, tertekan, dan pesimis tentang masa depannya dan mudah atau cenderung gagal.
15.  Kecemasan sosial (Social anxiety)
Kecemasan sosial adalah perasaan tidak nyaman dalam kehadiran orang-orang lain, yang selalu disertai oleh perasaan malu yang ditandai dengan kejanggalan, hambatan, dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial itu.
Kecemasan merupakan suatu respon yang beragam terhadap situasi yang mengancam, yang pada umumnya berwujud ketatakutan, kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis, dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan.
Individu-individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk menolak orang lain, barangkali karena mereka takut ditolak diri mereka sendiri. Mereka juga menarik diri tidak efektif dalam interaksi sosial, barangkali karena mereka mempersepsikan reaksi negatif bahkan ketika tidak ada seorangpun yang hadir.
Setiap orang pernah mengalami kecemasan sosial walaupun hanya kadang-kadang.  Ketika mengalami hal ini, biasanya mereka tidak hanya mengalami ketegangan yang subjektif, tetapi berperilaku dalam cara-cara yang menganggu interaksi sosial.
Walaupun aspek kognitif,  afektif dan behavioral dari kecemasan saling berkaitan, korelasi antara ketiga aspek ini tidaklah sekuat sebagaimana yang diharapkan. Kecemasan sosial kadang-kadang berkaitan dengan perilaku yang dapat diamati, tetapi tidak mesti hubungan diantara subjective anxiety dan perilaku yang sesuai.
Skala yang memfokuskan pada pengalaman ketakutan dan kecemasan subjective dalam konteks sosial adalah the fear of negative evaluation scale (FNE) yang mengukur tingkat atau derajat sejauh mana orang yang kuatir tentang bagaimana mereka dipersepsi dan harapan dievaluasi secara negatif oleh orang-orang lain.
      Skala lain untuk mengungkap kecemasan sosial adalah dengan mengungkap penghindaran sosial (social avoidance) dan distress sosial yang merujuk pada suatu kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial dan merasa cemas (avoidance adalah suatu respon behavioral dan distress adalah suatu reaksi afektif).
16.  Resentasi diri (self – presentation)
Dalam prosesnya, individu akan melakukan pengelolaan pesan (impresion management) pada saat ini, individu melakukan suatu proses dimana dia akan menyeleksi dan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksi hal tersebut, karena kita ingin orang lain menyukai kita, ingin mempengaruhi mereka, ingin memperbaiki posisi, memelihara status.
Kita dapat mengidentifikasikan dua komponen dari pengelolaan pesan (impresion management). Yaitu motivasi pengelolaan pesan (impresion multy fashion)  konstruksi pengelolaan pesan (impresion cunstruction).
Motivasi pengelolaan pesan menggambarkan bagaimana motivasi yang kamu miliki untuk mengendalikan orang lain dalam melihatmu atau untuk menciptakan pesan tertentu dalam pikiran orang lain. Sedangkan konstruksi pengelolaan pesan menyangkut pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan mengubah perilaku dalam cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan.
Argyle(1994) mengemukakan ada tiga motivasi primer pengelolaan pesan, yaitu :
a.              Keinginan untuk mendapatkan imbalan materi atau sosial.
b.              Untuk memepertahankan atau meningkatkan harga diri.
c.              Untuk mempermudah pengembangan identitas diri (menciptakan dan mengukuhkan identitas diri).
17.  Munculnya perasaan / mood yang positif
Kita cenderung tertarik atau suka kepada orang dimana kehadirannya berbarengan dengan munculnya persaan positif , bahkan meski perasaan positif yang muncul tidak berkaitan dengan perilaku orang tersebut.
18.  Prasangka
Istilah prasangka dan diskriminasi sebenarnya mengandung konsep pengertian yang tidak sama. Prasangka dibatasi sebagai sikap negatif yang tidak dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya.
Dengan melihat berbagai pendekatan teoritik mengenai prasangka yang telah diuraikan diatas, maka dapat diemukakan beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka,
1.            Melakukan kontak langsung
Kontak antar individu yang berprasangka dengan target prasangka akan efektif apabila didukung oleh beberapa syarat, yaitu :
-                    Apabila status orang yang berprasangka dengan target prasangka sama.
-                    Hubungan yang terjadi adalah hubungan  yang intim dan bukan hubungan “ super facial”
-                    Situasi kontak melibatkan aktivitas yang independen serta kooperatif
-                    Adanya tujuan lebih tinggi yang hendak dicapai
-                    Situasi kontak menyenangkan dan saling mendukung
-                    Iklim sosial yang menyenangkan dan harmonis
2.            Mengajarkan pada anak untuk tidak membenci
3.            Mengoptimalkan peran orang tua, guru, orang dewasa yang dianggap penting melalui contoh perilaku yang ditunjukan ( pengukuhan positif)
4.            Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan (distingsi) tentang orang lain. Belajar mengenal dan memahami orang lain berdasarkan karakteristiknya yang unik dan bukan semata-mata berdasarkan keanggotaan orang tersebut.














KESIMPULAN

Di dalam mempelajari tentang eksistensi manusia yang berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan manusia. Misalnya manusia unggul dalam segi intelektual, sehingga dalam mengarungi kehidupannya. Manusia mempergunakan tujuan, program ( rencana), dan mengambil langkah-langkah yang sistematis, guna mencapai tujuan hidup yang lebih sempurna.
Manusia juga mempunyai sikap-sikap seperti emosional, cemburuan dan lain-lain. Dalam buku ini kita harus betul-betul menafsirkan apa isinya dan kandungan tentang baik dan buruknya suatu sifat manusia.





















DAFTAR PUSTAKA

Panuju Redi. Drs. 1996. Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dayakisni Tri. Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Katalog Dalam Terbitan (KDT).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar