Sabtu, 19 September 2015

TINJAUAN KASUS ETIKA FARMASI



TINJAUAN KASUS ETIKA FARMASI

              Apotek letaknya sangat strategis berada di tengah kota, buka pelayanan tiap hari jam 16.00 – 22.00. pasien sangat ramai serta jumlah resep yang banyak dilayani. Setiap hari rata-rata 100 lembar resep. APA juga merupakan PNS dan masuk apotek jam 19.30. Karena banyaknya pasien yang dilayani, penyerahan obat oleh tenaga teknis kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang cukup.
Kajian Menurut Undang – undang
              Berdasarkan permasalahan diatas, kami menemukan beberapa ketidak hubungan antara yang terjadi dengan yang terdapat di peraturan – peraturan yang berlaku mengenai kesehatan dan pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut :
1.      Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5
(1) “Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”.
Pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Pasal 108
(1)“ Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”


2.      Undang-undang N0.8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen
Pasal 4
(1)“Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
3.  Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang PekerjaanKefarmasian:
Pasal 1
(13)“Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan  praktek kefarmasian oleh apoteker”
Pasal 20
 “Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian”
Pasal 21
(1)“Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “Penyerahan  dan pelayanan obat berdasarkan resep ddokter dilaksanakan oleh Apoteker”
Pasal 51
(1)“Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”
4.      Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemebrian Izin Apotek
Pasal 19.
(1)“Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.”
(2)“Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker  Pengganti”

5.      Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan di Apotek
Bab III tentang pelayanan, standar pelayanan kesehatan di apotek meliputi:
1.      Pelayanan resep : apoteker melakukan skrining resep dan penyiapan obat
2.      Apoteker memberikan promosi dan edukasi
3.      Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian (homecare)
a.       Penyiapan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai dengan informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga keseahatan.
(3.6) Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
(3.8) Pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung  profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
a)      Sumber Daya
“Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional yang senantiasa mampu melaksanakan dan memberikan pelayanan yang baik.”
b)      Sarana dan Prasarana
“Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk menerima konseling dan informasi.”
c)      Pelayanan resep: Apoteker melakukan skrining resep hingga penyiapan obat
“Pelayanan resep yang dilakukan oleh apoteker yang di apotek yang dimulai dari skrining resep meliputi: persyaratan administratif (Nama, SIP dan alamat dokter,tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jeniskelamin dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, dan jumlah obat, cara pemakaian yang jelas), kesesuaian farmasetik (bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian) dan pertimbangan klinis (efek  samping, interaksi, kesesuaian). Selain itu, apoteker juga memiliki tugas untuk melakukan penyiapan obat meliputi tahap: peracikan dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat, etiket yang jelas, kemasan obat yang diserahkan dengan rapidan terjaga kualitas.
d)     Pelayanan Resep : Apoteker melakukan penyerahan obat.
“ Sebelum obat diserahkan, obat harus dicek kembali antara obat dan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker sambil dilakukan pemberian informasi obat  sekurang-kurangnya: cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka waktu pengobatan,aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari; dan dilakukan konseling untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.
e)      Promosi dan Edukasi “Dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam promosi dan edukasi kesehatan.”
6.      Kode etik apoteker
Pasal 3
“Setiap apoteker/Farmasis harus sennatiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya “
Pasal 5
“Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dariusaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisiluhur jabatan kefarmasian”
7.      Lafal sumpah dan janji apoteker
“Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan farmasi”.
Dari kasus di atas “Pasien atau konsumen ketika membeli obat di apotek hanya dilakukan oleh asisten apoteker”. Hal ini melanggar pasal-pasal di atas. Pelayanan kefarmasian diapotek harus dilakukan oleh apoteker, jika apoteker berhalangan hadir seharusnya digantikan oleh apoteker pendamping dan jika apoteker pendamping berhalangan hadir seharusnya digantikan oleh apoteker pengganti bukan digantikan oleh asisten apoteker atau tenaga kefarmasian lainnya. Tenaga kefarmasian dalam hal ini asisten apoteker hanya membantu pelayanan kefarmasian bukan menggantikan tugas apoteker.
C.    Sanksi
              Ketika seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya tidak mematuhi kode etik apoteker, maka sesuai dengan kode etik apoteker Indonesia pasal 115 yang berbunyi
“Jika seorang apoteker baik dengan sengaja maupun tidak disengajamelanggar atau tidak memenuhi kode etik apoteker Indonesia, maka dia wajib mangakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi yang menanganinya (IAI), dan mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Sehingga seorang apoteker bisa mendapatkan sanksi sebagai berikut:
1.         Teguran dari IAI terhadap apoteker maupun apotek yang bersangkutan.
2.         Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan :
a. Pasal 198 : Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. Pasal 201
a)      Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199, pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain dipidana penjaradan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidanadenda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,Pasal 199, dan Pasal 200
b)      Selain pidana denda sebagaiman dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
i)                    Pencabutan izin usaha; dan/atau
ii)                  Pencabutan status badan hukum.



Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan hak fundamental bagi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) tahun 2005-2025 dinyatakan bahwa untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, maka pembangunan nasional harus diarahkan untuk mengedepankan pembangunan sumber daya manusia yang bekualitas dan memiliki daya saing.
Dalam upaya membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing, maka pembangunan kesehatan perlu diarahkan pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Derajad kesehatan merupakan pilar utama bersama-sama dengan pendidikan dan ekonomi yang sangat erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh,produktif, dan mampu bersaing untuk menghadapi semua tantangan yang akan dihadapi. Untuk itu diperlukan perencanaan program yang bersifat inovatif, dan sebuah produk hukum yang memiliki sifat mengikat dan mengatur segala aspek kehidupan dibidang kesehatan yaitu Undang-Undang Kesehatan.
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, merupakan revisi dari Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992, yang disahkan pada tanggal 13 Oktober 2009 dan mulai berlaku secara resmi tanggal 30 Oktober 2009. Undang-Undang Kesehatan baru yang memiliki XXII BAB dan 205 pasal, seharusnya lebih progresif jika dibandingkan dengan Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 hanya memiliki XII BAB dan 88 pasal. Dalam Undang-Undang Kesehatan (UUK) yang baru diatur tentang : 1) Azaz dan tujuan; 2) Hak dan Kewajiban; 3) Tanggung Jawab pemerintah; 4) Sumber daya dibidang kesehatan; 5) upaya kesehatan; 6) Kesehatan ibu, anak, bayi, remaja, lanjut usia dan penyandang cacat; 7) Gizi; 8) Kesehatan Jiwa; 9) Penyakit menular dan tidak menular; 10) Kesehatan lingkungan; 11) Kesehatan kerja; 12) Pengelolaan kesehatan; 13) Informasi kesehatan; 14) pembiayaan kesehatan; 15) Peran serta masyarakat; 16) Badan Pertimbangan Kesehatan; 17) Pembinaan dan Pengawasan; 18) Penyidikan dan 19) Ketentuan pidana.
Isu strategis yang berkembang di masyarakat adalah pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 memberikan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia lanjut, dan keluarga miskin. Adapun sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2014 adalah meningkatnya derajad kesehatan masyarakat melalui percepatan pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang antara lain adalah 1) meningkatnya usia harapan hidup menjadi 72 tahun; 2) menurunnya angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup; 3) menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup; 4) menurunnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita menjadi lebih kecil dari 15 %.














KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 dapat mengakomodir isu-isu strategis dan permasalahan kesehatan dewasa ini, seperti yang ditunjukkan pada
1.      Bab I  
Tentang ketentuan umum memuat batasan dan pokok pikiran yang dijabarkan secara rinci di dalam materi undang-undang.
2.      Bab II
Tentang asas dan tujuan. Dalam bab ini mengatur asas dan tujuan pembangunan kesehatan, sebagai landasan dan arah bagi pembangunan kesehatan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara ekonomis dan sosial (Pasal 2 dan 3). Arah kebijakan pembangunan kesehatan adalah mengutamakan upaya pelayanan kesehatan dengan pendekatan promotif, preventif tanpa meninggalkan upaya kuratif dan rehabilitatif.
3.      Bab III
Tentang hak dan kewajiban. Menjelaskan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif dan partisipatif dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang atas pelayanan kesehatan. Dalam pasal 4 – 13, mengatur hak dan kewajiban individu sebagai elemen masyarakat atas pelayanan kesehatan.
Pasal-pasal dalam bab tersebut tidak diterjemahkan dengan baik oleh lembaga penyelenggara pelayanan kesehatan, dengan melakukan tindakan diskriminasi tehadap pasien pada pelayanan kesehatan di rumah sakit tanpa memperhatikan hak pasien. Sebagai contoh : orang yang mampu membayar biaya perawatan akan mendapatkan hak atas pelayanan kesehatan dengan baik, dan dapat memilih rumah sakit maupun dokter yang dikehendaki. Tetapi bagi orang yang tidak mampunyai biaya untuk membayar rumah sakit/tidak dapat memberi uang muka untuk tindakan medis tertentu, maka akan mendapatkan perlakuan tidak baik bahkan ditolak untuk berobat di rumah sakit tersebut. Hal tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Kesehatan pasal 5 ayat 2, yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.”
Ironisnya penolakan terhadap pasien tidak mampu, terjadi pada rumah sakit milik pemerintah. Dasar penolakan berkisar pada profit oriented dan beban biaya operasional rumah sakit yang tinggi. Sehingga rumah sakit hanya akan melayani pasien yang memberikan jaminan pembiayaan pengobatan saja.
4.      Bab IV
Mengatur tentang tanggung jawab pemerintah. Pemerintah sebagai penyelenggara negara, bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan, ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau, serta bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada seluruh masyarakat secara adil dan merata. Tanggung jawab pemerintah secara rinci dan tegas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan diatur dalam pasal 14 - pasal 20.
Menyikapi terjadinya penolakan pasien tidak mampu, menunjukkan bahwa pemerintah kurang optimal melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai pengawas dan pembina unit pelaksana teknis pelayanan kesehatan seperti yang diamanatkan undang-undang kesehatan pasal 14 ayat 1, yang berbunyi :
“Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh mayarakat”
Bahkan dalam pasal ini menegaskan, bagi pasien tidak mampu akan memperoleh jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, dan pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial. Sehingga tidak ada alasan bagi rumah sakit untuk menolak pasien tidak mampu atau menolak pasien yang tidak dapat memberi uang muka terhadap biaya tindakan medis tertentu.
Bab V tentang sumber daya di bidang kesehatan. Secara rinci diatur tentang tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, perbekalan kesehatan serta teknologi dan produk teknologi merupakan sumber daya di bidang kesehatan yang potensial. Setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan didukung oleh keempat komponen tersebut.
Diantara keempat komponen, yang paling dominan menimbulkan konflik adalah permasalahan tenaga kesehatan, karena tenaga kesehatan harus bekerja secara profesional dan proporsional untuk menghindari kelalaian dalam melaksanakan pekerjaannya. Tenaga kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan diatur dalam pasal 21 - 29. Permasalahan yang sering terjadi adalah tentang kelalaian dalam bekerja yang dapat terjadi manakala tenaga kesehatan melaksanakan tugas mandiri, tugas kolaborasi maupun tugas pendelegasian wewenang, sehingga tenaga kesehatan yang diduga melakukan kelalaian harus mendapatkan perlindungan secara hukum.
Namun pada kenyataannya Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tidak dijadikan acuan dan landasan hukum dengan baik oleh aparat penegak hukum dalam penyelesaian kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien. Penegak hukum harus melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah akibat kelalaian tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas, tetapi aparat penegak hukum lebih cenderung melakukan tindakan hukum atas kelalaian tersebut., seperti yang diamanatkan Undang-Undang Kesehatan Pasal 29 yang berbunyi :
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”
Masalah lain yang menjadi isu adalah penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi, sebagai contoh pemerintah tidak merespon tenaga paramedis (perawat/perawat gigi) melakukan tindakan medis (pengobatan penyakit /cure) di puskesmas yang merupakan otoritas dan kompetensi dokter/dokter gigi, bahkan terkesan membiarkan kondisi tersebut terjadi, selama tidak mendapat komplain dari masyarakat. Hal tersebut sama artinya dengan penyelenggara pelayanan kesehatan mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi, seperti yang tertuang dalam pasal 34 ayat 2 :
”Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.”
Masalah lain yang timbul adalah tentang perbekalan kesehatan yaitu kewenangan yang diberikan Undang-undang terhadap pemerintah untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan terutama obat esensial dan alat kesehatan. Pemerintah mengirim obat dan alat kesehatan ke daerah-daerah tanpa memperhatikan kesiapan dan kemampuan daerah. Pemerintah mengirim alat kesehatan canggih yang kadang belum dibutuhkan daerah, karena memerlukan biaya perawatan dan pemeliharaan sangat mahal, yang pada akhirnya berdampak pada rakyat miskin. Karena beban biaya perawatan dan pemeliharaan dibebankan oleh rakyat.




5.      Bab VI
Tentang upaya kesehatan yang secara tegas telah mengatur tentang upaya kesehatan untuk mewujudkan derajad kesehatan yang setinggi-tingginya, yang diselenggarakan secara terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Pasal-pasal dalam bab ini telah menjawab isu strategis tentang pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 yang memberikan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia lanjut, dan keluarga miskin. Serta memantapkan strategi untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2014 yaitu meningkatkan derajad kesehatan masyarakat melalui percepatan pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam bab ini juga mengatur tentang pelayanan kesehatan dasar yang harus diselenggarakan atau tersedia untuk menjamin hak azasi manusia untuk hidup sehat. Dan secara eksplisit tersirat tentang penyelenggaraan atau penyediaan pelayanan kesehatan dasar harus diwujudkan secara nyata guna menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat. Pasal-pasal dalam bab ini juga mengatur tentang perlindungan atas hak pasien untuk menerima dan menolak upaya pelayanan kesehatan yang diberikan, hak atas kerahasiaan kondisi kesehatannya serta hak untuk mendapatkan ganti rugi terhadap tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Persoalan jual beli organ dan jaringan tubuh juga diatur dalam pasal 64, ayat 2 yang menyebutkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh didilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan, sedangkan ayat 3 menyebutkan bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang untuk diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 71 – 74 mengatur tentang kesehatan reproduksi. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi dapat diperoleh oleh perempuan jika berada dalam status perkawinan. Pasal ini tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi individu perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi individu, maka hak kesehatan reproduksi individu lajang menjadi terabaikan. Karena pada kenyataannya layanan pap smear untuk deteksi awal kanker rahim mensyaratkan harus sudah menikah. Pasal-pasal ini juga melanggar hak kesehatan yang bersifat universal dan merupakan hak azasi warga negara, selain itu juga menjadi sandungan upaya untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan
Hilangnya jaminan kepastian hukum bagi semua orang dan resiko memunculkan pengabaian ada pada pasal 72 : setiap orang berhak
a.       menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan sosial yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b.      menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama
Rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tetapi justru direduksi atas dasar status perkawinan.
Aborsi juga dilarang dalam undang-undang ini (pasal 75 ayat 1), kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban. Meski demikian pembolehan aborsi itupun melalui syarat yang ketat. Misalnya hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan (pasal 76).
Aborsi aman dalam pasal-pasal ini hanya diberikan kepada pasangan yang sudah menikah dan ganjalan pada pasal moral dan agama tidak diatur dalam undang-undang ini, misalnya korban pemerkosaan diminta mempertahankan kehamilan oleh keluarga karena atas nama moral dan agama. Pasal mengenai aborsi juga mengabaikan pengalaman perempuan yang terpaksa menghentikan kehamilannya oleh sebab-sebab tertentu.
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, telah mengakomodasi isu terkini, seperti masalah jaminan keamanan makanan / minuman hasil teknologi rekayasa genetika dengan memberi rambu-rambu yang jelas (pasal 109). Dan pasal-pasal dalam pengaturan penggunaan makanan dan minuman secara langsung maupun tidak langsung membawa implikasi bagi dunia usaha. Sebagai contoh pasal 111 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1)    Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2)    Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari kontrofersi yang sempat menghangat terkait hilangnya ayat tembakau dalam pasal 113 beberapa waktu yang lalu, undang-undang yang baru ini menjanjikan banyak harapan baru. Khususnya harapan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, terutama dalam rangka menuju Indonesia sehat 2010.
6.      Bab VII
Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat. Dalam bab ini mengatur secara lengkap mengenai : upaya menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu; hak bayi untuk mendapatkan air susu eksklusif dan mengharuskan pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung; hak anak untuk memperoleh imunisasi guna mencegah terjadinya penyakit serta hak atas perlindungan dari tindakan diskriminasi terhadap bayi dan anak.
7.      Bab VIII
Mengatur tentang gizi. Undang-Undang Kesehatan mencoba menjawab tantangan, mengatur strategi dan mengatur program lanjutan untuk mengatasi masalah gizi buruk dan gizi kurang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang diatas prevalensi nasional 18,4 %. Maka dalam pasal 141-143 mengatur tentang : upaya perbaikan gizi sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia yang diprioritaskan pada kelompok rawan; mengatur pula tentang tanggung jawab pemerintah atas pemenuhan dan kecukupan gizi pada keluarga miskin serta serta tanggung jawab pemerintah terhadap peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi.
8.      Bab IX
Pasal 144 – 151 mengatur tentang Upaya kesehatan jiwa yang ditujukan untuk menjamin setiap orang untuk dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa serta mengatur upaya pemerintah untuk menciptakan kondisi kesehatan jiwa setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaannya, aksebilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa bagi seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.
9.      Bab X
Tentang penyakit menular dan tidak menular. Dalam bab ini mengatur tentang peran serta pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan, pengendalian, penanganan penyakit menular dan tidak menular.
10.  Bab XI
Mengatur tentang kesehatan lingkungan, yaitu upaya kesehatan lingkungan yang ditujukan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang terbebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan dalam upaya mencapai derajad kesehatan yang setinggi-tingginya.
11.  Bab XII
Tentang kesehatan kerja yang mengatur upaya kesehatan kerjayang ditujukan untuk melindungi pekerja baik sektor formal maupun informal agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruhburuk yang diakibatkanoleh pekerjaan. Dalam bab ini mengatur tentang pengusaha yang wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja dan gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja.
12.  Bab XIII
Mengatur tentang pengelolaan kesehatan yang dilakukan baik secara berjenjang yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam sistem kesehatan nasional melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajad kesehatan yang setinggi-tingginya.
13.  Bab XIV
Mengatur tentang pentingnya sistem informasi kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah guna mewujudkan penyelenggaraan upaya kesehatan yang efektif dan efisien, dan masyarakat dapat memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dengan mudah.
14.  Bab XV
Mengatur tentang pembiayaan kesehatan yang menuntut eksistensi pemerintah/pemerintah daerah dalam pembiayaan kesehatan. Pada pasal 171 dinyatakan bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan 5 % dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) diluar gaji. Sedangkan anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan kota/kabupaten dialokasikan minimal 10 % dari APBD di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam APBN dan APBD diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga). Pasal 173 juga mengatur tentang eksistensi swasta dalam pengelolaan pembiayaan kesehatan melalui jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.
15.  Bab XVI
Mengatur tentang peran serta masyarakat, baik secara perseorangan maupun terintegrasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu, mempercepat pencapaian derajad kesehatan masyarakat.
16.  Bab XVII
Mengatur tentang Badan Pertimbangan Kesehatan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah yang bersifat independen dan meiliki peran membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan serta mempunyai tugas : menginventarisasi masalah kesehatan, memberikan masukan kesehatan kepada pemerintah tentang sasaran kesehatan dan pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan; menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan; melakukan advokasi dan penggunaan dana kesehatan; memantau dan mengalokasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan. Namun Badan Pertimbangan Kesehatan ditingkat daerah peran dan fungsinya kurang menonjol.
17.  Bab XVIII
Mengatur tentang pembinaan dan pengawasan, yaitu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan yang dilakukan melalui komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, pendayagunaan tenaga kesehatan dan pembiayaan. Peran pengawasan yang dilakukan oleh menteri dapat didelegasikan kewenangannya kepada pemerintah non kementerian yaitu kepada kepala dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota, termasuk pemberian sanksi terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
18.  Bab XIX
Mengatur tentang penyidikan. Kewenangan penyidikan selain dilakukan oleh polisi negara Republik Indonesia, diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana.
19.  Bab XX
mengatur tentang ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini. Pada bab ini potensi mengkriminalisasi perempuan, termasuk menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban pemerkosaan yang trauma bila kehamilannya dilanjutkan. Misalnya pasal 194 menyebutkan setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai ketentuan pasal 75 ayat 2 dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
Pada bagian ini, undang-undang nomor 23 tahun 1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada paramedis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 ketentuan pidana berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. Undang-undang ini hanya mengecualikan aborsi untuk kondisi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan yang trauma, dengan syarat usia kehamilan di bawah enam minggu. Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat, sehingga menjadi undang-undang yang lahir berdasarkan respon kebutuhan dan isu strategis yang berkembang di masyarakat.
JAMINAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN YANG DITERIMA
Pasien adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:
1)      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4)      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6)      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar