DIRECT COOMBS TEST
A.
Definisi
Direct Coombs test
merupakan tes antibodi terhadap eritrosit secara langsung. Normalnya, antibodi
akan mengikat benda asing seperti bakteri dan virus dan menghancurkannya
sehingga menyebabkan destruksi eritrosit (hemolisis)
Tes ini dilakukan
pada sampel eritrosit langsung dari tubuh. Tes ini akan mendeteksi antibodi
yang ada di permukaan eritrosit. Terbentuknya antibodi ini karena adanya
penyakit atau berasal dari transfuse darah. Tes ini juga dapat dilakukan pada
bayi baru lahir dengan darah Rh positif dimana ibunya mempunyai Rh negatif. Tes
ini akan menunjukkan apakah ibunya telah membentuk antibodi dan masuk ke dalam darah bayinya melalui
plasenta. Beberapa penyakit dan obat-obatan (kuinidin, metildopa, dan
prokainamid) dapat memicu produksi antibodi ini. Antibodi ini terkadang
menghancurkan eritrosit dan menyebabkan anemia. Tes ini terkadang menunjukkan
diagnosis penyebab anemia atau jaundice.
B.
Indikasi Diagnosis
Indikasi : untuk
diagnosis
·
HDN (Hemolytic Disease of the Newbor )
·
AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia)
·
Reaksi transfusi hemolytik
·
Drug Induced Hemolytic Anemia
Untuk mendeteksi incomplete
antibody yang melapisi eritrosit penderita in vivo
Cara :
·
Eritrosit penderita dicuci dengan salin untuk
menghilangkan globulin plasma yang tidak bersifat antibodi spesifik
·
Campur
dengan serum Coombs tambahkan pada antibodi spesifik “incomplete“
yang diabsorbsi/melapisi eritrosit in
vivo
C.
Sistem
Rhesus
Sistem
Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak perdebatan
baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya.
Rhesus
positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak
mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan
antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak
seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan
mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus
pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari
transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang
terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan
pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara
parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-),
sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah
ABO nya sama.
Anti
D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation
coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum
juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi
IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga
janin dapat menderita penyakit hemolisis.
Penyakit
hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang
diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi
golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi
maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai
reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada
neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit.
Pada
tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan
diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin
yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops
fetalis.
Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus
yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin
dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal
dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda (
1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif.
D.
Genetik
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan
pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor
rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus.
Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang
darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E kurang berperan
disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita
Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).
Seorang wanita Rhesus (D) positif tak akan memproduksi
antibodi, karena darah yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti
Rhesus d.
Seseorang mempunyai Rhesus (D) negatif, jika
diwariskan gen d dari tiap orang tua. Mungkin saja anak Rhesus (D) negatif,
jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak Rhesus (D) positif. Bapak dapat mempunyai
gen D atau d, sehingga bayi dapt mewarisi gen d dari bapaknya. Sebaliknya,
wanita Rhesus (D) negatif dengan pasangan Rhesus (D) negatif, dan tak akan
timbul inkompatibilitas Rhesus, walaupun ibu telah membawa anatibodi Rhesus (D)
dari kehamilan sebelumnya.
INDIRECT COOMBS TEST
Tes ini dilakukan pada sampel dari bagian cair dari
darah (serum). Tes ini akan mendeteksi antibodi yang ada dalam aliran darah dan
dapat mengikat eritrosit tertentu yang memicu terjadinya masalah bila terjadi
percampuran darah. Tes ini biasanya dilakukan untuk menemukan antibodi pada
darah donor atau resipien sebelum dilakukan transfusi.
Indikasi :
·
Skrining Antibodi
Ø Deteksi Ab IgG; IgG
anti Rh (D), lain2 Ig G
·
Deteksi thd variant Rh yg bereaksi lemah, Ag
Kell & Duffy
·
Pada keadaan hipo/a-
gamaglobuliemia/a-gamaglobulinemia
·
Pada cross matching (reaksi silang)
Untuk mendeteksi incomplete antibody IgG incomplete yang terdapat didalam
serum penderita
Cara :
·
Eritrosit normal dari golongan darah yg sama
atau gol darah O disuspensikan ke dalam serum penderita dan diinkubasikan pada
370 C
·
Sesudah
dicuci dengan salin, tambahkan serum Coombs, disentrifus 1 menit pada 1000 rpm
agglutinasi berarti serum penderita mengandung antibodi tsb sehingga hasilnya
positif.
A.
Diagnosis Isoimunisasi dengan Direct Coombs test
Diagnosis
isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling sering
digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan
antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada
kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi
dengan IgG. Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit
yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi,
lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu
ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi
akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan antigen spesifik.
B.
Aplikasi Direct Coombs test
Pemeriksaan eritrosit sampel dengan test Coombs direk
memakai anti globulin manusia untuk mengetahui adanya anti bodi dan komplemen
yang meliputi eritrosit secara in vitro.
Serum sampel di periksa dengan tes Coombs indirek untuk mengetahui anti bodi
imun yang bebas. Untuk menentukan jenis anti bodi yang terdapat pada serum
pasien dilakukan tes Coombs indirek dengan mempergunakan 10 panel anti bodi
eritrosit pada eluate. Prinsip tes
Coombs adalah sebagai berikut : anti bodi-anti human IgG (dan/atau anti human
komplemen) di produksi dari rabit. Anti bodi ini akan mengaglutinasi eritrosit
cuci dengan anti bodi human IgG dan/atau komplemen yang terdapat pada permukaan
sel. Terdapat dua tipe dasar dari anti globulin atau tes Coombs, yaitu direk
dan indirek. Tes Coombs direk untuk mengetahui sensitisasi eritrosit secara
invivo pada pasien. Tes Coombs indirek untuk mengetahui sensitisasi secara
invitro, di mana sensitisasi terjadi di dalam tabung reaksi pada kondisi yang
optimal.
Kasus AIHA yang ditemukan pada pasien tanpa riwayat
tranfusi darah sebelumnya adalah termasuk penyakit anemia yang disebabkan oleh
kelainan sistem imun di mana terbentuk anti bodi terhadap sel eritrositnya
sendiri yang di sebut dengan penyakit auto imun. Penyebab dari keadaan ini
umumnya idiopatik. Dari kasus AIHA dengan riwayat tranfusi darah yang
kompatibel sebelumnya di duga terjadi karena hal-hal sebagai berikut alloantibody induced haemolytik anemia.
Dari data yang di peroleh, darah yang ditranfusikan kepada 84% pasien adalah
darah lengkap (whole blood) dan
kepada 16% pasien adalah eritrosit (packed
red cells). Dalam jenis darah ini terdapat bermacam-macam anti gen yang
bila ditranfusikan kepada pasien akan merupakan allogenic stimulant. Stimulasi alogenik dapat mengganggu toleransi
tubuh terhadap sel eritrositnya sendiri (self
tolerance), seperti pada interaksi graft
versus host, di mana dalam serum
dapat di deteksi adanya auto anti bodi. Auto anti bodi terbentuk terhadap sel
epitel, sel eritrosit, timosit, anti gen nuklear dan DNA. Dalam hal AIHA auto
anti bodi terbentuk terhadap eritrosit, yang menyebabkan lisis dan destruksi
dari eritrosit tersebut. Oleh karena itu pemberian tranfusi darah haruslah
aman, yaitu kompatibel secara imunologi dan bebas infeksi. Hal yang akan
bereaksi dengan eritrosit donor. Di samping itu harus dipastikan bahwa
eritrosit donor tidak akan menyebabkan terbentuknya anti bodi yang tidak di
inginkan pada resepien. Terjadi kesalahan penentuan sistem rhesus pada waktu
pemeriksaan rutin
Rh pre tranfusi dengan mempergunakan tes serum inkomplet
dalam albumin, di mana dapat terjadi reaksi positif yang tidak spesifik. Hal
ini terjadi karena reaksi langsung dengan albumin. Akibatnya pasien akan
membentuk anti bodi isoimun terhadap anti gen eritrosit, sehingga self tolerance terganggu. Hal ini
diperlihatkan pada percobaan binatang, di mana jika tikus di suntik dengan
eritrosit rat, akan ditemukan adanya auto anti bodi terhadap eritrositnya
sendiri pada tikus.
Terjadinya reaksi hiper sensitifitas pada resepien yang
mendapat tranfusi lebih dari satu kantong, di mana reaksi terjadi secara
individual pada kontak kedua dengan partikel anti gen yang sudah di kenal pada
tranfusi darah sebelumnya. Acquired
AIHA dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau sekunder terhadap penyakit
yang di derita pasien. Auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA, yang terjadi
secara sekunder terhadap penyakit tidak dapat dibedakan baik secara serologis
maupun imunokemikal dengan auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA primer. Auto
anti bodi bebas dapat di lihat pada serum pasien dengan tes anti globulin
indirek. Pada sebagian besar kasus auto anti bodi klas IgG tidak beraglutinasi,
karena itu di sebut inkomplet. Hasil tes yang positif berhubungan dengan
beratnya hemolisa.
Jika dipergunakan enzim, sensitifitas tes akan
meningkat karena pengurangan tahanan permukaan yang akan menyebabkan sel lebih
sanggup untuk beraglutinasi, kira-kira dua pertiga pasien memperlihatkan adanya
auto anti bodi bebas. Pada penelitian ini ertrosit dengan IgG dan C3 coated
pada permukaannya terdapat pada 68% kasus, IgG saja 21% dan C3 saja 10.5%.
Sedangkan pola reaksi pada AIHA umumnya adalah 50% dengan IgG dan C3 yang
coated pada permukaan eritrosit, 40% dengan IgG saja dan 10% dengan C3 saja.
Assalamualaikum, ijin bertanyaa. Materi diatas sumbernya dari apa?
BalasHapus