A.
PENDAHULUAN
Substansi
yang menghambat proses peradangan dan memiliki efek analgesik serta antipiretik
dikiasifikasikan sebagai obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Obat ini tidak
mengandung struktur steroid dan efeknyatidak bergantung kepada pelepasan
kortisol. Pada tahun-tahun belakangan ini NSAID mendapat banyak kritik dari
berbagai pihak. Pada dasarnya, ini terjadi karena efek samping yang cukup
menonjol dari beberapa macam obat yang selanjutnya ditarik dari peredaran. Meskipun
demikian, NSAID tetap merupakan obat utama untuk mengatasi rasa nyeri pada
penyakit-penyakit reumatik. Dalam tahun 1984, di Amerika lebih dari 30 juta
jiwa nienelan sebutir aspirin atau NSAID setiap hari. Nilai penjualan obat-obat
ini melebihi 1 milyar dolar Amerika. Baru-baru ini penjualan di beberapa negara
mungkin meningkat karena dimulainya penjualan bebas, misalnya ibuprofen di
Inggnis.
Pertanyaan
mengenai berapa banyak NSAID yang sebenarnya dipenlukan masih belum terjawab.
Terdapat perbedaan besar dalam penulisan resep NSAID untuk artritis reumatoid
pada beberapa negara, dan perbedaan ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh
strategi pemasaran daripada oleh respon pasien yang berbeda terhadap NSAID pada
berbagai negara.
Di
Australia dan Inggris, sampai 20% penderita yang dirawat di rumah sakit
(terutama penderita di atas usia 65 tahun) sedang menggunakan NSAID. Meskipun
obat ini sangat berguna untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, merekajuga
meng- akibatkan efek samping yang serius. NSAID adalah komponen utama
pengobatan kebanyakan keluhankeluhan rematik, dan dalam rangka mencapai hasil
yang maksimal dengan risiko yang minimal, beberapa prinsip harus dilaksanakan
dalam pemakaiannya.
B.
MEKANISME KERJA
NSAID
dapat bekerja di berbagai tempat pada jalur proses peradangan (inflammatory
pathway); terutama melalui hambatan siklooksigenase dan dengan demikian
menghambat sintesis prostaglandin. Hambatan sintesis prostaglandin merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam mengurangi reaksi peradangan. Berkurangnya
proses peradangan pada osteoartritis membantu mempertahankan proteoglikan, dan
dengan demikianjuga mem- pertahankan sintesis tulang rawan (Matsubara, 1991).
Beberapa NSAID (misalnya indometasin dan salisilat) menghambat sinte- sis
proteoglikan, sehingga usaha tubuh untuk memperbaiki sendi yang rusak pada
osteoartritis menjadi kurang efektif (Pelletier, 1990).
Pengaruh
NSAID terhadap fungsi limfosit dan neutrofil tidak bergantung kepada
pengaruhnya terhadap biosintesis prostaglandin. Meskipun demikian, mekanisme
yang pasti belum diketahui. Efek NSAID terhadap jalur peradangan bersifat
individual dan mungkin dapat menjelaskan perbedaan respon terhadap obat-obat
ini. Respon individu terhadap obat yang berbeda tetapi berasal dari golongan
yang sama dapat berlainan. Dengan perkataan lain, kegagalan satu macam obat
tidak berarti penggunaan semua obat dalam golongan itu akan gagal pula. Ada
sebuah postulat yang mengemukakan bahwa kompleksitas proses peradangan yang
mendasari penyakit reumatik tertentu direfleksikan dalam perbedaan respon
penderita terhadap obat dan insidens efek samping. Sebagai contoh, proses
peradangan pada lesi jaringan lunak dan artritis gout akut berbeda dengan
proses imunologis dan seluler yang kompleks yang merupakan dasar dan peradangan
kronis pada artritis reumatoid. Jadi lesi jaringan lunak dan artritis gout akut
merupakan contoh dari proses peradangan yang sederhana, responsif terhadap ke-
banyakan NSAID dengan hanya sedikit perbedaan dalam respon penderita dan
insidens efek samping rendah. Proses peradangan yang kompleks pada artritis reumatoid
diikuti oleh respon pen- derita yang sangat bervariasi terhadap NSAID dan
insidens efek samping tinggi.
Akhir-akhir
ini telah dikemukakan bahwa beberapa NSAID dapat mempengaruhi fungsi chondrosit
dan ini mungkin sangat penting pada penyakit seperti osteoartritis. Telah lama
diduga bahwa NSAID mungkin dapat menghambat perkembangan osteoatritis, terutama
sendi yang memikul beban (weight-bearing joints). Padapercobaan in vitro,
beberapa NSAID ternyata dapat meningkatkan sintesis glikosaminoglikan pada sel
tulang rawan normal. Meskipun ini merupakan hasil penelitian yang pentin, kita
harus hati-hati dalam menerapkan- nya pada manusia.
C.
FARMAKOKINETIK
Jika
diasumsikan bahwa terdapat responder dan nonresponder terhadap
NSAID, mungkin akan dapat dilihat hubungan yang bermakna antara dose-response
dengan plasma concentration- response pada responder. Hubungan
respon dengan konsentrasi lebih besar kemungkinannya untuk dilihat jika obat
yang aktif diukur dekat pada tempatnya bekerja (misalnya lebihjelas di cairan
sinovium daripada di plasma). Tetapi telah ditunjukkan bahwa pada cairan sinovium,
konsentrasi prostaglandin tetap rendah lama setelah kadar NSAID plasma
menghilang. NSAID dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu golongan dengan half-life
pendek dan golongan dengan half-life panjang.
Penting
untuk diingat bahwa penelitian tentang kinetika. Cairan sinovium telah
menunjukkan bahwa konsentrasi obat di sini lebih lama dan lebih stabil
dibandingkan dengan konsentrasi dalam plasma. Dari segi praktis, ini berarti
bahwa banyak NSAID dengan waktu-paruh pendek cukup efektif dalam mengurangi nyeri
dan kekakuan dengan dosis dua kali sehari.
NSAID
dengan waktu-paruh panjang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai
tahap steady state dalam plasma dan cairan sinovium, dan mereka dapat
tinggal dalam tubuh lebih lama setelah pemberian dihentikan. Baru-baru ini
telah diproduksi preparat slow-release beberapa NSAID dengan waktu-paruh
pendek dalam usaha mengurangi frekuensi pemberian.
Klirens
beberapa NSAID dipengaruhi oleh ginjal dan usia. Hal ini penting, karena
kebanyakan penderita yang menggunakan obat ini adalah orang tua dan mempunyai
latan belakang penyakit ginjal. Klirens diflunisal, ketopofen, fenoprofen,
naproksen dan indometasin pada penderita insufisiensi ginjal inenurun. Klirens
naproksen, ketoprofen, azapropazon dan salisilat pada orang tua menurun. Data
ini memperkuat pendapat bahwa kita harus ber- hati-hati jika memberikan NSAID
kepada penderita-penderita seperti ini. Beberapa NSAID memiliki khasiat
tertentu yang lebih menonjol, misalnya asam megenamat mempunyai efek
antiinflamasi yang lemah, tetapi efek analgesiknya kuat; indometasin mempunyai
efek antiinflamasi yangkuat. NSAID lain merupakan analgesik yang kuat pada
dosis rendah, sedangkan pada dosis tinggi merupakan obat antiinflamasi yang
kuat (misalnya asam asetil salisilat, ibuprofen).
Tabel
1. Waktu Paruh Obat NSAID
D.
INTERAKSI NSAID
Karena
NSAID dipakai oleh penderita yang sering menderita penyakit lain dan sedang
mendapat pengobatan lain, kemungkinan terjadinya interaksi obat cukup tinggi.
Ada dua macam interaksi obat :
1) Interaksi
farmakokinetik :
Terdapat
perubahan konsentrasi obat dalam plasma.
2) Interaksi
farmakodinamik :
Penambahan
efek farmakologis obat yang dipengaruhi terjadi tanpa perubahan konsentrasi
obat dalam plasma.
•
Kombinasi antikoagulansia oral dengan
fenilbutazon, oksifenbutazon atau azaproparon harus dihindarkan;
antikoagulansia oral dapat digunakan bersama-sama dengan NSAID lain jika benar-benar
diperlukan, tetapi harus dibawah pengawasan ketat.
•
Harus dilakukan monitoring yang
ketat jika obat hipoglikemik oral, antiepilepsi dan lithium dipakai
bersama-sama dengan NSAID.
•
Semua NSAID mempengaruhi klirens
metotreksat. Interaksi ini penting jika metotreksat dosis tinggi diperlukan
pada kemoterapi kanker; tetapi mungkin tidak begitu penting pada dosis rendah,
misalnya pada pengobatan artritis reumatoid.
•
Terdapat interaksi yang penting antara
obat antihipertensi, diuretik dan semua NSAID (kecuali sulindac). Interaksi ini
mengurangi efek hipotesi dan diuretik dan tampaknya timbul atas dasar perbedaan
individu. Harus dilakukan monitoring kardiovaskuler yang ketatjika
obat-obat ini digunakan bersama-sama.
Tabel
2. Interaksi Obat NSAID
Nama Golongan
|
Nama Generik/ Dagang
|
Interaksi obat
|
Derivat Asam Salisilat
|
Aspirin
(Aspilet,
Farmasal, Aptor)
|
ACE inhibotor: menurunkan efek antihipertensi
Antasida: menurunkan konsentrasi salisilat
Kortikosteroid: meningkatkan risiko ulkus dari GI dan meningkatkan
ekskresi salisilat
Diltiazem: meningkatkan efek antiplatelet
Anikoagulan: meningkatkan risiko perdarahan
|
Derivat Asam Propionat
|
Ibuprofen (Bufect, bufect forte, Fenris, Proris,
Dofen 200/400)
|
Aminoglikosida: ↓bersihan aminog dgn ↑kadar aminoglikosid & potensi
toksisitasnya (tu indometasin pd bayi premature)
Antikoagulan: ↑↑hipoprotrombinemia, ↓agregasi platelet dgn ↑perdarahan
lambung
antiHT: menghambat efek antiHT obat tsb
corticosteroid:↑resiko ulkus GI
siklosporin:↑nefrotoksik
litium:↓bersihan litium (mllPG)->↑kdr litium serum àtoksik
MTX: ↓sekresi MTX dr renalà↑kadar MTX
PPA: Rx HT akut
K-sparing diuretic:↑hiperkalemi
Triamterene: ARF bersama dgn indometasin.
|
Derivat Asam Fenamat
|
Asam mefenamat (Analspec,
Landson,
Benostan,
Asimat,
Dolfenal,
Mefinal,
Molasic,
Ponstan Pfi)
|
Aminoglikosida:↓bersihan &↑kadar aminoglikosida & potensi
toksisitas
Antikoagulan : hipoprotrombinemia, ↓agregasi platelet dgn↑resiko
perdarahan lambung
Anti HT: inhibisi efek anti HT
Corticosteroid: ↑ulserasi gaster
Siklosporin:↑resiko nefrotoksik
Lithium:↓bersihan litium
MTX:↓sekresi MTX dr renalà↑kadar MTX
PPA: Rx hipertensif
K-sparing diuretic: ↑potensi hiperkalemi
Triamteren: ARF + indometasin (hati-hati dgn
NSAID ) lain
|
Derivat Asam Fenilasetat
|
Diklofenak (Aclonac,
Diclomec, Nadifen,
Voltadex)
|
Aminoglikosida: meningkatkan konsentrasi aminoglikosida
Antikoagulan: meningkatkan risiko hipoprotrombinemia, menurunkan
aggregasi platelet
Antihipertensi: menurunkan efek antihipertensi
kortikosteroid: meningkatkan risiko gi bleeding
|
Derivat Asam Asetat-inden/ indol
|
Indometasin (Dialon,
Benocid)
|
Aminoglikosida: meningkatkan konsentrasi aminoglikosida
Antikoagulan: meningkatkan risiko hipoprotrombinemia, menurunkan
aggregasi platelet
Antihipertensi: menurunkan efek antihipertensi
kortikosteroid: meningkatkan risiko perdarahan GIT
|
Derivat Pirazolon
|
Fenilbutazon (Phenylbuta-zon Berlico,
Akrofen,
Berlizon)
|
Steroid anabolic, kumarin, insulin, obat hipoglikemik oral, alcohol,
asetosal atau NSAID yg lain,
kortikosteroid
|
Derivat Oksikam
|
Piroksikam (Felden)
|
Aminoglycosida, Antikoagulan, Antihipertensi, kortikosteroid,
Siklosporin, Lithium, Methotrexate, Phenilpropanolamin, triamterence
|
Non-steroidal
anti inflammatory drugs (nsaid)
Aspirin (asam
metilsalisilat atau acetosal) merupakan nsaid yang punya 3 efek yaitu:
analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Efek toksik aspirin sering terjadi
pada anak-anak (karena rasanya yang enak sehingga anak sering minta lagi). Efek
toksiknya yaitu hipertermi, asidosis metabolik (sesak). Aspirin memiliki efek
urikosurik (seperti probenecid, sulfinpirazone), artinya pada dosis tinggi
meningkatkan asam urat di dalam urin. Namun tablet aspirin yang disediakan
dosis 500mg sehingga tidak lazim untuk digunakan terapi asam urat karena butuh
minum 10 tablet agar mencapai efek (dosis 5g per hari). Jadi, aspirin dosis
antipiretik tidak bisa digunakan untuk terapi gout artritis karena pada
kadar tersebut belum bisa meningkatkan ekskresi asam urat. Aspirin cocok
digunakan pada pasien dm karena memiliki efek insulin like activity. Aspirin
dapat meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, sehingga dapat menimbulkan
hipoglikemia. Aspirin juga digunakan
sebagai antiplatelet untuk terapi stroke. Aspirin bekerja dengan menghambat pembentukan tromboksan.
sebagai antiplatelet untuk terapi stroke. Aspirin bekerja dengan menghambat pembentukan tromboksan.
Salisilat sering digunakan untuk mengobati segala
keluhan ringan dan tidak berarti sehingga banyak terjadi penyalahgunaan.
Keracunan salisilat yang berat dapay menyebabkan kematian. Pada intoksitasi
yang lebih berat gejala SSP menjadi lebih jelas disertai timbulnya kegelisahan,
iritatif, inkorehensi, rasa cemas, vertigo, tremor, diplopia, delirium.juga
terjadi erupsim kulit dan gangguan keseimbangan asam-basa. Terapi intoksikasi
mencakup bilas lambung dan koreksi gangguan cairan dan elektrolit. Bilas
lambung dilakukan dengan mengeluarkan semua obat yang ditelan. Pada intoksikasi
metal salisilat tindakan ini dilakukan sampai tidak tercium bau minyak wintergreen
dalam cairan bilasan. Untuk mengatasi demam, kulit diusap denagn alcohol.
Salisilamid adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgetik dan
antipiretik mirirp asetosal, walaupun dalam badan salisilamid tidak diubah
menjadi salisilat. Efek analgesic antipiretik salisilamid lebih lemah dari
salisilat, karena salisilat dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas
pertama, sehingga hanya sebagian salisilamid yang diberikan masuk sirkulasi
sebagai zat aktif. Obat ini mudah diabsorpsi usus dan cepat didistribusi ke
jaringan. Obat ini menghambat glukuronidasimobat analgesic lain di hati
misalnya Na salisilat dan asetaminofen, sehingga pemberian bersama dapat
meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat tersebut.
Diflunisal. Obat ini merupakan derivat
difluorofenil dari asam salisilat, tetapi invivo tidak diubah menjadi asam
salisilat. Bersifat analgesik anti-inflamasi tetapi hampir bersifat
antipiretik. Indikasi diflunisal hanya sebagai analgesik ringan sampai sedang
dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12 jam. Efek sampingnya
lebih ringan daripada asetosal dan tidak menyebabkan gangguan pendengaran.
Diflunisal merupakan
nsaid yang tidak mempunyai efek antipiretik. Efeknya lebih kecil daripada
aspirin. Diflunisal dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Obat ini 99%
terikat protein sehingga harus diwaspadai menimbulkan interaksi dengan obat
lain.
Tromboksan merupakan
senyawa yang berperan dalam pembekuan darah. Dengan dihambatnya tromboksan,
maka terjadi hambatan pembekuan darah. Hambatan dalam proses pembekuan darah
diharapkan dapat melancarkan aliran darah menuju otak yang tersumbat. Untuk
terapi stroke, aspirin diberikan dalam dosis rendah (pada dosis rendah aspirin
juga bisa menghambat trombus pada pjk). Hal ini dikarenakan pada pemberian
dosis tinggi, aspirin berisiko menyebabkan terjadinya perdarahan yang tentunya
akan memperparah kondisi pasien. Perlu diingat, bahwa penggunaan aspirin
bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan stroke akibat sumbatan aliran
darah, karena itu harus diminum secara teratur walaupun pasien sudah dinyatakan
sembuh dari stroke. Kepatuhan penggunaan obat pada penderita stroke sangat
penting untuk mencegahnya terjadinya serangan stroke berulang. Aspirin bersifat
hepatotoksik (sifatnya radikal bebas dan metabolit reaktif/toxic), jadi jika
terjadi icterus harus segera dihentikan penggunaannya. Intoksikasi aspirin
penanganannya dengan kumbah lambung, koreksi cairan elektrolit, alkalinisasi
urin (bisa dengan nabik). Aspirin kurang aman untuk ibu hamil karena ikatannya
yang proteinnya yang kuat sehingga bisa menembus blood placenta barrier.
Aspirin diabsorbsi per oral dengan cepat. Dengan topikal juga cepat (untuk
salep counter irritant, dosis yang rendah memberikan rasa panas namun sifatnya
sementara).
Paracetamol (Acetaminophen) merupakan
nsaid yang tidak mempunyai efek anti-inflamasi. Paracetamol sifatnya
hepatotoksik, jadi sebaiknya dikombinasikan dengan gluthation untuk efek antioksidan.
Jadi untuk antitode keracunan parasetamol bisa diberikan n-acetylcystein dan
metionine. Efek hepatotoksik akan timbul setelah penggunaan jangka panjang
disebabkan karena paracetamol membentuk reaktif yang dapat merusak sel hati.
Sering juga terjadi kasus alergi (steven johnson syndrome) untuk
pengobatan ini sehingga perlu diwaspadai.
Dipiron (metampiron
seperti antalgin dan novalgin) punya sifat hidrofilik. Metampiron masih
digunakan di indonesia sebagai nsaid. Namun di
luar negeri sudah tidak digunakan karena adanya efek agranulocytosis dan depresi sumsum tulang yang sangat besar.
luar negeri sudah tidak digunakan karena adanya efek agranulocytosis dan depresi sumsum tulang yang sangat besar.
Phenylbutazone, nsaid yang
efek anti-inflamasinya sangat kuat. Phenylbutazone tidak digunakan untuk
analgesik dan antipiretik. Obat ini sering menyebabkan stephen-johnson
syndrome. Penggunaannya dengan glibenclamid menimbulkan efek hipoglikemia.
Asam
mefenamat merupakan nsaid yang efek anti-inflamasinya rendah.
Diklofenak, nsaid yang terakumulasi di
sinovial sehingga digunakan untuk terapi semua jenis arthritis.
Ibuprofen, nsaid yang
efek sampingnya paling ringan dibandingkan semua nsaid yang lain.
Indometasin, nsaid yang
kerjanya menghambat cox juga menghambat motilitas pmn. Obat ini bagus namun toksik
sehingga dipakai jika
sangat simptomatik.
sangat simptomatik.
Piroksikam, nsaid yang
waktu paruhnya sangat lama (>45 jam).
Nabumeton merupakan
prodrug.
Rofecoxib (vioxx),
nsaid yang efek iritasi gitnya rendah karena tidak menghambat cox-1 dan tidak
bisa dipakai sebagai antithrombotik karena tidak mengubah fungsi platelet. Obat
ini kontraindikasi untuk penderita hipertensi, pjk, dan stroke.
Colecoxib (celebrex),
nsaid selektif cox-2 inhibitor (seperti nimesulid, rofecoxib). Obat ini punya efek
samping hipertensi, pjk, stroke.
Antipirin (fenazon)adalah
5-okso-1- fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin (aminodopirin) adalah
derivat 4- dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat metansulfonat
dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara suntikan.
Fenilbutazon adalah 3,5- diokso-
1,2- difenil-4- butilpirazolidin dan oksifenilbutazon adalah derivat
oksifenilnya. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati artritis reumatoid dan
sejenisnya sejak tahun 1949.
E.
EFEK SAMPING
Daftar
efek samping yang timbul pada pemakaian NSAID dan tahun ketahun semakin
bertambah. Efek samping yang umum seperti toksisitas terhadap lambung dan
ginjal sudah cukup dikenal. Sebagian efek samping NSAID dapat diterangkan
dengan adanya hambatan sintesis prostaglandin. Misalnya pemakaian NSAID tertentu
dapat memicu serangan asma karena hambatan terhadap prostaglandin yang
berfungsi menurunkan tonus otot bronkus.
Pentingnya
efek samping terhadap NSAID terutama karena sebagian (15–20% dari penderita
usia lanjut) penderita memakai obat ini untuk jangka panjang. Di Inggnis dan Australia,
sekitar 20% kasus perdarahan dan perforasi ulkus langsung disebabkan oleh
pemakaian NSAID. Pentingnya penilaian risiko pemakaian NSAID baru benar-benar disadari
dalam beberapa tahun terakhir ini.
F.
PETUNJUK PEMBERIAN NSAID
1) Tidak
ada NSAID yang ideal. Penting untuk membiasakan diri dengan beberapajenis obat
ini dan menentukan NSAID yang paling sesuai untuk pendenita tertentu.
2) Jika
mungkin, NSAID diberikan 2 kali sehari dengan dosis yang fleksibel untuk
mencakup periode nyeri yang utama.
3) Mula-muladiberikan
NSAID yangtelah merekakenal dengan baik, dan tidak harus menggunakan obat yang
paling baru.
4) Hanya
1 NSAID yang diberikan pada tiap pemberian. Jika penderita tidak memberikan
respon terhadap dosis yang adekuat dalam 2–3 minggu, NSAID diganti dengan yang
lain.
5) Penting
untuk memastikan apakah NSAID benar-benar diperlukan untuk jangka pendek maupun
jangka panjang.
6) Harus
selalu dipikirkan cara lain untuk mengurangi rasa nyeri seperti analgetika
murni (misalnya parasetamol) atau tindakan fisioterapi (misalnya panas, dingin,
latihan dan hidroterapi).
DAFTAR PUSTAKA
Anief . Moh,
Prof. Dr. 1995. Prinsip umum dan Dasar Farmakologi, Gadjah Mada University
Press, Jogjakarta
Day, R., Quinn,
D, Williams, K., Handel, M. & Brooks, P. 2000. Cognnective tissue and bone
disorders. In; SG. Carruthers, BB. Hoffman, KL. Melmon, & DW. Nierenberg
(eds), Clinical pharmacology. 4 th ed. Pp:645-702 McGraw-Hill, New York.
Huang JQ, S
Sridhar, Hunt RH. Peran Helicobacter pylori infeksi dan obat-steroid anti
peradangan non penyakit ulkus peptikum:. Metaanalisis sebuah Lancet.
2002;359:14–22. 2002; 359:14-22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar