TINJAUAN
KASUS ETIKA
FARMASI
Apotek letaknya
sangat strategis berada di tengah kota, buka pelayanan tiap hari jam 16.00 –
22.00. pasien sangat ramai serta jumlah resep yang banyak dilayani. Setiap hari
rata-rata 100 lembar resep. APA juga merupakan PNS dan masuk apotek jam 19.30.
Karena banyaknya pasien yang dilayani, penyerahan obat oleh tenaga teknis
kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang cukup.
Kajian Menurut Undang – undang
Berdasarkan
permasalahan diatas, kami menemukan beberapa ketidak hubungan antara yang
terjadi dengan yang terdapat di peraturan – peraturan yang berlaku mengenai
kesehatan dan pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut :
1. Undang-undang
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5
(1)
“Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau”.
Pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan
diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Pasal 108
(1)“ Praktik kefarmasiaan yang
meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
2. Undang-undang
N0.8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen
Pasal
4
(1)“Hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun
2009 Tentang PekerjaanKefarmasian:
Pasal 1
(13)“Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker”
Pasal
20
“Dalam menjalankan Pekerjaan
kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu
oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian”
Pasal
21
(1)“Dalam menjalankan praktek
kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep ddokter
dilaksanakan oleh Apoteker”
Pasal 51
(1)“Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh
Apoteker”
4. Keputusan Menteri Kesehatan
No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemebrian Izin
Apotek
Pasal
19.
(1)“Apabila Apoteker Pengelola
Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker Pengelola
Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.”
(2)“Apabila Apoteker Pengelola
Apotik dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan
melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker
Pengganti”
5. Keputusan
Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan di Apotek
Bab III
tentang pelayanan, standar pelayanan kesehatan di apotek meliputi:
1. Pelayanan resep : apoteker melakukan
skrining resep dan penyiapan obat
2. Apoteker memberikan promosi dan
edukasi
3. Apoteker memberikan pelayanan
kefarmasian (homecare)
a.
Penyiapan obat
Sebelum
obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker
disertai dengan informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga
keseahatan.
(3.6) Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter
gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan obat bagi pasien sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
(3.8) Pharmaceutical
care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi
apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.
a) Sumber
Daya
“Apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang professional yang senantiasa mampu melaksanakan dan
memberikan pelayanan yang baik.”
b) Sarana
dan Prasarana
“Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah
oleh apoteker untuk menerima konseling dan informasi.”
c) Pelayanan
resep: Apoteker melakukan skrining resep
hingga penyiapan obat
“Pelayanan
resep yang dilakukan oleh apoteker yang di apotek yang dimulai
dari skrining resep meliputi: persyaratan administratif (Nama, SIP dan
alamat dokter,tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter penulis resep, nama,
alamat, umur, jeniskelamin dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis,
dan jumlah obat, cara pemakaian yang jelas), kesesuaian farmasetik (bentuk
sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama
pemberian) dan pertimbangan klinis (efek samping, interaksi,
kesesuaian). Selain itu, apoteker juga memiliki tugas untuk melakukan
penyiapan obat meliputi tahap: peracikan dengan memperhatikan dosis, jenis
dan jumlah obat, etiket yang jelas, kemasan obat yang diserahkan dengan rapidan
terjaga kualitas.
d) Pelayanan Resep : Apoteker
melakukan penyerahan obat.
“ Sebelum obat diserahkan, obat
harus dicek kembali antara obat dan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker sambil dilakukan
pemberian informasi obat sekurang-kurangnya: cara pemakaian, cara
penyimpanan, jangka waktu pengobatan,aktivitas serta makanan dan minuman yang
harus dihindari; dan dilakukan konseling untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien.
e) Promosi dan Edukasi “Dalam
meningkatkan pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi
aktif dalam promosi dan edukasi kesehatan.”
6. Kode
etik apoteker
Pasal
3
“Setiap apoteker/Farmasis harus
sennatiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker/Farmasis
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya “
Pasal 5
“Di
dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri
dariusaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisiluhur
jabatan kefarmasian”
7. Lafal
sumpah dan janji apoteker
“Saya akan menjalankan tugas saya
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
farmasi”.
Dari kasus di atas “Pasien atau
konsumen ketika membeli obat di apotek hanya dilakukan oleh asisten apoteker”.
Hal ini melanggar pasal-pasal di atas. Pelayanan kefarmasian diapotek harus
dilakukan oleh apoteker, jika apoteker berhalangan hadir seharusnya digantikan
oleh apoteker pendamping dan jika apoteker pendamping berhalangan hadir
seharusnya digantikan oleh apoteker pengganti bukan digantikan oleh asisten
apoteker atau tenaga kefarmasian lainnya. Tenaga kefarmasian dalam hal ini
asisten apoteker hanya membantu pelayanan kefarmasian bukan menggantikan tugas
apoteker.
C. Sanksi
Ketika
seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya tidak mematuhi kode etik apoteker,
maka sesuai dengan kode etik apoteker Indonesia pasal 115 yang berbunyi
“Jika seorang apoteker baik dengan
sengaja maupun tidak disengajamelanggar atau tidak memenuhi kode etik apoteker
Indonesia, maka dia wajib mangakui dan menerima sanksi dari pemerintah,
ikatan/organisasi profesi yang menanganinya (IAI), dan mempertanggung
jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Sehingga seorang apoteker bisa
mendapatkan sanksi sebagai berikut:
1. Teguran dari IAI terhadap apoteker
maupun apotek yang bersangkutan.
2. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan :
a. Pasal 198 : Setiap orang yang tidak
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. Pasal 201
a) Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192, pasal 196, pasal 197,
pasal 198, pasal 199, pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain dipidana
penjaradan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidanadenda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196
, Pasal 197, Pasal 198,Pasal 199, dan Pasal 200
b) Selain pidana denda sebagaiman
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
i)
Pencabutan izin usaha; dan/atau
ii)
Pencabutan status badan hukum.
Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan
Kesehatan merupakan hak fundamental
bagi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan hal
tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) tahun 2005-2025 dinyatakan bahwa
untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, maka pembangunan nasional harus
diarahkan untuk mengedepankan pembangunan sumber daya manusia yang bekualitas
dan memiliki daya saing.
Dalam upaya membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing, maka pembangunan kesehatan perlu diarahkan pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Derajad kesehatan merupakan pilar utama bersama-sama dengan pendidikan dan ekonomi yang sangat erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh,produktif, dan mampu bersaing untuk menghadapi semua tantangan yang akan dihadapi. Untuk itu diperlukan perencanaan program yang bersifat inovatif, dan sebuah produk hukum yang memiliki sifat mengikat dan mengatur segala aspek kehidupan dibidang kesehatan yaitu Undang-Undang Kesehatan.
Dalam upaya membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing, maka pembangunan kesehatan perlu diarahkan pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Derajad kesehatan merupakan pilar utama bersama-sama dengan pendidikan dan ekonomi yang sangat erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh,produktif, dan mampu bersaing untuk menghadapi semua tantangan yang akan dihadapi. Untuk itu diperlukan perencanaan program yang bersifat inovatif, dan sebuah produk hukum yang memiliki sifat mengikat dan mengatur segala aspek kehidupan dibidang kesehatan yaitu Undang-Undang Kesehatan.
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan, merupakan revisi dari Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun
1992, yang disahkan pada tanggal 13 Oktober 2009 dan mulai berlaku secara resmi
tanggal 30 Oktober 2009. Undang-Undang Kesehatan baru yang memiliki XXII BAB
dan 205 pasal, seharusnya lebih progresif jika dibandingkan dengan
Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 hanya memiliki XII BAB dan 88
pasal. Dalam Undang-Undang Kesehatan (UUK) yang baru diatur tentang : 1) Azaz
dan tujuan; 2) Hak dan Kewajiban; 3) Tanggung Jawab pemerintah; 4) Sumber daya
dibidang kesehatan; 5) upaya kesehatan; 6) Kesehatan ibu, anak, bayi, remaja,
lanjut usia dan penyandang cacat; 7) Gizi; 8) Kesehatan Jiwa; 9) Penyakit
menular dan tidak menular; 10) Kesehatan lingkungan; 11) Kesehatan kerja; 12)
Pengelolaan kesehatan; 13) Informasi kesehatan; 14) pembiayaan kesehatan; 15)
Peran serta masyarakat; 16) Badan Pertimbangan Kesehatan; 17) Pembinaan dan
Pengawasan; 18) Penyidikan dan 19) Ketentuan pidana.
Isu strategis yang berkembang di
masyarakat adalah pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 memberikan perhatian
khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia lanjut, dan
keluarga miskin. Adapun sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2014
adalah meningkatnya derajad kesehatan masyarakat melalui percepatan pencapaian
pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang antara lain adalah 1)
meningkatnya usia harapan hidup menjadi 72 tahun; 2) menurunnya angka kematian
bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup; 3) menurunnya angka kematian ibu melahirkan
menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup; 4) menurunnya prevalensi gizi kurang
dan gizi buruk pada anak balita menjadi lebih kecil dari 15 %.
KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009
dapat mengakomodir isu-isu strategis dan permasalahan kesehatan dewasa ini,
seperti yang ditunjukkan pada
1.
Bab
I
Tentang ketentuan umum memuat
batasan dan pokok pikiran yang dijabarkan secara rinci di dalam materi undang-undang.
2.
Bab
II
Tentang asas dan tujuan. Dalam bab
ini mengatur asas dan tujuan pembangunan kesehatan, sebagai landasan dan arah
bagi pembangunan kesehatan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara ekonomis dan sosial (Pasal 2 dan 3). Arah kebijakan
pembangunan kesehatan adalah mengutamakan upaya pelayanan kesehatan dengan
pendekatan promotif, preventif tanpa meninggalkan upaya kuratif dan
rehabilitatif.
3.
Bab
III
Tentang hak dan kewajiban.
Menjelaskan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan
prinsip nondiskriminatif dan partisipatif dengan tetap memperhatikan hak dan
kewajiban setiap orang atas pelayanan kesehatan. Dalam pasal 4 – 13, mengatur
hak dan kewajiban individu sebagai elemen masyarakat atas pelayanan kesehatan.
Pasal-pasal
dalam bab tersebut tidak diterjemahkan dengan baik oleh lembaga penyelenggara
pelayanan kesehatan, dengan melakukan tindakan diskriminasi tehadap pasien pada
pelayanan kesehatan di rumah sakit tanpa memperhatikan hak pasien. Sebagai contoh
: orang yang mampu membayar biaya perawatan akan mendapatkan hak atas pelayanan
kesehatan dengan baik, dan dapat memilih rumah sakit maupun dokter yang
dikehendaki. Tetapi bagi orang yang tidak mampunyai biaya untuk membayar rumah
sakit/tidak dapat memberi uang muka untuk tindakan medis tertentu, maka akan
mendapatkan perlakuan tidak baik bahkan ditolak untuk berobat di rumah sakit
tersebut. Hal tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Kesehatan pasal 5
ayat 2, yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang mempunyai
hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.”
Ironisnya
penolakan terhadap pasien tidak mampu, terjadi pada rumah sakit milik
pemerintah. Dasar penolakan berkisar pada profit oriented dan beban biaya
operasional rumah sakit yang tinggi. Sehingga rumah sakit hanya akan melayani
pasien yang memberikan jaminan pembiayaan pengobatan saja.
4.
Bab
IV
Mengatur tentang
tanggung jawab pemerintah. Pemerintah sebagai penyelenggara negara, bertanggung
jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan, ketersediaan segala
bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau, serta
bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
seluruh masyarakat secara adil dan merata. Tanggung jawab pemerintah secara
rinci dan tegas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan diatur dalam pasal 14 -
pasal 20.
Menyikapi terjadinya penolakan pasien tidak mampu, menunjukkan bahwa pemerintah kurang optimal melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai pengawas dan pembina unit pelaksana teknis pelayanan kesehatan seperti yang diamanatkan undang-undang kesehatan pasal 14 ayat 1, yang berbunyi :
Menyikapi terjadinya penolakan pasien tidak mampu, menunjukkan bahwa pemerintah kurang optimal melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai pengawas dan pembina unit pelaksana teknis pelayanan kesehatan seperti yang diamanatkan undang-undang kesehatan pasal 14 ayat 1, yang berbunyi :
“Pemerintah bertanggung
jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh mayarakat”
Bahkan dalam
pasal ini menegaskan, bagi pasien tidak mampu akan memperoleh jaminan pelayanan
kesehatan masyarakat, dan pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial. Sehingga tidak ada alasan
bagi rumah sakit untuk menolak pasien tidak mampu atau menolak pasien yang
tidak dapat memberi uang muka terhadap biaya tindakan medis tertentu.
Bab V tentang sumber daya di bidang kesehatan. Secara rinci diatur tentang tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, perbekalan kesehatan serta teknologi dan produk teknologi merupakan sumber daya di bidang kesehatan yang potensial. Setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan didukung oleh keempat komponen tersebut.
Bab V tentang sumber daya di bidang kesehatan. Secara rinci diatur tentang tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, perbekalan kesehatan serta teknologi dan produk teknologi merupakan sumber daya di bidang kesehatan yang potensial. Setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan didukung oleh keempat komponen tersebut.
Diantara keempat
komponen, yang paling dominan menimbulkan konflik adalah permasalahan tenaga
kesehatan, karena tenaga kesehatan harus bekerja secara profesional dan
proporsional untuk menghindari kelalaian dalam melaksanakan pekerjaannya.
Tenaga kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan diatur dalam pasal 21 - 29.
Permasalahan yang sering terjadi adalah tentang kelalaian dalam bekerja yang
dapat terjadi manakala tenaga kesehatan melaksanakan tugas mandiri, tugas
kolaborasi maupun tugas pendelegasian wewenang, sehingga tenaga kesehatan yang
diduga melakukan kelalaian harus mendapatkan perlindungan secara hukum.
Namun pada
kenyataannya Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tidak dijadikan acuan
dan landasan hukum dengan baik oleh aparat penegak hukum dalam penyelesaian
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien. Penegak hukum harus
melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah akibat kelalaian tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugas, tetapi aparat penegak hukum lebih cenderung melakukan
tindakan hukum atas kelalaian tersebut., seperti yang diamanatkan Undang-Undang
Kesehatan Pasal 29 yang berbunyi :
“Dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”
Masalah lain
yang menjadi isu adalah penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin
melakukan pekerjaan profesi, sebagai contoh pemerintah tidak merespon tenaga
paramedis (perawat/perawat gigi) melakukan tindakan medis (pengobatan penyakit
/cure) di puskesmas yang merupakan otoritas dan kompetensi dokter/dokter gigi,
bahkan terkesan membiarkan kondisi tersebut terjadi, selama tidak mendapat
komplain dari masyarakat. Hal tersebut sama artinya dengan penyelenggara
pelayanan kesehatan mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi, seperti yang tertuang dalam
pasal 34 ayat 2 :
”Penyelenggara
fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang
tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.”
Masalah lain
yang timbul adalah tentang perbekalan kesehatan yaitu kewenangan yang diberikan
Undang-undang terhadap pemerintah untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan perbekalan kesehatan terutama obat esensial dan alat kesehatan.
Pemerintah mengirim obat dan alat kesehatan ke daerah-daerah tanpa
memperhatikan kesiapan dan kemampuan daerah. Pemerintah mengirim alat kesehatan
canggih yang kadang belum dibutuhkan daerah, karena memerlukan biaya perawatan
dan pemeliharaan sangat mahal, yang pada akhirnya berdampak pada rakyat miskin.
Karena beban biaya perawatan dan pemeliharaan dibebankan oleh rakyat.
5.
Bab
VI
Tentang upaya
kesehatan yang secara tegas telah mengatur tentang upaya kesehatan untuk
mewujudkan derajad kesehatan yang setinggi-tingginya, yang diselenggarakan
secara terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan
upaya kesehatan masyarakat. Pasal-pasal dalam bab ini telah menjawab isu
strategis tentang pembangunan kesehatan tahun 2005-2025 yang memberikan
perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi, anak, usia
lanjut, dan keluarga miskin. Serta memantapkan strategi untuk mencapai sasaran pembangunan
kesehatan pada akhir tahun 2014 yaitu meningkatkan derajad kesehatan masyarakat
melalui percepatan pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam bab ini
juga mengatur tentang pelayanan kesehatan dasar yang harus diselenggarakan atau
tersedia untuk menjamin hak azasi manusia untuk hidup sehat. Dan secara
eksplisit tersirat tentang penyelenggaraan atau penyediaan pelayanan kesehatan
dasar harus diwujudkan secara nyata guna menunjukkan keberpihakan kepada
masyarakat. Pasal-pasal dalam bab ini juga mengatur tentang perlindungan atas
hak pasien untuk menerima dan menolak upaya pelayanan kesehatan yang diberikan,
hak atas kerahasiaan kondisi kesehatannya serta hak untuk mendapatkan ganti
rugi terhadap tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.
Persoalan jual
beli organ dan jaringan tubuh juga diatur dalam pasal 64, ayat 2 yang
menyebutkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh didilakukan hanya
untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan, sedangkan ayat 3
menyebutkan bahwa organ dan/atau jaringan tubuh dilarang untuk diperjualbelikan
dengan dalih apapun.
Pasal 71 – 74
mengatur tentang kesehatan reproduksi. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa
kesehatan reproduksi dapat diperoleh oleh perempuan jika berada dalam status
perkawinan. Pasal ini tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi individu
perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak untuk mendapatkan
layanan kesehatan reproduksi individu, maka hak kesehatan reproduksi individu
lajang menjadi terabaikan. Karena pada kenyataannya layanan pap smear untuk
deteksi awal kanker rahim mensyaratkan harus sudah menikah. Pasal-pasal ini
juga melanggar hak kesehatan yang bersifat universal dan merupakan hak azasi
warga negara, selain itu juga menjadi sandungan upaya untuk mengurangi angka
kematian ibu melahirkan
Hilangnya jaminan kepastian hukum bagi semua orang dan resiko memunculkan pengabaian ada pada pasal 72 : setiap orang berhak
Hilangnya jaminan kepastian hukum bagi semua orang dan resiko memunculkan pengabaian ada pada pasal 72 : setiap orang berhak
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan sosial
yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan
yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari
diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur
yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama
Rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tetapi justru direduksi atas dasar status perkawinan.
Rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tetapi justru direduksi atas dasar status perkawinan.
Aborsi juga
dilarang dalam undang-undang ini (pasal 75 ayat 1), kecuali berdasarkan
indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan atau
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban. Meski demikian pembolehan aborsi itupun melalui syarat yang ketat.
Misalnya hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu, dan
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
(pasal 76).
Aborsi aman
dalam pasal-pasal ini hanya diberikan kepada pasangan yang sudah menikah dan
ganjalan pada pasal moral dan agama tidak diatur dalam undang-undang ini,
misalnya korban pemerkosaan diminta mempertahankan kehamilan oleh keluarga
karena atas nama moral dan agama. Pasal mengenai aborsi juga mengabaikan
pengalaman perempuan yang terpaksa menghentikan kehamilannya oleh sebab-sebab
tertentu.
Undang-Undang
nomor 36 tahun 2009, telah mengakomodasi isu terkini, seperti masalah jaminan
keamanan makanan / minuman hasil teknologi rekayasa genetika dengan memberi
rambu-rambu yang jelas (pasal 109). Dan pasal-pasal dalam pengaturan penggunaan
makanan dan minuman secara langsung maupun tidak langsung membawa implikasi
bagi dunia usaha. Sebagai contoh pasal 111 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1)
Makanan dan minuman
yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau
persyaratan kesehatan.
(2)
Makanan dan
minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari kontrofersi yang sempat menghangat terkait hilangnya ayat tembakau dalam pasal 113 beberapa waktu yang lalu, undang-undang yang baru ini menjanjikan banyak harapan baru. Khususnya harapan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, terutama dalam rangka menuju Indonesia sehat 2010.
Terlepas dari kontrofersi yang sempat menghangat terkait hilangnya ayat tembakau dalam pasal 113 beberapa waktu yang lalu, undang-undang yang baru ini menjanjikan banyak harapan baru. Khususnya harapan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, terutama dalam rangka menuju Indonesia sehat 2010.
6.
Bab
VII
Tentang
Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat. Dalam bab
ini mengatur secara lengkap mengenai : upaya menjaga kesehatan ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu; hak bayi untuk mendapatkan air susu eksklusif dan mengharuskan
pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung; hak
anak untuk memperoleh imunisasi guna mencegah terjadinya penyakit serta hak
atas perlindungan dari tindakan diskriminasi terhadap bayi dan anak.
7.
Bab
VIII
Mengatur tentang
gizi. Undang-Undang Kesehatan mencoba menjawab tantangan, mengatur strategi dan
mengatur program lanjutan untuk mengatasi masalah gizi buruk dan gizi kurang.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa 19 provinsi mempunyai
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang diatas prevalensi nasional 18,4 %. Maka
dalam pasal 141-143 mengatur tentang : upaya perbaikan gizi sejak dalam
kandungan sampai dengan lanjut usia yang diprioritaskan pada kelompok rawan;
mengatur pula tentang tanggung jawab pemerintah atas pemenuhan dan kecukupan
gizi pada keluarga miskin serta serta tanggung jawab pemerintah terhadap
peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi.
8.
Bab
IX
Pasal 144 – 151
mengatur tentang Upaya kesehatan jiwa yang ditujukan untuk menjamin setiap
orang untuk dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa
serta mengatur upaya pemerintah untuk menciptakan kondisi kesehatan jiwa
setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaannya, aksebilitas, mutu dan
pemerataan upaya kesehatan jiwa bagi seluruh lapisan masyarakat yang
membutuhkan.
9.
Bab
X
Tentang penyakit
menular dan tidak menular. Dalam bab ini mengatur tentang peran serta
pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan, pengendalian, penanganan
penyakit menular dan tidak menular.
10. Bab XI
Mengatur tentang
kesehatan lingkungan, yaitu upaya kesehatan lingkungan yang ditujukan untuk
mewujudkan lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial
yang terbebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan dalam upaya
mencapai derajad kesehatan yang setinggi-tingginya.
11. Bab XII
Tentang
kesehatan kerja yang mengatur upaya kesehatan kerjayang ditujukan untuk
melindungi pekerja baik sektor formal maupun informal agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruhburuk yang diakibatkanoleh
pekerjaan. Dalam bab ini mengatur tentang pengusaha yang wajib menjamin
kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan
pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja
dan gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja.
12. Bab XIII
Mengatur tentang
pengelolaan kesehatan yang dilakukan baik secara berjenjang yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam
sistem kesehatan nasional melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi
kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran
serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajad kesehatan yang setinggi-tingginya.
13. Bab XIV
Mengatur tentang
pentingnya sistem informasi kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah
guna mewujudkan penyelenggaraan upaya kesehatan yang efektif dan efisien, dan
masyarakat dapat memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dengan mudah.
14. Bab XV
Mengatur tentang
pembiayaan kesehatan yang menuntut eksistensi pemerintah/pemerintah daerah
dalam pembiayaan kesehatan. Pada pasal 171 dinyatakan bahwa besar anggaran
kesehatan pemerintah dialokasikan 5 % dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional
(APBN) diluar gaji. Sedangkan anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan
kota/kabupaten dialokasikan minimal 10 % dari APBD di luar gaji. Besaran
anggaran kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam APBN dan APBD diprioritaskan
untuk kepentingan pelayanan publik terutama bagi penduduk miskin, kelompok
lanjut usia, dan anak terlantar yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua per
tiga). Pasal 173 juga mengatur tentang eksistensi swasta dalam pengelolaan
pembiayaan kesehatan melalui jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
15. Bab XVI
Mengatur tentang
peran serta masyarakat, baik secara perseorangan maupun terintegrasi dalam
segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu,
mempercepat pencapaian derajad kesehatan masyarakat.
16. Bab XVII
Mengatur tentang
Badan Pertimbangan Kesehatan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah yang
bersifat independen dan meiliki peran membantu pemerintah dan masyarakat dalam
bidang kesehatan serta mempunyai tugas : menginventarisasi masalah kesehatan, memberikan
masukan kesehatan kepada pemerintah tentang sasaran kesehatan dan
pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan;
menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan;
melakukan advokasi dan penggunaan dana kesehatan; memantau dan mengalokasi
pelaksanaan pembangunan kesehatan; merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif
yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan. Namun Badan
Pertimbangan Kesehatan ditingkat daerah peran dan fungsinya kurang menonjol.
17. Bab XVIII
Mengatur tentang
pembinaan dan pengawasan, yaitu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat dan terhadap
setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di
bidang kesehatan dan upaya kesehatan yang dilakukan melalui komunikasi,
informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, pendayagunaan tenaga kesehatan
dan pembiayaan. Peran pengawasan yang dilakukan oleh menteri dapat didelegasikan
kewenangannya kepada pemerintah non kementerian yaitu kepada kepala dinas
kesehatan provinsi atau kabupaten/kota, termasuk pemberian sanksi terhadap
tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan
perundang-undangan.
18. Bab XIX
Mengatur tentang
penyidikan. Kewenangan penyidikan selain dilakukan oleh polisi negara Republik
Indonesia, diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana.
19. Bab XX
mengatur tentang
ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan
bila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini. Pada bab ini potensi mengkriminalisasi
perempuan, termasuk menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian
terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban pemerkosaan yang
trauma bila kehamilannya dilanjutkan. Misalnya pasal 194 menyebutkan setiap
orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai ketentuan pasal 75 ayat 2
dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,-
Pada bagian ini,
undang-undang nomor 23 tahun 1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada paramedis
yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009
ketentuan pidana berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. Undang-undang
ini hanya mengecualikan aborsi untuk kondisi kedaruratan medis dan korban
pemerkosaan yang trauma, dengan syarat usia kehamilan di bawah enam minggu. Untuk
itu, kajian kritis tetap diperlukan agar undang-undang nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan, benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat, sehingga
menjadi undang-undang yang lahir berdasarkan respon kebutuhan dan isu strategis
yang berkembang di masyarakat.
JAMINAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN YANG
DITERIMA
Pasien adalah konsumen, sehingga secara umum
pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen
adalah:
1) Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2) Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4) Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5) Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8) Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar