GAGAL GINJAL KRONIK
A.
Konsep Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah suatu
sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,
berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi
glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga
terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001).
Gagal ginjal kronik merupakan
penyakit yang progresif dan terjadi destruksi ginjal yang menetap. Pada
sekitar tahun 1965 banyak pasien gagal ginjal kronik melanjut ketahap akhir
penyakit ini dan kemudian menuju ke kematian. Tingginya angka kematian saat itu
karena terbatasnya pengobatan dan mahalnya biaya pengobatan. Pada sekitar tahun 1972,
mulai dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal, sejak saat ini angka kematian
menurun. Jumlah pasien seluruh dunia yang dilakukan dialisis dan transplantasi meningkat
340.000 pasien pada tahun 1999, diperkirakan pada tahun 2010 menjadi 651.000 pasien
[1]. Dalam sistem data renal Amerika Serikat (USRDS), angka kejadian gagal ginjal
tahap akhir pada populasi anak yang berusia 0 – 19 tahun terus meningkat, pada tahun
1980 angka kejadian 1,5 / 100.000 anak, dan pada tahun 2002 menjadi 8,2 / 100.000 anak
[2]. Dengan semakin meningkatnya angka kejadian, menurunnya angka kematian dan
meningkatnya fasilitas pengobatan, maka morbiditas yang berhubungan gagal ginjal
kronik juga bertambah. Morbiditas yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik pada
anak adalah malnutrisi, anemia, gagal tumbuh, osteodistrofi dengan deformitas
tulang, gangguan keseimbangan cairan dan kelainan neurologik antara lain: kejang, tuli,
retardasi mental dan gangguan belajar, dan lain-lain [3].
Keterlibatan sistem endokrin sudah
mulai terjadi pada awal gagal ginjal kronik dengan insufisiensi
ginjal sedang, menjadi lebih manifes bila gagal ginjal melanjut. Mekanisme
patofisiologi kelainan ini terjadi akibat menurunnya sintesis hormon-hormon endogen dan
eksogen ginjal, berkurangnya kliren metabolik oleh mekanisme renal dan ekstrarenal,
perubahan mekanisme sinyal homeostasis pada gagal ginjal kronik, perubahan
ikatan hormon dan perubahan respon jaringan terhadap hormon [4].
B.
Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronik antara lain :
- Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronik)
- Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
- Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
- Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
- Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
- Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
- Nefropati toksik
- Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 1994)
C. Patofisiologi
1. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik selalu berkaitan dengan penurunan
progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat
GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan
fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat
mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi
urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk
mendeteksi penurunan fungsi
b. Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah
karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon
terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi
menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu
pengobatan medis
c. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir;
Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal.
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak
seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian
ginjal. (Corwin, 1994)
D. Manifestasi Klinik
1. Kardiovaskuler
·
Hipertensi, gagal jantung kongestif,
udema pulmoner, perikarditis
·
Pitting edema (kaki, tangan,
sacrum)
·
Edema periorbital
·
Friction rub pericardial
·
Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
·
Warna kulit abu-abu mengkilat
·
Kulit kering bersisik
·
Pruritus
·
Ekimosis
·
Kuku tipis dan rapuh
·
Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
·
Krekels
·
Sputum kental dan liat
·
Nafas dangkal
·
Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
·
Anoreksia, mual, muntah,
cegukan
·
Nafas berbau ammonia
·
Ulserasi dan perdarahan mulut
·
Konstipasi dan diare
·
Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
·
Tidak mampu konsentrasi
·
Kelemahan dan keletihan
·
Konfusi/ perubahan tingkat
kesadaran
·
Disorientasi
·
Kejang
·
Rasa panas pada telapak kaki
·
Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
·
Kram otot
·
Kekuatan otot hilang
·
Kelemahan pada tungkai
·
Fraktur tulang
·
Foot drop
7. Reproduktif
·
Amenore
·
Atrofi testekuler
E. Keterlibatan Sistem
Endokrin
Kalsium, Fosfor, vitamin D dan hormon paratiroid.
Kalsium dan fosfor
merupakan elemen anorganik yang banyak sekali dalam tubuh. Kedua elemen ini
berperan penting dalam proses biologi. Homeostasis kalsium dan fosfor
melibatkan kerja yang sangat terintegrasi, ambilannya di usus, kemudian ion di timbun
dalam tulang dan pengeluarannya sebagian besar melalui ginjal. Untuk homeostasis
kalsium pada prinsipnya diperantarai oleh dua hormon peptida, yaitu hormon
paratiroid dan kalsitonin dan vitamin D dan metabolitnya yang larut dalam lemak.
Sebagian besar kalsium disimpan dalam tulang, pada manusia dengan berat badan 70
kg, timbunan kalsium 1,1 kg. Dalam keadaan normal, kadar dalam darah berkisar antara
10 mg Ca /100 ml ( 7 – 12 mg / 100 ml), bilamana kadarnya kurang dari 7 atau lebih
dari 12 mg/100 ml akan timbul gejala yang tidak diinginkan. Kalsium juga
berperan penting pada kontrakasi otot, hantaran transmisi syaraf, pembekuan
darah, struktur membran dan kofaktor ensim antara lain hemolase tripsinogen,
lipase dan ATPase [5].
Pertumbuhan tulang normal
diatur oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor dan
Vitamin D [2]. Dalam keadaan uremia terjadi resistensi multifaktor tulang
terhadap efek PTH, sehingga diperkirakan kebutuhan kadar hormon paratiroid intact
(iPTH) dua sampai empat kali normal untuk menimbulkan efek fisiologik normal pada
tulang. Respon tulang terhadap kadar iPTH dalam sirkulasi yang suprafisologik
dan menurunnya sintesis kalsitriol akan meningkatkan pergantian tulang (bone
turnover) dan defek pada meneralisasi yang berakibat osteitis fibrosa atau
penyakit tulang akibat hiperparatiroid yang mengakibatkan rasa sakit pada
tulang dan fraktur. Hiperkalsemia dan hiperfosfatemia, keduanya terjadi
sekunder akibat pelepasan dari tulang, tetapi dapat juga terjadi karena
meningkatnya absorbsi dari gastrointestinal akibat sekunder dari pemberian
vitamin D yang digunakan untuk menekan sintesis PTH, sehingga sering terjadi
kalsifikasi ekstraskeletal [6].
Pada awal insufisiensi
ginjal kronik sudah mulai terjadi gangguan pemeliharaan homeostasis kadar serum
kalsium, fosfor dan kalsitriol sehingga menyebabkan timbulnya hiperparatiroidisme
sekunder [7]. Bilamana GFR menurun, maka kadar serum fosfat cenderung
meningkat, hal ini dapat menghambat sintesis 1-a, 25-dihydroxy vitamin D3 [1,25(OH)2D3
/ calcitriol], dan menurunnya sementara ion kasium serum. Rangsang untuk
meningkatkan sintesis dan sekresi hormon paratiroid diperantarai secara langsung
oleh meningkatnya fosfat, menurunnya kadar 1,25(OH)2D3, dan menurunnya kadar kalsium
[8].
Pada insufisiensi ginjal
sedang, berakibat fosfat tertahan, sehingga merangsang meningkatkan kadar iPTH
dalam sirkulasi. Respon ginjal karena adanya kadar PTH yang tinggi dalam
sirkulasi adalah meningkatkan ekskresi fosfat dalam fraksi-fraksi dan membentuk
kalsitriol. Apabila GFR semakin menurun, maka kemampuan untuk mengeluarkan
fosfat melalui urin juga menurun sehingga dalam menurunkan kadar PTH yang
meningkat dan untuk keseimbangan absorbsi fosfat dari diet normal kewalahan, akibatnya
terjadi hiperfosfatemia [9]. Selanjutnya pengaturan kompensasi kadar kalsitriol
serum juga gagal. Pengaturan diet dan pemberian obat-obatan pengikat fosfat
dapat mempertahankan kadar fosfat serum dalam batas normal, namun demikan kadar
1,25(OH)2D3, tetap rendah kecuali bila diberikan suplementasi. Walaupun kadar
kalsium serum khas dalam rentang normal sampai normal rendah pada keadaan gagal
ginjal kronik tingkat lanjut, namun perlu diberikan perhatian karena ginjal
merupakan jalan paling efektif untuk pengeluaran kalsium dari badan. Jadi
dengan melanjutnya gagal ginjal, dokter harus berusaha mengatur fosfat, PTH dan
vitamin D seoptimal mungkin dan juga keseimbangan kalsium dan homeostasisnya.
Bilamana fungsi ginjal
makin memburuk, maka cenderung semakin terjadi hiperfosfatemia dan produksi
kalsitriol menurun, ini menyebabkan rangsang kumulatif untuk timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder. Bilamana kelenjar paratiroid terangsang terus menerus
akan terjadi hipertrofi dan hiperplasi [9]. Selanjutnya, pasien dengan gagal ginjal
kronik jaringan paratiroid sel-selnya cenderung sangat berproliferasi dan
terjadi hiperplasi difus mungkin timbul nodul (monoclonal) karena ekspansi
sel-sel paratiroid. Sel-sel paratiroid menjadi lebih resisten terhadap supresi
yang ditandai dengan menurunnya elemen vitamin D dan juga berubahnya kepekaan
reseptor kalsium [9, 10]. Perubahan ini pada tingkat kelenjar paratiroid
mempunyai implikasi langsung terhadap dosis vitamin D yang dibutuhkan dalam
pengobatan, menjadi lebih tinggi dari kadar fisiologik yang dibutuhkan untuk
menekan sintesis PTH. Jadi secara umum, pada gagal ginjal terjadi gangguan
homeostasis kalsium dan fosfor, metabolisme vitamin D dan pengaturan hormon
paratiroid, gangguan ini menyebabkan kelainan pada tulang (osteodistrofi
renal). Pada gagal ginjal tahap akhir, manifestasinya kompleks dan respon
klinisnya terhadap disregulasi metabolisme mineral bervariasi, ini yang
mempengaruhi berat ringannya penyakit tulang pada gagal ginjal kronik.[2, 4].
Pada stadium awal gagal ginjal kronik, interaksi ini abnormal ditandai dengan
meningkatnya retensi fosfat, berkurangnya aktifasi vitamin D ginjal dan kurangnya
absorbsi kalsium oleh usus, bila GFR semakin menurun maka akan terjadi hiperparatiroidisme.
Bila hiperparatiroidisme tidak diobati akan berakibat penyakit tulang yang
disebut osteodistrofi renal, yang meningkatkan risiko defomitas tulang (lihat gambar
1) dan fraktur, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan linier [2, 6]. Pada penelitian
“population base” pada pasien yang dilakukan dialisis di Amerika Serikat menyokong
adanya peningkatan risiko fraktur beberapa kali lebih tinggi dibanding kontrol
sebagai akibat dari perubahan fenotip tulang yang bervariasi [4]. Akhir-akhir
ini, paradigma berubah akibat temuan penting sekuele ekstra skeletal dari
kalsifikasi metastase, khususnya kalsifikasi vaskuler [11]. Pada pasien gagal
ginjal kronik, seringkali terjadi kalsifikasi ekstraskeletal antara lain: pada
mata (konjungtivitis dan band keratopati), paru, jantung dan pembuluh darah.
Kejadian kalsifikasi ekstraskeletal meningkat seiring dengan lamanya gagal
ginjal dan sebagai akibat hiperfosfatemia, tinginya kadar produk kalsium dan
fosfat, serta keseimbangan kalsium dan fosfat positif. Keseimbangan yang
positif ini akan bertambah, karena absorbsi kalsium dan fosfat oleh
gastrointestinal, seringkali pengambilan kalsium dan fosfat berlebihan melalui
dialisis [12]. Pada tahun 1973, Contiguglia, dkk., mendapatkan bahwa kalsium
pada kalsifikasi arteri yang berasal dari pembuluh darah pasien uremia, mengandung
kristal hydroxyapatite (sama seperti yang ada pada tulang) [13]. Kira-kira 99,9%
kalsium berada dalam tulang, kadar kalsium dalam plasma yang tinggi, menggambarkan
penyimpanan yang jelek, karena tulang rangka merupakan buffer yang sangat
efektif untuk mempertahankan kadar kalsium plasma dalam rentang normal dan hormon-hormon
calciotropic (PTH dan vitamin D) berperan sangat penting untuk menyimpan
kalsium dan fosfat kedalam tulang, atau bila perlu dilepaskan dari tulang, yang
sangat penting disini adalah reseptor PTH dan vitamin D berada di banyak
jaringan, termasuk pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan kalsifikasi
vaskuler [14].
Walaupun pedoman untuk
pengelolaan osteodistrofi renal belum ada yang baku, namun secara umum
dianjurkan untuk memantau kadar serum kalsium, fosfat dan PTH. Pemeriksaan
kadar alkali fosfatase serum dapat membantu untuk mengevaluasi adanya penyakit
tulang, karena asidosis metabolik juga dapat menyebabkan penyakit tulang, maka
kadar bikarbonat serum juga perlu diperiksa. Pengobatan osteodistrofi renal menggunakan
analog Vitamin D (mis. Calcitriol), suplementasi kalsium, pembatasan diet fosfat
dan pemberian bahan pengikat fosfat (mis. Kalsium karbonat) [2].
F.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin,
elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit),
protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
b.
Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ,
kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis,
aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostate
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen
G.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
terhadap gagal ginjal meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium
hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi
hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti
epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
H.
Komplikasi
Komplikasi yang
mungkin timbul akibat gagal ginjal kronik antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
I.
Pengkajian
1. Aktifitas dan Istirahat
Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur
Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
3. Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4. Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin
pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5. Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi,
anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan
6. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7. Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8. Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal
Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9. Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan
dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada
kulit, ROM terbatas
10. Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11. Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)
(Doengoes, 2000)
J.
Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan
dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d
katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual,
muntah
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan
cairan berlebihan (fase diuretik)
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume
sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic,
anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status
metabolic, edema, kulit kering, pruritus
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi
DAFTAR
PUSTAKA
Levey AS, Coresh J, Balk E, etal.
National Kidney Foundation practice guidelines for chronic kidney disease:
Evaluation, classification, and stratification. Annals of Internal Medicine.
2003;139:137–47.
Miller D, MacDonald D. Management
of Pediatric Patients With Chronic Kidney Disease. Pediatric Nursing.
2006;32:128-34.
Tisher CC, Bastl CP, Bistrian BR,
Chesney R, Coggins C, Diener-West M, et al. Morbidity and Mortality of
Dialysis. NIH Consens Statement 1993 Nov 1-3. 1993;11:1-33.
Leavey SF, Weitzel WF. Endocrine
abnormalities in chronic renal failure. Endocrinol Metab Clin N Am.
2002;31:107–19.
Norman AW. The Vitamin D Endocrine
System. The Physiologist. 1985;28: 219-31.
What is 1xbet korean and what type of bonuses does - Legalbet
BalasHapus1xbet korean and how to deposit money into the account. 1xbet korean and how 1xbet com to deposit money into the account.