Senin, 21 September 2015

INTERAKSI OBAT NSAID



A.    PENDAHULUAN
Substansi yang menghambat proses peradangan dan memiliki efek analgesik serta antipiretik dikiasifikasikan sebagai obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Obat ini tidak mengandung struktur steroid dan efeknyatidak bergantung kepada pelepasan kortisol. Pada tahun-tahun belakangan ini NSAID mendapat banyak kritik dari berbagai pihak. Pada dasarnya, ini terjadi karena efek samping yang cukup menonjol dari beberapa macam obat yang selanjutnya ditarik dari peredaran. Meskipun demikian, NSAID tetap merupakan obat utama untuk mengatasi rasa nyeri pada penyakit-penyakit reumatik. Dalam tahun 1984, di Amerika lebih dari 30 juta jiwa nienelan sebutir aspirin atau NSAID setiap hari. Nilai penjualan obat-obat ini melebihi 1 milyar dolar Amerika. Baru-baru ini penjualan di beberapa negara mungkin meningkat karena dimulainya penjualan bebas, misalnya ibuprofen di Inggnis.
Pertanyaan mengenai berapa banyak NSAID yang sebenarnya dipenlukan masih belum terjawab. Terdapat perbedaan besar dalam penulisan resep NSAID untuk artritis reumatoid pada beberapa negara, dan perbedaan ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh strategi pemasaran daripada oleh respon pasien yang berbeda terhadap NSAID pada berbagai negara.
Di Australia dan Inggris, sampai 20% penderita yang dirawat di rumah sakit (terutama penderita di atas usia 65 tahun) sedang menggunakan NSAID. Meskipun obat ini sangat berguna untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, merekajuga meng- akibatkan efek samping yang serius. NSAID adalah komponen utama pengobatan kebanyakan keluhankeluhan rematik, dan dalam rangka mencapai hasil yang maksimal dengan risiko yang minimal, beberapa prinsip harus dilaksanakan dalam pemakaiannya.


B.     MEKANISME KERJA
NSAID dapat bekerja di berbagai tempat pada jalur proses peradangan (inflammatory pathway); terutama melalui hambatan siklooksigenase dan dengan demikian menghambat sintesis prostaglandin. Hambatan sintesis prostaglandin merupakan salah satu faktor yang berperan dalam mengurangi reaksi peradangan. Berkurangnya proses peradangan pada osteoartritis membantu mempertahankan proteoglikan, dan dengan demikianjuga mem- pertahankan sintesis tulang rawan (Matsubara, 1991). Beberapa NSAID (misalnya indometasin dan salisilat) menghambat sinte- sis proteoglikan, sehingga usaha tubuh untuk memperbaiki sendi yang rusak pada osteoartritis menjadi kurang efektif (Pelletier, 1990).
Pengaruh NSAID terhadap fungsi limfosit dan neutrofil tidak bergantung kepada pengaruhnya terhadap biosintesis prostaglandin. Meskipun demikian, mekanisme yang pasti belum diketahui. Efek NSAID terhadap jalur peradangan bersifat individual dan mungkin dapat menjelaskan perbedaan respon terhadap obat-obat ini. Respon individu terhadap obat yang berbeda tetapi berasal dari golongan yang sama dapat berlainan. Dengan perkataan lain, kegagalan satu macam obat tidak berarti penggunaan semua obat dalam golongan itu akan gagal pula. Ada sebuah postulat yang mengemukakan bahwa kompleksitas proses peradangan yang mendasari penyakit reumatik tertentu direfleksikan dalam perbedaan respon penderita terhadap obat dan insidens efek samping. Sebagai contoh, proses peradangan pada lesi jaringan lunak dan artritis gout akut berbeda dengan proses imunologis dan seluler yang kompleks yang merupakan dasar dan peradangan kronis pada artritis reumatoid. Jadi lesi jaringan lunak dan artritis gout akut merupakan contoh dari proses peradangan yang sederhana, responsif terhadap ke- banyakan NSAID dengan hanya sedikit perbedaan dalam respon penderita dan insidens efek samping rendah. Proses peradangan yang kompleks pada artritis reumatoid diikuti oleh respon pen- derita yang sangat bervariasi terhadap NSAID dan insidens efek samping tinggi.
Akhir-akhir ini telah dikemukakan bahwa beberapa NSAID dapat mempengaruhi fungsi chondrosit dan ini mungkin sangat penting pada penyakit seperti osteoartritis. Telah lama diduga bahwa NSAID mungkin dapat menghambat perkembangan osteoatritis, terutama sendi yang memikul beban (weight-bearing joints). Padapercobaan in vitro, beberapa NSAID ternyata dapat meningkatkan sintesis glikosaminoglikan pada sel tulang rawan normal. Meskipun ini merupakan hasil penelitian yang pentin, kita harus hati-hati dalam menerapkan- nya pada manusia.

C.    FARMAKOKINETIK
Jika diasumsikan bahwa terdapat responder dan nonresponder terhadap NSAID, mungkin akan dapat dilihat hubungan yang bermakna antara dose-response dengan plasma concentration- response pada responder. Hubungan respon dengan konsentrasi lebih besar kemungkinannya untuk dilihat jika obat yang aktif diukur dekat pada tempatnya bekerja (misalnya lebihjelas di cairan sinovium daripada di plasma). Tetapi telah ditunjukkan bahwa pada cairan sinovium, konsentrasi prostaglandin tetap rendah lama setelah kadar NSAID plasma menghilang. NSAID dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu golongan dengan half-life pendek dan golongan dengan half-life panjang.
Penting untuk diingat bahwa penelitian tentang kinetika. Cairan sinovium telah menunjukkan bahwa konsentrasi obat di sini lebih lama dan lebih stabil dibandingkan dengan konsentrasi dalam plasma. Dari segi praktis, ini berarti bahwa banyak NSAID dengan waktu-paruh pendek cukup efektif dalam mengurangi nyeri dan kekakuan dengan dosis dua kali sehari.
NSAID dengan waktu-paruh panjang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tahap steady state dalam plasma dan cairan sinovium, dan mereka dapat tinggal dalam tubuh lebih lama setelah pemberian dihentikan. Baru-baru ini telah diproduksi preparat slow-release beberapa NSAID dengan waktu-paruh pendek dalam usaha mengurangi frekuensi pemberian.
Klirens beberapa NSAID dipengaruhi oleh ginjal dan usia. Hal ini penting, karena kebanyakan penderita yang menggunakan obat ini adalah orang tua dan mempunyai latan belakang penyakit ginjal. Klirens diflunisal, ketopofen, fenoprofen, naproksen dan indometasin pada penderita insufisiensi ginjal inenurun. Klirens naproksen, ketoprofen, azapropazon dan salisilat pada orang tua menurun. Data ini memperkuat pendapat bahwa kita harus ber- hati-hati jika memberikan NSAID kepada penderita-penderita seperti ini. Beberapa NSAID memiliki khasiat tertentu yang lebih menonjol, misalnya asam megenamat mempunyai efek antiinflamasi yang lemah, tetapi efek analgesiknya kuat; indometasin mempunyai efek antiinflamasi yangkuat. NSAID lain merupakan analgesik yang kuat pada dosis rendah, sedangkan pada dosis tinggi merupakan obat antiinflamasi yang kuat (misalnya asam asetil salisilat, ibuprofen).
Tabel 1. Waktu Paruh Obat NSAID
D.    INTERAKSI NSAID
Karena NSAID dipakai oleh penderita yang sering menderita penyakit lain dan sedang mendapat pengobatan lain, kemungkinan terjadinya interaksi obat cukup tinggi. Ada dua macam interaksi obat :
1)      Interaksi farmakokinetik :
Terdapat perubahan konsentrasi obat dalam plasma.
2)      Interaksi farmakodinamik :
Penambahan efek farmakologis obat yang dipengaruhi terjadi tanpa perubahan konsentrasi obat dalam plasma.
         Kombinasi antikoagulansia oral dengan fenilbutazon, oksifenbutazon atau azaproparon harus dihindarkan; antikoagulansia oral dapat digunakan bersama-sama dengan NSAID lain jika benar-benar diperlukan, tetapi harus dibawah pengawasan ketat.
         Harus dilakukan monitoring yang ketat jika obat hipoglikemik oral, antiepilepsi dan lithium dipakai bersama-sama dengan NSAID.
         Semua NSAID mempengaruhi klirens metotreksat. Interaksi ini penting jika metotreksat dosis tinggi diperlukan pada kemoterapi kanker; tetapi mungkin tidak begitu penting pada dosis rendah, misalnya pada pengobatan artritis reumatoid.
         Terdapat interaksi yang penting antara obat antihipertensi, diuretik dan semua NSAID (kecuali sulindac). Interaksi ini mengurangi efek hipotesi dan diuretik dan tampaknya timbul atas dasar perbedaan individu. Harus dilakukan monitoring kardiovaskuler yang ketatjika obat-obat ini digunakan bersama-sama.
Tabel 2. Interaksi Obat NSAID
Nama Golongan
Nama Generik/ Dagang
Interaksi obat
Derivat Asam Salisilat
Aspirin
(Aspilet,
Farmasal, Aptor)
ACE inhibotor: menurunkan efek antihipertensi
Antasida: menurunkan konsentrasi salisilat
Kortikosteroid: meningkatkan risiko ulkus dari GI dan meningkatkan ekskresi salisilat
Diltiazem: meningkatkan efek antiplatelet
Anikoagulan: meningkatkan risiko perdarahan
Derivat Asam Propionat
Ibuprofen (Bufect, bufect forte, Fenris, Proris,
Dofen 200/400)
Aminoglikosida: ↓bersihan aminog dgn ↑kadar aminoglikosid & potensi toksisitasnya (tu indometasin pd bayi premature)
Antikoagulan: ↑↑hipoprotrombinemia, ↓agregasi platelet dgn ↑perdarahan lambung
antiHT: menghambat efek antiHT obat tsb
corticosteroid:↑resiko ulkus GI
siklosporin:↑nefrotoksik
litium:↓bersihan litium (mllPG)->↑kdr litium serum àtoksik
MTX: ↓sekresi MTX dr renalà↑kadar MTX
PPA: Rx HT akut
K-sparing diuretic:↑hiperkalemi
Triamterene: ARF bersama dgn indometasin.
Derivat Asam Fenamat
Asam mefenamat (Analspec,
Landson,
Benostan,
Asimat,
Dolfenal, 
Mefinal,
Molasic,
Ponstan Pfi)
Aminoglikosida:↓bersihan &↑kadar aminoglikosida & potensi toksisitas
Antikoagulan : hipoprotrombinemia, ↓agregasi platelet dgn↑resiko perdarahan lambung
Anti HT: inhibisi efek anti HT
Corticosteroid: ↑ulserasi gaster
Siklosporin:↑resiko nefrotoksik
Lithium:↓bersihan litium
MTX:↓sekresi MTX dr renalà↑kadar MTX
PPA: Rx hipertensif
K-sparing diuretic: ↑potensi hiperkalemi
Triamteren: ARF + indometasin (hati-hati dgn NSAID ) lain
Derivat Asam Fenilasetat
Diklofenak (Aclonac,
Diclomec, Nadifen,
Voltadex)

Aminoglikosida: meningkatkan konsentrasi aminoglikosida
Antikoagulan: meningkatkan risiko hipoprotrombinemia, menurunkan aggregasi platelet
Antihipertensi: menurunkan efek antihipertensi
kortikosteroid: meningkatkan risiko gi bleeding
Derivat Asam Asetat-inden/ indol
Indometasin (Dialon,
Benocid)

Aminoglikosida: meningkatkan konsentrasi aminoglikosida
Antikoagulan: meningkatkan risiko hipoprotrombinemia, menurunkan aggregasi platelet
Antihipertensi: menurunkan efek antihipertensi
kortikosteroid: meningkatkan risiko perdarahan GIT
 Derivat Pirazolon
Fenilbutazon (Phenylbuta-zon Berlico,
Akrofen,
Berlizon)
Steroid anabolic, kumarin, insulin, obat hipoglikemik oral, alcohol, asetosal atau NSAID yg lain,  kortikosteroid
Derivat Oksikam
Piroksikam (Felden)
Aminoglycosida, Antikoagulan, Antihipertensi, kortikosteroid, Siklosporin, Lithium, Methotrexate, Phenilpropanolamin, triamterence


Non-steroidal anti inflammatory drugs (nsaid)
Aspirin (asam metilsalisilat atau acetosal) merupakan nsaid yang punya 3 efek yaitu: analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Efek toksik aspirin sering terjadi pada anak-anak (karena rasanya yang enak sehingga anak sering minta lagi). Efek toksiknya yaitu hipertermi, asidosis metabolik (sesak). Aspirin memiliki efek urikosurik (seperti probenecid, sulfinpirazone), artinya pada dosis tinggi meningkatkan asam urat di dalam urin. Namun tablet aspirin yang disediakan dosis 500mg sehingga tidak lazim untuk digunakan terapi asam urat karena butuh minum 10 tablet agar mencapai efek (dosis 5g per hari). Jadi, aspirin dosis antipiretik tidak bisa digunakan untuk terapi gout artritis karena pada kadar tersebut belum bisa meningkatkan ekskresi asam urat. Aspirin cocok digunakan pada pasien dm karena memiliki efek insulin like activity. Aspirin dapat meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, sehingga dapat menimbulkan hipoglikemia. Aspirin juga digunakan
sebagai antiplatelet untuk terapi stroke. Aspirin bekerja dengan menghambat pembentukan tromboksan.
Salisilat sering digunakan untuk mengobati segala keluhan ringan dan tidak berarti sehingga banyak terjadi penyalahgunaan. Keracunan salisilat yang berat dapay menyebabkan kematian. Pada intoksitasi yang lebih berat gejala SSP menjadi lebih jelas disertai timbulnya kegelisahan, iritatif, inkorehensi, rasa cemas, vertigo, tremor, diplopia, delirium.juga terjadi erupsim kulit dan gangguan keseimbangan asam-basa. Terapi intoksikasi mencakup bilas lambung dan koreksi gangguan cairan dan elektrolit. Bilas lambung dilakukan dengan mengeluarkan semua obat yang ditelan. Pada intoksikasi metal salisilat tindakan ini dilakukan sampai tidak tercium bau minyak wintergreen dalam cairan bilasan. Untuk mengatasi demam, kulit diusap denagn alcohol.
Salisilamid adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgetik dan antipiretik mirirp asetosal, walaupun dalam badan salisilamid tidak diubah menjadi salisilat. Efek analgesic antipiretik salisilamid lebih lemah dari salisilat, karena salisilat dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga hanya sebagian salisilamid yang diberikan masuk sirkulasi sebagai zat aktif. Obat ini mudah diabsorpsi usus dan cepat didistribusi ke jaringan. Obat ini menghambat glukuronidasimobat analgesic lain di hati misalnya Na salisilat dan asetaminofen, sehingga pemberian bersama dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat tersebut.
Diflunisal. Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, tetapi invivo tidak diubah menjadi asam salisilat. Bersifat analgesik anti-inflamasi tetapi hampir bersifat antipiretik. Indikasi diflunisal hanya sebagai analgesik ringan sampai sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12 jam. Efek sampingnya lebih ringan daripada asetosal dan tidak menyebabkan gangguan pendengaran.
Diflunisal merupakan nsaid yang tidak mempunyai efek antipiretik. Efeknya lebih kecil daripada aspirin. Diflunisal dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Obat ini 99% terikat protein sehingga harus diwaspadai menimbulkan interaksi dengan obat lain.
Tromboksan merupakan senyawa yang berperan dalam pembekuan darah. Dengan dihambatnya tromboksan, maka terjadi hambatan pembekuan darah. Hambatan dalam proses pembekuan darah diharapkan dapat melancarkan aliran darah menuju otak yang tersumbat. Untuk terapi stroke, aspirin diberikan dalam dosis rendah (pada dosis rendah aspirin juga bisa menghambat trombus pada pjk). Hal ini dikarenakan pada pemberian dosis tinggi, aspirin berisiko menyebabkan terjadinya perdarahan yang tentunya akan memperparah kondisi pasien. Perlu diingat, bahwa penggunaan aspirin bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan stroke akibat sumbatan aliran darah, karena itu harus diminum secara teratur walaupun pasien sudah dinyatakan sembuh dari stroke. Kepatuhan penggunaan obat pada penderita stroke sangat penting untuk mencegahnya terjadinya serangan stroke berulang. Aspirin bersifat hepatotoksik (sifatnya radikal bebas dan metabolit reaktif/toxic), jadi jika terjadi icterus harus segera dihentikan penggunaannya. Intoksikasi aspirin penanganannya dengan kumbah lambung, koreksi cairan elektrolit, alkalinisasi urin (bisa dengan nabik). Aspirin kurang aman untuk ibu hamil karena ikatannya yang proteinnya yang kuat sehingga bisa menembus blood placenta barrier. Aspirin diabsorbsi per oral dengan cepat. Dengan topikal juga cepat (untuk salep counter irritant, dosis yang rendah memberikan rasa panas namun sifatnya sementara).
Paracetamol (Acetaminophen) merupakan nsaid yang tidak mempunyai efek anti-inflamasi. Paracetamol sifatnya hepatotoksik, jadi sebaiknya dikombinasikan dengan gluthation untuk efek antioksidan. Jadi untuk antitode keracunan parasetamol bisa diberikan n-acetylcystein dan metionine. Efek hepatotoksik akan timbul setelah penggunaan jangka panjang disebabkan karena paracetamol membentuk reaktif yang dapat merusak sel hati. Sering juga terjadi kasus alergi (steven johnson syndrome) untuk pengobatan ini sehingga perlu diwaspadai.
Dipiron (metampiron seperti antalgin dan novalgin) punya sifat hidrofilik. Metampiron masih digunakan di indonesia sebagai nsaid. Namun di
luar negeri sudah tidak digunakan karena adanya efek agranulocytosis dan depresi sumsum tulang yang sangat besar.
Phenylbutazone, nsaid yang efek anti-inflamasinya sangat kuat. Phenylbutazone tidak digunakan untuk analgesik dan antipiretik. Obat ini sering menyebabkan stephen-johnson syndrome. Penggunaannya dengan glibenclamid menimbulkan efek hipoglikemia.
Asam mefenamat merupakan nsaid yang efek anti-inflamasinya rendah.
Diklofenak, nsaid yang terakumulasi di sinovial sehingga digunakan untuk terapi semua jenis arthritis.
Ibuprofen, nsaid yang efek sampingnya paling ringan dibandingkan semua nsaid yang lain.
Indometasin, nsaid yang kerjanya menghambat cox juga menghambat motilitas pmn. Obat ini bagus namun toksik sehingga dipakai jika
sangat simptomatik.
Piroksikam, nsaid yang waktu paruhnya sangat lama (>45 jam).
Nabumeton, nsaid yang kerjanya selektif cox-2 dengan hambatan cox-1 yang minimal.
Nabumeton merupakan prodrug.
Rofecoxib (vioxx), nsaid yang efek iritasi gitnya rendah karena tidak menghambat cox-1 dan tidak bisa dipakai sebagai antithrombotik karena tidak mengubah fungsi platelet. Obat ini kontraindikasi untuk penderita hipertensi, pjk, dan stroke.
Colecoxib (celebrex), nsaid selektif cox-2 inhibitor (seperti nimesulid, rofecoxib). Obat ini punya efek samping hipertensi, pjk, stroke.
Antipirin (fenazon)adalah 5-okso-1- fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin (aminodopirin) adalah derivat 4- dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara suntikan.
Fenilbutazon adalah 3,5- diokso- 1,2- difenil-4- butilpirazolidin dan oksifenilbutazon adalah derivat oksifenilnya. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati artritis reumatoid dan sejenisnya sejak tahun 1949.

E.     EFEK SAMPING
Daftar efek samping yang timbul pada pemakaian NSAID dan tahun ketahun semakin bertambah. Efek samping yang umum seperti toksisitas terhadap lambung dan ginjal sudah cukup dikenal. Sebagian efek samping NSAID dapat diterangkan dengan adanya hambatan sintesis prostaglandin. Misalnya pemakaian NSAID tertentu dapat memicu serangan asma karena hambatan terhadap prostaglandin yang berfungsi menurunkan tonus otot bronkus.
Pentingnya efek samping terhadap NSAID terutama karena sebagian (15–20% dari penderita usia lanjut) penderita memakai obat ini untuk jangka panjang. Di Inggnis dan Australia, sekitar 20% kasus perdarahan dan perforasi ulkus langsung disebabkan oleh pemakaian NSAID. Pentingnya penilaian risiko pemakaian NSAID baru benar-benar disadari dalam beberapa tahun terakhir ini.
F.     PETUNJUK PEMBERIAN NSAID
1)      Tidak ada NSAID yang ideal. Penting untuk membiasakan diri dengan beberapajenis obat ini dan menentukan NSAID yang paling sesuai untuk pendenita tertentu.
2)      Jika mungkin, NSAID diberikan 2 kali sehari dengan dosis yang fleksibel untuk mencakup periode nyeri yang utama.
3)      Mula-muladiberikan NSAID yangtelah merekakenal dengan baik, dan tidak harus menggunakan obat yang paling baru.
4)      Hanya 1 NSAID yang diberikan pada tiap pemberian. Jika penderita tidak memberikan respon terhadap dosis yang adekuat dalam 2–3 minggu, NSAID diganti dengan yang lain.
5)      Penting untuk memastikan apakah NSAID benar-benar diperlukan untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
6)      Harus selalu dipikirkan cara lain untuk mengurangi rasa nyeri seperti analgetika murni (misalnya parasetamol) atau tindakan fisioterapi (misalnya panas, dingin, latihan dan hidroterapi).




























DAFTAR PUSTAKA

Anief . Moh, Prof. Dr. 1995. Prinsip umum dan Dasar Farmakologi, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta

Day, R., Quinn, D, Williams, K., Handel, M. & Brooks, P. 2000. Cognnective tissue and bone disorders. In; SG. Carruthers, BB. Hoffman, KL. Melmon, & DW. Nierenberg (eds), Clinical pharmacology. 4 th ed. Pp:645-702 McGraw-Hill, New York.

Huang JQ, S Sridhar, Hunt RH. Peran Helicobacter pylori infeksi dan obat-steroid anti peradangan non penyakit ulkus peptikum:. Metaanalisis sebuah Lancet. 2002;359:14–22. 2002; 359:14-22

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 327-328, 351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar