BAB I
PENDAHULUAN
Di
negara maju banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi, bahkan ada yang
telah dapat dibasmi. Namun, masalah penyakit menular masih tetap dirasakan oleh
sebagian besar penduduk negara berkembang, salah satunya adalah penyakit
meningitis. Meningitis merupakan infeksi cairan otak yang disertai radang
selaput otak dan medulla spinalis yang superfisial.
Meningitis
adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan
mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial/suatu peradangan
selaput otak yang biasanya diikuti pula oleh peradangan otak/peradangan pada
selaput meninges yang menyelubungi otak yang disebabkan oleh bakteri atau
virus. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai
cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat
berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakterispesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang
paling sering terjadi. Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung
dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah,
dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas
merupakan port d’entrĂ©e utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari
pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui
aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya
sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Meningitis atau radang otak merupakan
infeksi yang sering terjadi di sekitar otak dan saraf tulang belakang. Meningitis dapat disebabkan berbagai
organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk ke dalam
darah dan berpindah ke dalam cairan otak. Pasien diduga mengalami meningitis
haruslah dilakukakn pemeriksaan yang akurat, baik itu disebabkan virus, bakteri
ataupun jamur. Hal ini diperlukan untuk spesifikasi pengobatannya, karena
masing-masing akan mendapatkan terapi sesuai penyebabnya.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai
radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak)
dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan
medula spinalis yang superfisial/suatu peradangan selaput otak yang biasanya
diikuti pula oleh peradangan otak/peradangan pada selaput meninges yang
menyelubungi otak yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis dibagi menjadi
dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadipada cairan otak yaitu
meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosaditandai dengan
jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinalyang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis danvirus.
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri
adalah meningitis yang bersifatakut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta
bukan disebabkan oleh bakterispesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulentayang paling sering terjadi. Penularan kuman dapat
terjadi secara kontak langsung dengan penderita dandroplet infection yaitu
terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairantenggorok
penderita. Saluran nafas merupakan port
d’entree utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari
pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen(melalui
aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya
sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak .
A.
Jenis-jenis Meningitis
1.
Meningitis Viral
a)
Identifikasi.
Relatif sering ditemukan namun penyakit ini jarang sekali ditemukan
dengan sindroma klinis serius atau dengan penyebab virus yang multiple,
ditandai dengan munculnya demam tiba-tiba dengan gejala dan tanda-tanda
meningeal. Pemeriksaan likuor serebrospinal ditemukan pleositosis (biasanya
mononukleosis tapi bisa juga polimorfo 353 nuklier pada tahap-tahap awal),
kadar protein meningkat, gula normal dan tidak ditemukan bakteri. Ruam seperti
rubella sebagai ciri infeksi yang disebabkan oleh virus echo dan virus
coxsackie; ruam vesikuler dan petekie bisa juga timbul. Penyakit dapat berlangsung
sampai 10 hari.
Paresis sementara dan manifestasi ensefalitis dapat terjadi; sedangkan
kelumpuhan jarang terjadi. Gejala-gejala sisa dapat bertahan sampai 1 tahun
atau lebih, berupa kelemahan, spasme otot, insomnia dan perubahan kepribadian. Penyembuhan
biasanya sempurna. Gejala pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan
biasanya karena infeksi enterovirus. Berbagai jenis penyakit lain disebabkan
oleh bukan virus gejalanya dapat menyerupai meningitis aseptik; misalnya
seperti pada meningitis purulenta yang tidak diobati dengan baik, meningitis
karena TBC dan meningitis kriptokokus, meningitis yang disebabkan oleh jamur,
sifilis serebrovaskuler dan LGV.
b)
Penyebab infeksi
Virus coxsackie grup B
tipe 1-6 sebagai penyebab dari 1/3 kasus; dan echovirus tipe 2,5,6,7,9
(kebanyakan), dan 30, kira-kira sebagai penyebab separuh kasus. Virus coxsackie
grup A (tipe 2,3,4,7,9 dan 10), arbovirus, campak, herpes simplex I dan virus
varicella, virus Choriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis lain
bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari
tipe-tipe spesifik bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira
bertanggungjawab terhadap lebih dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di
berbagai wilayah di dunia ini
2.
Meningitis Bakterial
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat,
10 tahun setelah pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b
(Hib) diijinkan beredar adalah 2,2/100.000/tahun. Hampir semua bakteri dapat menyebabkan
infeksi pada semua umur, tetapi seperti yang dilaporkan pada akhir tahun
1990-an penyebab yang paling sering adalah Neisseria meningitidis dan
Streptococcus pneumoniae.
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus, timbul
secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB; di banyak negara
meningokokus merupakan penyebab utama dari meningitis bakterial. Meningitis
yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu penyebab yang paling
sering dari meningitis bakterial. Bakteri penyebab meningitis yang paling
jarang adalah stafilokok, bakteri enterik, grup B streptokokus dan Listeria
yang menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti pada neonatus,
penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada kepala.
B.
Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh yang
lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak,
misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses
otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis.
Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka
atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan
sistem ventrikulus. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan
sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran
sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan
histiosit dan dalam minggu kedua selsel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri
dari dua lapisan, bagian luar mengandung.
leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat
makrofag. Proses radang selain pada arteri juga terjadi
pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema
otak dan degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural
yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan
oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri.
C.
Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
cairanserebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal. Meningitis karena virus
ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit penderita
tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus
ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer
parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang
disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit
tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular
yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala
yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada
palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa
sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung. Meningitis bakteri
biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal.
Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,
dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang
mencembung. Pada dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan
bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri
kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen peningkatan intrakranial,
ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal
ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya.
D.
Penegakan Diagnosa
Menegakkan diagnosis meningitis otogenik berdasarkan gejala klinis,
laboratorium rutin, lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan Head CT-scan.
1.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
Adanya penyakit telinga tengah yang mendasarinya, seperti otitis media
dan mastoiditis. Adanya tanda-tanda dan gejala meningitis, seperti
demam, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
2. Laboratorium
rutin:
Adanya peningkatan dari lekosit dan LED [laju endapan darah] yang
menunjukkan proses infeksi akut “shift to the left”
3. Lumbal
Punksi:
Untuk membedakan meningitis bakterial, viral dan jamur.
4. Foto
Mastoid
Dapat dilihat gambaran opacity dengan pembentukan pus, hilangnya selulae
mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang gambaran abscess.
5. Head
CT-scan / MRI
Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral edema, hidrosefalus, abscess
serebral, subdural empyema, dan lain-lain.
Diagnosis meningitis akut bakteri tidak dapat dibuat berdasarkan gejala
klinis. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cairan
serebrospinal melalui lumbal pungsi. Tekanan cairan dukur dan cairannya diambil
untuk kultur, pewarnaan gram, hitung jenis, serta menentukan kadar glukosa dna
protein. Penemuan ini umumnya diagnostik kultur dan pewarnaa gram dibutuhkan
untuk menentukan kuman penyebab. Tekanan cairan serebrospinal biasanya
meningkat, tetapi interpretasinya seringkali sulit bila anak sedang menangis.
Umumnya dijumpai leukositosis dengan predominan leukosit PMN, tapi bisa
sangat bervariasi. Warna cairan biasanya opalesen sampai keruh, reaksi nonne dan
pandy akan positif. Kadar khlorida akan menurun tapi ini tidak selalu terjadi.
Kadar glukosa berkurang, umumnya sesuai perbandingan lamanya dan beratnya
infeksi. Hubungan antara glukosa dalam cairan serebrospinal dengan glukosa
darah sangat penting dalam mengevaluasi kadar glukosa dalam cairan
serebrospinal, oleh karena itu sampel glukosa darah diambil kira-kira 30 menit
sebelum lumbal pungsi. Konsentrasi protein biasanya meningkat.
Kultur darah dianjurkan pada anak-anak yang dicurigai menderita meningitis.
Dijumpai leukositosis, pergeseran ke kiri, dan anemia megaloblastik.
E.
Terapi Penyakit Meningitis
1.
Terapi Non Farmakologi Penyakit Meningitis
Penyakit meningitis merupakan sebuah gangguan kesehatan yang sangat
mematikan, penyakit meningitis ini bisa menyerang siapa saja. penyakit
mematikan ini menyerang pada bagian selaput otak, sehingga sangatlah berbahaya
karena pada dasarnya penyakit meningitis ini menyerang pada bagian organ vital.
Penyebab munculnya penyakit meningitis atau sering disebut dengan
peradangan otak ini, dapat terjadi karena banyak sekali faktor. Terutama
kurangnya menjaga kebersihan mulut, karena dari mulut inilah kuman, bakteri
ataupun jamur menjadi masuk kedalam otak. Di dalam otak inilah virus ataupun
bakteri tersebut berkembang biak.
Sedangkan untuk gejala awal munculnya penyakit meningitis ini juga sangat
bervariasi, gejala yang pasti mengenai penyakit meningitis ini adalah munculnya
rasa sakit kepala secara berlebihan. sakit kepala ini tidak akan bisa hilang
walaupun telah mengonsumsi banyak obat-obatan sakit kepala seperti aspirin dan
sejenisnya.
Untuk mengatasi penyakit meningitis sendiri sangat diperlukan penanganan
secara medis, mengingat penyakit satu ini sangatlah berbahaya sekali, namun
sebelum Anda melakukan tindakan medis, akan sangat penting kirannya untuk
menerapkan penanganan pertama tanpa menggunakan obat atau kerap disebut dengan
terapi non farmakologi. cara ini hanya berguna untuk meminimalisir gejala saja,
bukan untuk kesembuhan, lantas bagaimana terapi non farmakologi pada penyakit
meningitis itu? Temukan jawaban dari pertanyaan tersebut, silahkan simak ulasan
berikut ini.
Terapi Non Farmakologi pada Penyakit Meningitis atau Radang selaput otak
a.
Konsumsi cairan sebanyak mungkin
Gejala awal munculnya penyakit meningitis biasanya adalah dehidrasi
secara berlebihan. Untuk mengatasi gejala yang satu ini, Anda bisa mengonsumsi
banyak cairan. Mulai dari air putih, teh, jus jeruk ataupun minuman yang
mengandung banyak isotonik. Jika biasanya manusia memerlukan konsumsi cairan
sebanyak minimal 8 gelas, akan tetapi untuk penderita penyakit meningitis
memerlukan konsumsi cairan yang lebih banyak dari 8 gelas.
b.
Istirahat secara total
Terapi non farmakologi
penyakit meningitis selanjutnya adalah dengan istirahat secara total. Istirahat total
ini sangat diperlukan bagi penderita penyakit meningitis, terutama istirahat
dari aktivitas-aktivitas berat yang memerlukan banyak tenaga dan pikiran.
Istirahat yang terbaik bagi penyakit meningitis adalah dengan tidur sebanyak
mungkin.
c.
Diet makanan
Makanan yang dikonsumsi oleh penderita penyakit meningitis, haruslah
berbeda dengan makanan yang dikonsumsi oleh masyakat pada umumnya. Adapun
makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi oleh penderita penyakit meningitis
antara lain seperti kacang-kacangan, buah, sayur dan sereal. Selain makanan
jenis tersebut, usahakan untuk mengurangi atau menghindari sebisa mungkin.
d.
Mandi air hangat
Terapi non farmakologi penyakit meningitis yang terakhir adalah dengan
selalu melakukan mandi dengan air hangat. Hal ini bertujuan agar meminimalisir
sakit kepala yang disebabkan oleh peradangan di selaput otak. Usahakan untuk
mandi dengan air hangat di atas suhu 35 derajat celcius setiap harinya.
2.
Terapi Farmakologi
Prinsip umum terapi adalah pemberian cairan, eletrolit, antipiretik,
analgesik, dan terapi penunjang lain yang penting untuk pasien penderita
meningitis akut. Terapi antibiotika empirik harus diberikan
sesegera mungkin untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus
paling tidak selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan. Meningitis yang disebabkan
oleh S pneumonia, N meningitidis, H influenza dapat sukses diterapi dengan
antibiotik selama 7-14 hari. Pemberian lbih lama, 14-21 hari direkomendasikan untuk
pasien yang terinfeksi L monocytgees, Group B streptococci dan basil G enterik.
Terapi seharusnya secara idividu dan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi
antibiotik lebih lama. Penanganan penderita
meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu diagnosa ditegakkan.
a.
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik harus tepat dan cepat sesuai dengan bakteri
penyebabnya dalam dossis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan
sebaiknya diberikan antibiotik dengan spectrum luas. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah demam bebas. Pemberian
antibiotik sebaiknya secara parental.
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur
darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman
penyebab.
Berikut ini beberapa pilihan antibiotika
beserta dosisnya:
1) Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera
mungkin.
a) Seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60
menit setiap 12 jam; atau
b) Sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.
2) Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:
a) Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM
(atau IV) setiap 6 jam
b) ditambah ampisilin: 50
mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam
3) Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara
parenteral selama sedikitnya 5 hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5
hari bila tidak ada gangguan absorpsi. Apabila ada gangguan absorpsi maka
seluruh pengobatan harus diberikan secara parenteral. Lama pengobatan
seluruhnya 10 hari.
4) Jika tidak ada perbaikan:
a) Pertimbangkan komplikasi yang
sering terjadi seperti efusi subdural atau abses serebral. Jika hal ini
dicurigai, rujuk.
b) Cari tanda infeksi fokal lain
yang mungkin menyebabkan demam, seperti selulitis pada daerah suntikan,
mastoiditis, artritis, atau osteomielitis.
c) Jika demam masih ada dan kondisi
umum anak tidak membaik setelah 3–5 hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi
hasil pemeriksaan CSS
5) Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk
meningitis TB dapat ditambahkan. Untuk Meningitis TB diberikan OAT minimal 4
rejimen:
a) INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum
300 mg) - selama 6–9 bulan
b) Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari
(maksimum 600 mg) – selama 6-9 bulan
c) Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari
(maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan pertama
d) Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari
(maksimum 2500 mg) atau Streptomisin: 30-50 mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) –
selama 2 bulan
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada
pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab
serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala
klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling
sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.
b.
Steroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses,
oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu
kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau
edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik fokal.
1)
Prednison
Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4 minggu,
dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak memungkinkan dapat
diberikan deksametason dengan dosis 0.6 mg/kgBB/hari IV selama 2–3 minggu.
2)
Deksamethason
Pemberian terapi deksamethason dapat
terjadi potensi penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar
protein CSF. Dianjurkan bahwa pemberian deksamethason
hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan status
mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal ini
mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti
perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga
menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam
CSF.
Secara umum, tata laksana MB dapat dilihat pada gambar 1 Pemilihan
antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial,
karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke
CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil
menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan
laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda lebih
dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara bermakna.
Gambar 1 Algoritma tatalaksana meningitis bakterial
Pilihan antibiotik empirik pada pasien meningitis harus berdasarkan
epidemiologi lokal, usia pasien, dan adanya penyakit
yang mendasari atau faktor risiko penyerta (tabel 1). Antibiotik harus segera
diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan cairan
dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.
Tabel 1. Terapi empirik pada meningitis bakterialis
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih
spesifik jika hasil kultur sudah ada. Panduan pemberian
antiobiotik spesifik bisa dilihat di tabel 2. Durasi terapi antibiotik bergantung pada
bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis
meningokokal epidemik dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis
ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan rekomendasi
WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari
pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama
lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan terapi
antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan haemofi lus; 10-14 hari
untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.
Tabel 2. Terapi antibiotik spesifi k pada meningitis
bakterial
Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan
dengan dosis pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
secara bermakna, terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat
menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat
menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial,
gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron.
Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6
jam secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone
harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. infl
uenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan
pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang ditemukan. Pemberian
dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan
kesintasan. Pada penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas secara bermakna. Pasien MB harus dipantau
ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun
setelah kejang, maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi.
Kondisi pasien harus dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton
pump inhibitor perlu diberikan untuk mencegah stressinduced gastritis. Jika kondisi
klinis pasien belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka
analisis CSS ulang harus dilakukan. Pada pasien MB dengan
hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat
dipertimbangkan. Pada pasien dengan pembesaran sistem ventrikel ringan
tanpa perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur
invasif dapat ditunda.
BAB III
KESIMPULAN
Meningitis bakterial
merupakan suatu kasus kegawatdaruratan neurologik
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu, diagnosis
dan terapi harus dilakukan secepatnya untuk mencegah keluaran yang buruk.
Diagnosis meningitis ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti pungsi lumbal. Penatalaksanaan
meningitis memerlukan pemahaman tentang karakter
pasien agar pemilihan antibiotik dapat dilakukan dengan tepat. Penegakan diagnosis
dan penentuan terapi yang baik dapat memberi harapan kualitas hidup yang baik
bagi pasien. Saat ini sudah terdapat imunisasi untuk beberapa bakteri etiologi meningitis,
sehingga angka kejadian meningitis dapat diturunkan.
BAB
VI
DAFTAR
PUSTAKA
Betz L, Sowden AL. 1999, Keperawatan pediatri, Penerbit buku kedokteran ECC, Jakarta.
Halaman 316-321.
Corwin
EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC. hal 708-718.
Dipiro
JT,TalbertR, Yee LG, Matzke RG, Wells
BG,PoseyLM.
2005.Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. Sixth Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.2081-2096.
Gogor
Meisadona, Anne Dina Soebroto, Riwanti Estiasari. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakterialis. CDK-224/ vol. 42
no. 1, 14-19
Kementrian
Kesehatan RI. Buku Saku Antropometri. Available: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/11/buku-sk-antropometri-2010.pdf..
Lumbantobing,
SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2012. p. 17.
Mardjano M,
Sidharta P. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2009. p.g 416
Matondang S, Wahidiyat I, Sastroasmoro S.
Diagnosis Fisis Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2009.
Edisi 2. p.g. 9, 186-87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar