Senin, 21 September 2015

GAGAL GINJAL KRONIK



GAGAL GINJAL KRONIK

A.    Konsep Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001).
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang progresif dan terjadi destruksi ginjal yang menetap. Pada sekitar tahun 1965 banyak pasien gagal ginjal kronik melanjut ketahap akhir penyakit ini dan kemudian menuju ke kematian. Tingginya angka kematian saat itu karena terbatasnya pengobatan dan mahalnya biaya pengobatan. Pada sekitar tahun 1972, mulai dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal, sejak saat ini angka kematian menurun. Jumlah pasien seluruh dunia yang dilakukan dialisis dan transplantasi meningkat 340.000 pasien pada tahun 1999, diperkirakan pada tahun 2010 menjadi 651.000 pasien [1]. Dalam sistem data renal Amerika Serikat (USRDS), angka kejadian gagal ginjal tahap akhir pada populasi anak yang berusia 0 – 19 tahun terus meningkat, pada tahun 1980 angka kejadian 1,5 / 100.000 anak, dan pada tahun 2002 menjadi 8,2 / 100.000 anak [2]. Dengan semakin meningkatnya angka kejadian, menurunnya angka kematian dan meningkatnya fasilitas pengobatan, maka morbiditas yang berhubungan gagal ginjal kronik juga bertambah. Morbiditas yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik pada anak adalah malnutrisi, anemia, gagal tumbuh, osteodistrofi dengan deformitas tulang, gangguan keseimbangan cairan dan kelainan neurologik antara lain: kejang, tuli, retardasi mental dan gangguan belajar, dan lain-lain [3].
Keterlibatan sistem endokrin sudah mulai terjadi pada awal gagal ginjal kronik dengan insufisiensi ginjal sedang, menjadi lebih manifes bila gagal ginjal melanjut. Mekanisme patofisiologi kelainan ini terjadi akibat menurunnya sintesis hormon-hormon endogen dan eksogen ginjal, berkurangnya kliren metabolik oleh mekanisme renal dan ekstrarenal, perubahan mekanisme sinyal homeostasis pada gagal ginjal kronik, perubahan ikatan hormon dan perubahan respon jaringan terhadap hormon [4].

B.     Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronik antara lain :
  1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronik)
  2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
  3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
  4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
  5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
  6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
  7. Nefropati toksik
  8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 1994)

C.    Patofisiologi
1.      Patofisiologi
Gagal ginjal kronik selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a.       Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
b.      Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis
c.       Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d.      Penyakit gagal ginjal stadium akhir;
Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin, 1994)

D.    Manifestasi Klinik
1.      Kardiovaskuler
·         Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
·         Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
·         Edema periorbital
·         Friction rub pericardial
·         Pembesaran vena leher
2.      Dermatologi
·         Warna kulit abu-abu mengkilat
·         Kulit kering bersisik
·         Pruritus
·         Ekimosis
·         Kuku tipis dan rapuh
·         Rambut tipis dan kasar
3.      Pulmoner
·         Krekels
·         Sputum kental dan liat
·         Nafas dangkal
·         Pernafasan kussmaul
4.      Gastrointestinal
·         Anoreksia, mual, muntah, cegukan
·         Nafas berbau ammonia
·         Ulserasi dan perdarahan mulut
·         Konstipasi dan diare
·         Perdarahan saluran cerna
5.      Neurologi
·         Tidak mampu konsentrasi
·         Kelemahan dan keletihan
·         Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
·         Disorientasi
·         Kejang
·         Rasa panas pada telapak kaki
·         Perubahan perilaku
6.      Muskuloskeletal
·         Kram otot
·         Kekuatan otot hilang
·         Kelemahan pada tungkai
·         Fraktur tulang
·         Foot drop
7.      Reproduktif
·         Amenore
·         Atrofi testekuler
E.     Keterlibatan Sistem Endokrin
Kalsium, Fosfor, vitamin D dan hormon paratiroid.
Kalsium dan fosfor merupakan elemen anorganik yang banyak sekali dalam tubuh. Kedua elemen ini berperan penting dalam proses biologi. Homeostasis kalsium dan fosfor melibatkan kerja yang sangat terintegrasi, ambilannya di usus, kemudian ion di timbun dalam tulang dan pengeluarannya sebagian besar melalui ginjal. Untuk homeostasis kalsium pada prinsipnya diperantarai oleh dua hormon peptida, yaitu hormon paratiroid dan kalsitonin dan vitamin D dan metabolitnya yang larut dalam lemak. Sebagian besar kalsium disimpan dalam tulang, pada manusia dengan berat badan 70 kg, timbunan kalsium 1,1 kg. Dalam keadaan normal, kadar dalam darah berkisar antara 10 mg Ca /100 ml ( 7 – 12 mg / 100 ml), bilamana kadarnya kurang dari 7 atau lebih dari 12 mg/100 ml akan timbul gejala yang tidak diinginkan. Kalsium juga berperan penting pada kontrakasi otot, hantaran transmisi syaraf, pembekuan darah, struktur membran dan kofaktor ensim antara lain hemolase tripsinogen, lipase dan ATPase [5].
Pertumbuhan tulang normal diatur oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor dan Vitamin D [2]. Dalam keadaan uremia terjadi resistensi multifaktor tulang terhadap efek PTH, sehingga diperkirakan kebutuhan kadar hormon paratiroid intact (iPTH) dua sampai empat kali normal untuk menimbulkan efek fisiologik normal pada tulang. Respon tulang terhadap kadar iPTH dalam sirkulasi yang suprafisologik dan menurunnya sintesis kalsitriol akan meningkatkan pergantian tulang (bone turnover) dan defek pada meneralisasi yang berakibat osteitis fibrosa atau penyakit tulang akibat hiperparatiroid yang mengakibatkan rasa sakit pada tulang dan fraktur. Hiperkalsemia dan hiperfosfatemia, keduanya terjadi sekunder akibat pelepasan dari tulang, tetapi dapat juga terjadi karena meningkatnya absorbsi dari gastrointestinal akibat sekunder dari pemberian vitamin D yang digunakan untuk menekan sintesis PTH, sehingga sering terjadi kalsifikasi ekstraskeletal [6].
Pada awal insufisiensi ginjal kronik sudah mulai terjadi gangguan pemeliharaan homeostasis kadar serum kalsium, fosfor dan kalsitriol sehingga menyebabkan timbulnya hiperparatiroidisme sekunder [7]. Bilamana GFR menurun, maka kadar serum fosfat cenderung meningkat, hal ini dapat menghambat sintesis 1-a, 25-dihydroxy vitamin D3 [1,25(OH)2D3 / calcitriol], dan menurunnya sementara ion kasium serum. Rangsang untuk meningkatkan sintesis dan sekresi hormon paratiroid diperantarai secara langsung oleh meningkatnya fosfat, menurunnya kadar 1,25(OH)2D3, dan menurunnya kadar kalsium [8].
Pada insufisiensi ginjal sedang, berakibat fosfat tertahan, sehingga merangsang meningkatkan kadar iPTH dalam sirkulasi. Respon ginjal karena adanya kadar PTH yang tinggi dalam sirkulasi adalah meningkatkan ekskresi fosfat dalam fraksi-fraksi dan membentuk kalsitriol. Apabila GFR semakin menurun, maka kemampuan untuk mengeluarkan fosfat melalui urin juga menurun sehingga dalam menurunkan kadar PTH yang meningkat dan untuk keseimbangan absorbsi fosfat dari diet normal kewalahan, akibatnya terjadi hiperfosfatemia [9]. Selanjutnya pengaturan kompensasi kadar kalsitriol serum juga gagal. Pengaturan diet dan pemberian obat-obatan pengikat fosfat dapat mempertahankan kadar fosfat serum dalam batas normal, namun demikan kadar 1,25(OH)2D3, tetap rendah kecuali bila diberikan suplementasi. Walaupun kadar kalsium serum khas dalam rentang normal sampai normal rendah pada keadaan gagal ginjal kronik tingkat lanjut, namun perlu diberikan perhatian karena ginjal merupakan jalan paling efektif untuk pengeluaran kalsium dari badan. Jadi dengan melanjutnya gagal ginjal, dokter harus berusaha mengatur fosfat, PTH dan vitamin D seoptimal mungkin dan juga keseimbangan kalsium dan homeostasisnya.
Bilamana fungsi ginjal makin memburuk, maka cenderung semakin terjadi hiperfosfatemia dan produksi kalsitriol menurun, ini menyebabkan rangsang kumulatif untuk timbulnya hiperparatiroidisme sekunder. Bilamana kelenjar paratiroid terangsang terus menerus akan terjadi hipertrofi dan hiperplasi [9]. Selanjutnya, pasien dengan gagal ginjal kronik jaringan paratiroid sel-selnya cenderung sangat berproliferasi dan terjadi hiperplasi difus mungkin timbul nodul (monoclonal) karena ekspansi sel-sel paratiroid. Sel-sel paratiroid menjadi lebih resisten terhadap supresi yang ditandai dengan menurunnya elemen vitamin D dan juga berubahnya kepekaan reseptor kalsium [9, 10]. Perubahan ini pada tingkat kelenjar paratiroid mempunyai implikasi langsung terhadap dosis vitamin D yang dibutuhkan dalam pengobatan, menjadi lebih tinggi dari kadar fisiologik yang dibutuhkan untuk menekan sintesis PTH. Jadi secara umum, pada gagal ginjal terjadi gangguan homeostasis kalsium dan fosfor, metabolisme vitamin D dan pengaturan hormon paratiroid, gangguan ini menyebabkan kelainan pada tulang (osteodistrofi renal). Pada gagal ginjal tahap akhir, manifestasinya kompleks dan respon klinisnya terhadap disregulasi metabolisme mineral bervariasi, ini yang mempengaruhi berat ringannya penyakit tulang pada gagal ginjal kronik.[2, 4]. Pada stadium awal gagal ginjal kronik, interaksi ini abnormal ditandai dengan meningkatnya retensi fosfat, berkurangnya aktifasi vitamin D ginjal dan kurangnya absorbsi kalsium oleh usus, bila GFR semakin menurun maka akan terjadi hiperparatiroidisme. Bila hiperparatiroidisme tidak diobati akan berakibat penyakit tulang yang disebut osteodistrofi renal, yang meningkatkan risiko defomitas tulang (lihat gambar 1) dan fraktur, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan linier [2, 6]. Pada penelitian “population base” pada pasien yang dilakukan dialisis di Amerika Serikat menyokong adanya peningkatan risiko fraktur beberapa kali lebih tinggi dibanding kontrol sebagai akibat dari perubahan fenotip tulang yang bervariasi [4]. Akhir-akhir ini, paradigma berubah akibat temuan penting sekuele ekstra skeletal dari kalsifikasi metastase, khususnya kalsifikasi vaskuler [11]. Pada pasien gagal ginjal kronik, seringkali terjadi kalsifikasi ekstraskeletal antara lain: pada mata (konjungtivitis dan band keratopati), paru, jantung dan pembuluh darah. Kejadian kalsifikasi ekstraskeletal meningkat seiring dengan lamanya gagal ginjal dan sebagai akibat hiperfosfatemia, tinginya kadar produk kalsium dan fosfat, serta keseimbangan kalsium dan fosfat positif. Keseimbangan yang positif ini akan bertambah, karena absorbsi kalsium dan fosfat oleh gastrointestinal, seringkali pengambilan kalsium dan fosfat berlebihan melalui dialisis [12]. Pada tahun 1973, Contiguglia, dkk., mendapatkan bahwa kalsium pada kalsifikasi arteri yang berasal dari pembuluh darah pasien uremia, mengandung kristal hydroxyapatite (sama seperti yang ada pada tulang) [13]. Kira-kira 99,9% kalsium berada dalam tulang, kadar kalsium dalam plasma yang tinggi, menggambarkan penyimpanan yang jelek, karena tulang rangka merupakan buffer yang sangat efektif untuk mempertahankan kadar kalsium plasma dalam rentang normal dan hormon-hormon calciotropic (PTH dan vitamin D) berperan sangat penting untuk menyimpan kalsium dan fosfat kedalam tulang, atau bila perlu dilepaskan dari tulang, yang sangat penting disini adalah reseptor PTH dan vitamin D berada di banyak jaringan, termasuk pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan kalsifikasi vaskuler [14].
Walaupun pedoman untuk pengelolaan osteodistrofi renal belum ada yang baku, namun secara umum dianjurkan untuk memantau kadar serum kalsium, fosfat dan PTH. Pemeriksaan kadar alkali fosfatase serum dapat membantu untuk mengevaluasi adanya penyakit tulang, karena asidosis metabolik juga dapat menyebabkan penyakit tulang, maka kadar bikarbonat serum juga perlu diperiksa. Pengobatan osteodistrofi renal menggunakan analog Vitamin D (mis. Calcitriol), suplementasi kalsium, pembatasan diet fosfat dan pemberian bahan pengikat fosfat (mis. Kalsium karbonat) [2].

F.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan Laboratorium
a.       Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
b.      Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2.      Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3.      Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate
4.      Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen

G.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1.      Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2.      Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3.      Dialisis
4.      Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

H.    Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronik antara lain :
1.      Hiperkalemia
2.      Perikarditis
3.      Hipertensi
4.      Anemia
5.      Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
I.       Pengkajian
1.      Aktifitas dan Istirahat
Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur
Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM
2.      Sirkulasi
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
3.      Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4.      Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5.      Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan
6.      Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7.      Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8.      Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal


9.      Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas
10.  Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11.  Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)

J.      Diagnosa Keperawatan
1.      Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
2.      Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
3.      Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik)
4.      Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
5.      Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa
6.      Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus
7.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi





DAFTAR PUSTAKA

Levey AS, Coresh J, Balk E, etal. National Kidney Foundation practice guidelines for chronic kidney disease: Evaluation, classification, and stratification. Annals of Internal Medicine. 2003;139:137–47.

Miller D, MacDonald D. Management of Pediatric Patients With Chronic Kidney Disease. Pediatric Nursing. 2006;32:128-34.


Tisher CC, Bastl CP, Bistrian BR, Chesney R, Coggins C, Diener-West M, et al. Morbidity and Mortality of Dialysis. NIH Consens Statement 1993 Nov 1-3. 1993;11:1-33.

Leavey SF, Weitzel WF. Endocrine abnormalities in chronic renal failure. Endocrinol Metab Clin N Am. 2002;31:107–19.

Norman AW. The Vitamin D Endocrine System. The Physiologist. 1985;28:    219-31.

1 komentar:

  1. What is 1xbet korean and what type of bonuses does - Legalbet
    1xbet korean and how to deposit money into the account. 1xbet korean and how 1xbet com to deposit money into the account.

    BalasHapus