Sabtu, 19 September 2015

MENINGITIS



BAB I
PENDAHULUAN

Di negara maju banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi, bahkan ada yang telah dapat dibasmi. Namun, masalah penyakit menular masih tetap dirasakan oleh sebagian besar penduduk negara berkembang, salah satunya adalah penyakit meningitis. Meningitis merupakan infeksi cairan otak yang disertai radang selaput otak dan medulla spinalis yang superfisial.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial/suatu peradangan selaput otak yang biasanya diikuti pula oleh peradangan otak/peradangan pada selaput meninges yang menyelubungi otak yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakterispesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi. Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entrĂ©e utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Meningitis atau radang otak merupakan infeksi yang sering terjadi di sekitar otak dan saraf tulang belakang. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk ke dalam darah dan berpindah ke dalam cairan otak. Pasien diduga mengalami meningitis haruslah dilakukakn pemeriksaan yang akurat, baik itu disebabkan virus, bakteri ataupun jamur. Hal ini diperlukan untuk spesifikasi pengobatannya, karena masing-masing akan mendapatkan terapi sesuai penyebabnya.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial/suatu peradangan selaput otak yang biasanya diikuti pula oleh peradangan otak/peradangan pada selaput meninges yang menyelubungi otak yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadipada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosaditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinalyang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis danvirus.
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifatakut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakterispesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulentayang paling sering terjadi. Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dandroplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairantenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen(melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak .
A.      Jenis-jenis Meningitis
1.      Meningitis Viral
a)      Identifikasi.
Relatif sering ditemukan namun penyakit ini jarang sekali ditemukan dengan sindroma klinis serius atau dengan penyebab virus yang multiple, ditandai dengan munculnya demam tiba-tiba dengan gejala dan tanda-tanda meningeal. Pemeriksaan likuor serebrospinal ditemukan pleositosis (biasanya mononukleosis tapi bisa juga polimorfo 353 nuklier pada tahap-tahap awal), kadar protein meningkat, gula normal dan tidak ditemukan bakteri. Ruam seperti rubella sebagai ciri infeksi yang disebabkan oleh virus echo dan virus coxsackie; ruam vesikuler dan petekie bisa juga timbul. Penyakit dapat berlangsung sampai 10 hari.
Paresis sementara dan manifestasi ensefalitis dapat terjadi; sedangkan kelumpuhan jarang terjadi. Gejala-gejala sisa dapat bertahan sampai 1 tahun atau lebih, berupa kelemahan, spasme otot, insomnia dan perubahan kepribadian. Penyembuhan biasanya sempurna. Gejala pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan biasanya karena infeksi enterovirus. Berbagai jenis penyakit lain disebabkan oleh bukan virus gejalanya dapat menyerupai meningitis aseptik; misalnya seperti pada meningitis purulenta yang tidak diobati dengan baik, meningitis karena TBC dan meningitis kriptokokus, meningitis yang disebabkan oleh jamur, sifilis serebrovaskuler dan LGV.
b)      Penyebab infeksi
Virus coxsackie grup B tipe 1-6 sebagai penyebab dari 1/3 kasus; dan echovirus tipe 2,5,6,7,9 (kebanyakan), dan 30, kira-kira sebagai penyebab separuh kasus. Virus coxsackie grup A (tipe 2,3,4,7,9 dan 10), arbovirus, campak, herpes simplex I dan virus varicella, virus Choriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis lain bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari tipe-tipe spesifik bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira bertanggungjawab terhadap lebih dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di berbagai wilayah di dunia ini
2.      Meningitis Bakterial
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10 tahun setelah pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b (Hib) diijinkan beredar adalah 2,2/100.000/tahun. Hampir semua bakteri dapat menyebabkan infeksi pada semua umur, tetapi seperti yang dilaporkan pada akhir tahun 1990-an penyebab yang paling sering adalah Neisseria meningitidis dan Streptococcus pneumoniae.
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus, timbul secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB; di banyak negara meningokokus merupakan penyebab utama dari meningitis bakterial. Meningitis yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu penyebab yang paling sering dari meningitis bakterial. Bakteri penyebab meningitis yang paling jarang adalah stafilokok, bakteri enterik, grup B streptokokus dan Listeria yang menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti pada neonatus, penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada kepala.

B.       Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua selsel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung.
leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.

C.      Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairanserebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal. Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung. Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Pada dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

D.      Penegakan Diagnosa
Menegakkan diagnosis meningitis otogenik berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin, lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan Head CT-scan.
1.      Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
Adanya penyakit telinga tengah yang mendasarinya, seperti otitis media dan mastoiditis. Adanya tanda-tanda dan gejala meningitis, seperti demam, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
2.      Laboratorium rutin:
Adanya peningkatan dari lekosit dan LED [laju endapan darah] yang menunjukkan proses infeksi akut “shift to the left”
3.      Lumbal Punksi:
Untuk membedakan meningitis bakterial, viral dan jamur.
4.      Foto Mastoid
Dapat dilihat gambaran opacity dengan pembentukan pus, hilangnya selulae mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang gambaran abscess.


5.      Head CT-scan / MRI
Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral edema, hidrosefalus, abscess serebral, subdural empyema, dan lain-lain.
Diagnosis meningitis akut bakteri tidak dapat dibuat berdasarkan gejala klinis. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal melalui lumbal pungsi. Tekanan cairan dukur dan cairannya diambil untuk kultur, pewarnaan gram, hitung jenis, serta menentukan kadar glukosa dna protein. Penemuan ini umumnya diagnostik kultur dan pewarnaa gram dibutuhkan untuk menentukan kuman penyebab. Tekanan cairan serebrospinal biasanya meningkat, tetapi interpretasinya seringkali sulit bila anak sedang menangis.
Umumnya dijumpai leukositosis dengan predominan leukosit PMN, tapi bisa sangat bervariasi. Warna cairan biasanya opalesen sampai keruh, reaksi nonne dan pandy akan positif. Kadar khlorida akan menurun tapi ini tidak selalu terjadi. Kadar glukosa berkurang, umumnya sesuai perbandingan lamanya dan beratnya infeksi. Hubungan antara glukosa dalam cairan serebrospinal dengan glukosa darah sangat penting dalam mengevaluasi kadar glukosa dalam cairan serebrospinal, oleh karena itu sampel glukosa darah diambil kira-kira 30 menit sebelum lumbal pungsi. Konsentrasi protein biasanya meningkat.
Kultur darah dianjurkan pada anak-anak yang dicurigai menderita meningitis. Dijumpai leukositosis, pergeseran ke kiri, dan anemia megaloblastik.

E.       Terapi Penyakit Meningitis
1.      Terapi Non Farmakologi Penyakit Meningitis
Penyakit meningitis merupakan sebuah gangguan kesehatan yang sangat mematikan, penyakit meningitis ini bisa menyerang siapa saja. penyakit mematikan ini menyerang pada bagian selaput otak, sehingga sangatlah berbahaya karena pada dasarnya penyakit meningitis ini menyerang pada bagian organ vital.
Penyebab munculnya penyakit meningitis atau sering disebut dengan peradangan otak ini, dapat terjadi karena banyak sekali faktor. Terutama kurangnya menjaga kebersihan mulut, karena dari mulut inilah kuman, bakteri ataupun jamur menjadi masuk kedalam otak. Di dalam otak inilah virus ataupun bakteri tersebut berkembang biak.
Sedangkan untuk gejala awal munculnya penyakit meningitis ini juga sangat bervariasi, gejala yang pasti mengenai penyakit meningitis ini adalah munculnya rasa sakit kepala secara berlebihan. sakit kepala ini tidak akan bisa hilang walaupun telah mengonsumsi banyak obat-obatan sakit kepala seperti aspirin dan sejenisnya.
Untuk mengatasi penyakit meningitis sendiri sangat diperlukan penanganan secara medis, mengingat penyakit satu ini sangatlah berbahaya sekali, namun sebelum Anda melakukan tindakan medis, akan sangat penting kirannya untuk menerapkan penanganan pertama tanpa menggunakan obat atau kerap disebut dengan terapi non farmakologi. cara ini hanya berguna untuk meminimalisir gejala saja, bukan untuk kesembuhan, lantas bagaimana terapi non farmakologi pada penyakit meningitis itu? Temukan jawaban dari pertanyaan tersebut, silahkan simak ulasan berikut ini.
Terapi Non Farmakologi pada Penyakit Meningitis atau Radang selaput otak
a.       Konsumsi cairan sebanyak mungkin
Gejala awal munculnya penyakit meningitis biasanya adalah dehidrasi secara berlebihan. Untuk mengatasi gejala yang satu ini, Anda bisa mengonsumsi banyak cairan. Mulai dari air putih, teh, jus jeruk ataupun minuman yang mengandung banyak isotonik. Jika biasanya manusia memerlukan konsumsi cairan sebanyak minimal 8 gelas, akan tetapi untuk penderita penyakit meningitis memerlukan konsumsi cairan yang lebih banyak dari 8 gelas.


b.      Istirahat secara total
Terapi non farmakologi penyakit meningitis selanjutnya adalah dengan istirahat secara total. Istirahat total ini sangat diperlukan bagi penderita penyakit meningitis, terutama istirahat dari aktivitas-aktivitas berat yang memerlukan banyak tenaga dan pikiran. Istirahat yang terbaik bagi penyakit meningitis adalah dengan tidur sebanyak mungkin.
c.       Diet makanan
Makanan yang dikonsumsi oleh penderita penyakit meningitis, haruslah berbeda dengan makanan yang dikonsumsi oleh masyakat pada umumnya. Adapun makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi oleh penderita penyakit meningitis antara lain seperti kacang-kacangan, buah, sayur dan sereal. Selain makanan jenis tersebut, usahakan untuk mengurangi atau menghindari sebisa mungkin.
d.      Mandi air hangat
Terapi non farmakologi penyakit meningitis yang terakhir adalah dengan selalu melakukan mandi dengan air hangat. Hal ini bertujuan agar meminimalisir sakit kepala yang disebabkan oleh peradangan di selaput otak. Usahakan untuk mandi dengan air hangat di atas suhu 35 derajat celcius setiap harinya.
2.      Terapi Farmakologi
Prinsip umum terapi adalah pemberian cairan, eletrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi penunjang lain yang penting untuk pasien penderita meningitis akut. Terapi antibiotika empirik harus diberikan  sesegera mungkin untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus paling tidak selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan. Meningitis yang disebabkan oleh S pneumonia, N meningitidis, H influenza dapat sukses diterapi dengan antibiotik selama 7-14 hari. Pemberian lbih lama, 14-21 hari direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi L monocytgees, Group B streptococci dan basil G enterik. Terapi seharusnya secara idividu dan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi antibiotik lebih lama. Penanganan penderita meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu diagnosa ditegakkan.
a.       Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik harus tepat dan cepat sesuai dengan bakteri penyebabnya dalam dossis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya diberikan antibiotik dengan spectrum luas. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah demam bebas. Pemberian antibiotik sebaiknya secara parental.
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab.
Berikut ini beberapa pilihan antibiotika beserta dosisnya:
1)      Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera mungkin.
a)      Seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12 jam; atau
b)      Sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.
2)      Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:
a)      Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam
b)      ditambah ampisilin: 50 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam
3)      Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara parenteral selama sedikitnya 5 hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5 hari bila tidak ada gangguan absorpsi. Apabila ada gangguan absorpsi maka seluruh pengobatan harus diberikan secara parenteral. Lama pengobatan seluruhnya 10 hari.
4)      Jika tidak ada perbaikan:
a)      Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti efusi subdural atau abses serebral. Jika hal ini dicurigai, rujuk.
b)      Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan demam, seperti selulitis pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis, atau osteomielitis.
c)      Jika demam masih ada dan kondisi umum anak tidak membaik setelah 3–5 hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi hasil pemeriksaan CSS
5)      Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk meningitis TB dapat ditambahkan. Untuk Meningitis TB diberikan OAT minimal 4 rejimen:
a)      INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum 300 mg) - selama 6–9 bulan
b)      Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg) – selama 6-9 bulan
c)      Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari (maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan pertama
d)     Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari (maksimum 2500 mg) atau Streptomisin: 30-50 mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) – selama 2 bulan
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.
b.      Steroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik fokal.
1)      Prednison
Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4 minggu, dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak memungkinkan dapat diberikan deksametason dengan dosis 0.6 mg/kgBB/hari IV selama 2–3 minggu.
2)      Deksamethason
Pemberian terapi deksamethason dapat terjadi potensi penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Dianjurkan bahwa pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.

Secara umum, tata laksana MB dapat dilihat pada gambar 1 Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara bermakna.


Gambar 1 Algoritma tatalaksana meningitis bakterial

Pilihan antibiotik empirik pada pasien meningitis harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta (tabel 1). Antibiotik harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.
Tabel 1. Terapi empirik pada meningitis bakterialis

Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil kultur sudah ada. Panduan pemberian antiobiotik spesifik bisa dilihat di tabel 2. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan haemofi lus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.







Tabel 2. Terapi antibiotik spesifi k pada meningitis bakterial
Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna, terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron.
Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. infl uenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan. Pada penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan morbiditas secara bermakna. Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang, maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor perlu diberikan untuk mencegah stressinduced gastritis. Jika kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS ulang harus dilakukan. Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat dipertimbangkan. Pada pasien dengan pembesaran sistem ventrikel ringan tanpa perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat ditunda.

























BAB III
KESIMPULAN

Meningitis bakterial merupakan suatu kasus kegawatdaruratan neurologik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu, diagnosis dan terapi harus dilakukan secepatnya untuk mencegah keluaran yang buruk. Diagnosis meningitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti pungsi lumbal. Penatalaksanaan meningitis memerlukan pemahaman tentang karakter pasien agar pemilihan antibiotik dapat dilakukan dengan tepat. Penegakan diagnosis dan penentuan terapi yang baik dapat memberi harapan kualitas hidup yang baik bagi pasien. Saat ini sudah terdapat imunisasi untuk beberapa bakteri etiologi meningitis, sehingga angka kejadian meningitis dapat diturunkan.


















BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Betz L, Sowden AL. 1999, Keperawatan pediatri, Penerbit buku kedokteran ECC, Jakarta. Halaman 316-321. 
Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. hal 708-718.
Dipiro JT,TalbertR, Yee LG, Matzke RG, Wells BG,PoseyLM. 2005.Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Sixth Edition.  USA: The McGraw-Hill Companies.2081-2096.
Gogor Meisadona, Anne Dina Soebroto, Riwanti Estiasari. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakterialis. CDK-224/ vol. 42 no. 1, 14-19
Kementrian Kesehatan RI. Buku Saku Antropometri. Available: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/11/buku-sk-antropometri-2010.pdf..
Lumbantobing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p. 17.
Mardjano M,  Sidharta P. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2009. p.g 416
Matondang S, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2009. Edisi 2. p.g. 9, 186-87



Tidak ada komentar:

Posting Komentar