Sabtu, 19 September 2015

TIFOID



Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Diperkirakan terdapat lebih dari  21,5 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia pada tahun 2000. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk per tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan infeksi bakteri gram negatif, yaitu Salmonella thypi, yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman atau bahan-bahan lain yang dicemari bakteri tersebut.3 Manifestasi klinis demam tifoid antara lain demam, sakit kepala, nyeri abdomen, bradikardi relatif, splenomegali dan leukopenia.4 Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler.
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.




A.    Definisi
Demam Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype Typhi (S typhi). Sementara Demam Paratifoid, penyakit yang gejalanya mirip namun lebih ringan dari Demam Tifoid disebabkan oleh S paratyphi A,B atau C. Bakteri S typhi hanya menginfeksi manusia. Orang biasanya menderita penyakit ini setelah memakan atau meminum makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kotoran (feses) yang mengandung S typhi.
Demam Tifoid merupakan penyakit endemik (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil) di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Insiden infeksi Salmonella tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun. Angka kematian lebih tinggi pada bayi, orang tua dan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun (HIV, keganasan). Studi terakhir dari Asia Tenggara mendapatkan bahwa insidens tertinggi terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Kasus yang berujung pada kematian tidak lebih dari 1%, meskipun demikian, angka ini bervariasi di seluruh dunia. Di Pakistan dan Vietnam, dari pasien yang dirawat di rumah sakit, angkanya kurang dari 2 %, sementara di beberapa area di Papua Nugini dan Indonesia, angkanya bisa mencapai 30-50 %. Hal ini sebagian besar disebabkan karena tertundanya pemberian antibiotik yang tepat.

B.     Patogenesis
Untuk menimbulkan penyakit, dibutuhkan jumlah tertentu S typhi yang masuk ke dalam saluran cerna. Sebelum sampai ke usus halus, kuman ini harus melewati asam lambung. Segala hal yang menyebabkan penurunan asam lambung (proses penuaan, obat-obatan untuk menurunkan asam lambung seperti antasid, anti H-2 reseptor, dan proton pump inhibitor), mempermudah kuman ini masuk sampai ke usus halus, akibatnya meski kuman yang masuk jumlanya hanya sedikit, yang bersangkutan akan jatuh sakit.
Setelah sampai di usus halus, kuman ini akan menempel di kelenjar getah bening di dinding usus bagian dalam (plak Peyer). Lalu kuman menembus dinding usus bagian dalam dan menyebar ke kelenjar getah bening usus lainnya sampai ke hati dan limpa.
Waktu yang dibutuhkan sejak kuman masuk sampai timbul gejala (masa inkubasi) sekitar 7-14 hari. Setelah itu kuman S. typhi akan masuk ke dalam darah (bakteriemia) dan dapat menyebar ke berbagai organ tubuh. Tempat bersarangnya kuman ini selain hati dan limpa adalah kandung empedu, sumsum tulang dan ada juga yang tetap menetap di plak Peyer.

C.    Manifestasi Klinis
Setelah kuman masuk ke dalam saluran cerna, akan ada masa tanpa gejala (masa inkubasi) sekitar 7-14 hari. Pada saat bakteriemia, akan timbul demam. Suhu tubuh awalnya akan naik perlahan dan lebih tinggi setiap malamnya dari malam sebelumnya, dikenal dengan istilah Stepping ladder (lihat gambar). Oleh karena itu, suhu tubuh harus diukur menggunakan termometer dan bukan hanya dengan perabaan. Hal ini berlangsung selama 7 hari, lalu setelah itu, suhu tubuh akan menetap tinggi sekitar 39-40 oC.
Selain demam, juga akan muncul gejala lain seperti flu-like symptoms, sakit kepala, lesu, tidak nafsu makan, mual, rasa tidak nyaman di perut yang sukar dilokalisir, batuk kering, konstipasi atau diare. Pada anak-anak dan orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, diare lebih sering terjadi dibanding konstipasi.
Jika anak anda diperiksa oleh dokter, maka akan didapatkan anak tampak sakit berat, peningkatan suhu tubuh, bradikardia relatif (normalnya jika suhu tubuh meningkat 1 oC, maka denyut nadi akan meningkat 10 poin; hal ini tidak terjadi pada demam tifoid), lidah tifoid (permukaan lidah berwarna putih sementara tepinya berwarna merah), nyeri pada perut, pembesaran hati dan limpa. Pada ras kulit putih akan nampak bercak-bercak berwarna merah muda (rose spot) berukuran 2-4 mm di daerah dada dan perut. Tetapi, untuk ras kulit berwarna, bercak ini jarang sekali terlihat. Pada anak di bawah 5 tahun dapat terjadi penurunan kesadaran bahkan kejang.

D.    Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat mempermudah seseorang tertular penyakit ini adalah:
·         Kerja atau bepergian di/ke daerah endemik atau pekerjaannya berhubungan langsung dengan bakteri tersebut, seperti dokter, pekerja lab yang menangani langsung Salmonella typhi, atau turis yang bepergian kenegara-negara endemik.
·         Kontak langsung dengan penderita atau orang yang baru sembuh
·         Sistem imunitas yang lebih
·         Tidak tersedianya sanitasi dan air bersih yang layak
·         Banjir
·         Pernah terkena infeksi Helicobacter pylori. Infeksi bakteri ini dan pengobatannya akan meningkatkan pH asam lambung, sehingga tidak adekuat untuk membunuh bakteri yang masuk kedalam lambung.

E.     Komplikasi
1)      Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat :
2)      Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus; sekitar 2% mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.
3)      Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis).
4)      Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga dan biasanya terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga bisa menyebabkan pneumonia).
5)      Infeksi kandung kemih dan hati.
6)      Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup jantung (endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
7)      Pada sekitar 10% kasus yang tidak diobati, gejala-gejala infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda.

F.     Diagnosis
Diagnosis klinis untuk demam tifoid sukar untuk ditegakkan. Di daerah endemik seperti Indonesia, demam tanpa sebab yang jelas yang berlangsung lebih dari 7 hari harus dicurigai demam tifoid sebagai salah satu diagnosis yang mungkin. Pada pemeriksaan darah rutin, kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit bisa dalam nilai normal atau sedikit menurun. Tes fungsi hati (SGOT/SGPT) biasanya meningkat ringan. Pada anak-anak, kadar leukosit bisa meningkat sampai 20.000-25.000/mm3. Kadar trombosit yang rendah mungkin berhubungan dengan derajat keparahan penyakit.
  1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
a.       Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b.      Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c.       Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1.      Teknik pemeriksaan Laboratorium.
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2.      Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3.      Vaksinasi di masa lampau.
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4.      Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d.      Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella Thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1)      Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2)      Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3)      Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
1.      Faktor yang berhubungan dengan klien :
a)      Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b)      Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
c)      Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
d)     Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
e)      Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
f)       Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g)      Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
h)      Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
2.      Faktor-faktor Teknis
a)              Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
b)             Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
c)              Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar