Demam tifoid masih menjadi masalah
kesehatan yang penting di negara berkembang. Demam tifoid masih dijumpai secara
luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan
subtropis. Diperkirakan terdapat lebih dari
21,5 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia pada tahun 2000. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi
di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk per tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang
terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan infeksi bakteri
gram negatif, yaitu Salmonella thypi,
yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman atau bahan-bahan lain yang
dicemari bakteri tersebut.3
Manifestasi klinis demam tifoid antara lain demam, sakit kepala, nyeri abdomen,
bradikardi relatif, splenomegali dan leukopenia.4 Gambaran klinis demam tifoid
seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan
konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi biakan
kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler.
Berbagai metode diagnostik masih terus
dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk
membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi
penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara
dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya
komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran
penyakit melalui identifikasi karier.
A.
Definisi
Demam
Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica serotype Typhi (S typhi). Sementara Demam Paratifoid, penyakit yang
gejalanya mirip namun lebih ringan dari Demam Tifoid disebabkan oleh S
paratyphi A,B atau C. Bakteri S typhi hanya menginfeksi manusia. Orang biasanya
menderita penyakit ini setelah memakan atau meminum makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh kotoran (feses) yang mengandung S typhi.
Demam
Tifoid merupakan penyakit endemik (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang
waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil) di Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Insiden infeksi Salmonella tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun.
Angka kematian lebih tinggi pada bayi, orang tua dan pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang menurun (HIV, keganasan). Studi terakhir dari Asia
Tenggara mendapatkan bahwa insidens tertinggi terjadi pada anak di bawah usia 5
tahun. Kasus yang berujung pada kematian tidak lebih dari 1%, meskipun
demikian, angka ini bervariasi di seluruh dunia. Di Pakistan dan Vietnam, dari
pasien yang dirawat di rumah sakit, angkanya kurang dari 2 %, sementara di
beberapa area di Papua Nugini dan Indonesia, angkanya bisa mencapai 30-50 %.
Hal ini sebagian besar disebabkan karena tertundanya pemberian antibiotik yang
tepat.
B.
Patogenesis
Untuk
menimbulkan penyakit, dibutuhkan jumlah tertentu S typhi yang masuk ke dalam
saluran cerna. Sebelum sampai ke usus halus, kuman ini harus melewati asam
lambung. Segala hal yang menyebabkan penurunan asam lambung (proses penuaan, obat-obatan
untuk menurunkan asam lambung seperti antasid, anti H-2 reseptor, dan proton
pump inhibitor), mempermudah kuman ini masuk sampai ke usus halus, akibatnya
meski kuman yang masuk jumlanya hanya sedikit, yang bersangkutan akan jatuh
sakit.
Setelah sampai di usus halus, kuman ini akan menempel di kelenjar getah bening di dinding usus bagian dalam (plak Peyer). Lalu kuman menembus dinding usus bagian dalam dan menyebar ke kelenjar getah bening usus lainnya sampai ke hati dan limpa.
Setelah sampai di usus halus, kuman ini akan menempel di kelenjar getah bening di dinding usus bagian dalam (plak Peyer). Lalu kuman menembus dinding usus bagian dalam dan menyebar ke kelenjar getah bening usus lainnya sampai ke hati dan limpa.
Waktu
yang dibutuhkan sejak kuman masuk sampai timbul gejala (masa inkubasi) sekitar
7-14 hari. Setelah itu kuman S. typhi akan masuk ke dalam darah (bakteriemia)
dan dapat menyebar ke berbagai organ tubuh. Tempat bersarangnya kuman ini
selain hati dan limpa adalah kandung empedu, sumsum tulang dan ada juga yang
tetap menetap di plak Peyer.
C.
Manifestasi Klinis
Setelah
kuman masuk ke dalam saluran cerna, akan ada masa tanpa gejala (masa inkubasi)
sekitar 7-14 hari. Pada saat bakteriemia, akan timbul demam. Suhu tubuh awalnya
akan naik perlahan dan lebih tinggi setiap malamnya dari malam sebelumnya,
dikenal dengan istilah Stepping ladder (lihat gambar). Oleh karena itu, suhu
tubuh harus diukur menggunakan termometer dan bukan hanya dengan perabaan. Hal
ini berlangsung selama 7 hari, lalu setelah itu, suhu tubuh akan menetap tinggi
sekitar 39-40 oC.
Selain
demam, juga akan muncul gejala lain seperti flu-like symptoms, sakit kepala,
lesu, tidak nafsu makan, mual, rasa tidak nyaman di perut yang sukar
dilokalisir, batuk kering, konstipasi atau diare. Pada anak-anak dan orang
dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, diare lebih sering terjadi dibanding
konstipasi.
Jika
anak anda diperiksa oleh dokter, maka akan didapatkan anak tampak sakit berat,
peningkatan suhu tubuh, bradikardia relatif (normalnya jika suhu tubuh
meningkat 1 oC, maka denyut nadi akan meningkat 10 poin; hal ini tidak terjadi
pada demam tifoid), lidah tifoid (permukaan lidah berwarna putih sementara
tepinya berwarna merah), nyeri pada perut, pembesaran hati dan limpa. Pada ras
kulit putih akan nampak bercak-bercak berwarna merah muda (rose spot) berukuran
2-4 mm di daerah dada dan perut. Tetapi, untuk ras kulit berwarna, bercak ini
jarang sekali terlihat. Pada anak di bawah 5 tahun dapat terjadi penurunan
kesadaran bahkan kejang.
D.
Faktor Resiko
Faktor-faktor
yang dapat mempermudah seseorang tertular penyakit ini adalah:
·
Kerja atau bepergian di/ke
daerah endemik atau pekerjaannya berhubungan langsung dengan bakteri tersebut,
seperti dokter, pekerja lab yang menangani langsung Salmonella typhi, atau turis yang bepergian kenegara-negara
endemik.
·
Kontak langsung dengan
penderita atau orang yang baru sembuh
·
Sistem imunitas yang lebih
·
Tidak tersedianya sanitasi dan
air bersih yang layak
·
Banjir
·
Pernah terkena infeksi Helicobacter pylori. Infeksi bakteri ini
dan pengobatannya akan meningkatkan pH asam lambung, sehingga tidak adekuat
untuk membunuh bakteri yang masuk kedalam lambung.
E.
Komplikasi
1)
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa
terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila
pengobatannya terlambat :
2)
Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus; sekitar 2% mengalami
perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.
3)
Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang
hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis).
4)
Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga dan biasanya terjadi
akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga bisa menyebabkan
pneumonia).
5)
Infeksi kandung kemih dan hati.
6)
Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan terjadinya infeksi tulang
(osteomielitis), infeksi katup jantung (endokarditis), infeksi selaput otak
(meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
7) Pada sekitar 10% kasus yang tidak
diobati, gejala-gejala infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah
demam mereda.
F.
Diagnosis
Diagnosis
klinis untuk demam tifoid sukar untuk ditegakkan. Di daerah endemik seperti
Indonesia, demam tanpa sebab yang jelas yang berlangsung lebih dari 7 hari
harus dicurigai demam tifoid sebagai salah satu diagnosis yang mungkin. Pada
pemeriksaan darah rutin, kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit bisa dalam
nilai normal atau sedikit menurun. Tes fungsi hati (SGOT/SGPT) biasanya
meningkat ringan. Pada anak-anak, kadar leukosit bisa meningkat sampai
20.000-25.000/mm3. Kadar trombosit yang rendah mungkin berhubungan dengan
derajat keparahan penyakit.
- Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada
klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
a.
Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literatur
dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada
pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b.
Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat
tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c.
Biakan darah
Bila biakan darah positif
hal itu menandakan demam typhoid,
tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan
Laboratorium.
Hasil pemeriksaan satu
laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh
perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang
baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama
perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap
salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada
minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau.
Vaksinasi terhadap demam
typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi
ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti
mikroba.
Bila klien sebelum
pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d.
Uji Widal
Uji widal adalah suatu
reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhi
terdapat dalam serum klien dengan typhoid
juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada
uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka
menderita typhoid. Akibat infeksi
oleh Salmonella Thypi, klien membuat
antibodi atau aglutinin yaitu :
1)
Aglutinin O, yang dibuat karena
rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2)
Aglutinin H, yang dibuat karena
rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3)
Aglutinin Vi, yang dibuat
karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin
tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin
tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal
:
1.
Faktor yang berhubungan dengan
klien :
a)
Keadaan umum : gizi buruk dapat
menghambat pembentukan antibodi.
b)
Saat pemeriksaan selama
perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1
minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
c)
Penyakit – penyakit tertentu :
ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat
menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
d)
Pengobatan dini dengan
antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
e)
Obat-obatan imunosupresif atau
kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan
antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
f)
Vaksinasi dengan kotipa atau
tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O
dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2
tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi
kurang mempunyai nilai diagnostik.
g)
Infeksi klien dengan
klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil
uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
h)
Reaksi anamnesa : keadaan
dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena
penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah
tertular salmonella di masa lalu.
2.
Faktor-faktor Teknis
a)
Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat
mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu
spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
b)
Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi
hasil uji widal.
c)
Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar