Senin, 21 September 2015

DIRECT COOMBS TEST



DIRECT COOMBS TEST

A.    Definisi
Direct Coombs test merupakan tes antibodi terhadap eritrosit secara langsung. Normalnya, antibodi akan mengikat benda asing seperti bakteri dan virus dan menghancurkannya sehingga menyebabkan destruksi eritrosit (hemolisis)
Tes ini dilakukan pada sampel eritrosit langsung dari tubuh. Tes ini akan mendeteksi antibodi yang ada di permukaan eritrosit. Terbentuknya antibodi ini karena adanya penyakit atau berasal dari transfuse darah. Tes ini juga dapat dilakukan pada bayi baru lahir dengan darah Rh positif dimana ibunya mempunyai Rh negatif. Tes ini akan menunjukkan apakah ibunya telah membentuk antibodi  dan masuk ke dalam darah bayinya melalui plasenta. Beberapa penyakit dan obat-obatan (kuinidin, metildopa, dan prokainamid) dapat memicu produksi antibodi ini. Antibodi ini terkadang menghancurkan eritrosit dan menyebabkan anemia. Tes ini terkadang menunjukkan diagnosis penyebab anemia atau jaundice.






B.     Indikasi Diagnosis
Indikasi : untuk diagnosis
·         HDN (Hemolytic Disease of the Newbor )
·         AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia)
·         Reaksi transfusi hemolytik
·         Drug Induced Hemolytic Anemia
Untuk mendeteksi incomplete antibody yang melapisi eritrosit penderita in vivo
Cara :
·          Eritrosit penderita dicuci dengan salin untuk menghilangkan globulin plasma yang tidak bersifat antibodi spesifik
·          Campur dengan serum Coombs tambahkan pada antibodi spesifik “incomplete“ yang  diabsorbsi/melapisi eritrosit in vivo

C.    Sistem Rhesus
Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya.
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama.
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit.
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.

Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif.

D.    Genetik
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).
Seorang wanita Rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena darah yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti Rhesus d.
Seseorang mempunyai Rhesus (D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang tua. Mungkin saja anak Rhesus (D) negatif, jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak Rhesus (D) positif. Bapak dapat mempunyai gen D atau d, sehingga bayi dapt mewarisi gen d dari bapaknya. Sebaliknya, wanita Rhesus (D) negatif dengan pasangan Rhesus (D) negatif, dan tak akan timbul inkompatibilitas Rhesus, walaupun ibu telah membawa anatibodi Rhesus (D) dari kehamilan sebelumnya.



INDIRECT COOMBS TEST

Tes ini dilakukan pada sampel dari bagian cair dari darah (serum). Tes ini akan mendeteksi antibodi yang ada dalam aliran darah dan dapat mengikat eritrosit tertentu yang memicu terjadinya masalah bila terjadi percampuran darah. Tes ini biasanya dilakukan untuk menemukan antibodi pada darah donor atau resipien sebelum dilakukan transfusi.
Description: 641px-coombs_test_schematic.png

Indikasi :
·         Skrining Antibodi
Ø  Deteksi Ab IgG; IgG anti Rh (D), lain2  Ig G
·         Deteksi thd variant Rh yg bereaksi lemah, Ag Kell & Duffy
·         Pada keadaan hipo/a- gamaglobuliemia/a-gamaglobulinemia
·         Pada cross matching (reaksi silang)
Untuk mendeteksi incomplete antibody IgG incomplete yang terdapat didalam serum penderita
Cara :
·          Eritrosit normal dari golongan darah yg sama atau gol darah O disuspensikan ke dalam serum penderita dan diinkubasikan pada 370 C
·          Sesudah dicuci dengan salin, tambahkan serum Coombs, disentrifus 1 menit pada 1000 rpm agglutinasi berarti serum penderita mengandung antibodi tsb sehingga hasilnya positif.

A.    Diagnosis Isoimunisasi dengan Direct Coombs test
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.

B.     Aplikasi Direct Coombs test
Pemeriksaan eritrosit sampel dengan test Coombs direk memakai anti globulin manusia untuk mengetahui adanya anti bodi dan komplemen yang meliputi eritrosit secara in vitro. Serum sampel di periksa dengan tes Coombs indirek untuk mengetahui anti bodi imun yang bebas. Untuk menentukan jenis anti bodi yang terdapat pada serum pasien dilakukan tes Coombs indirek dengan mempergunakan 10 panel anti bodi eritrosit pada eluate. Prinsip tes Coombs adalah sebagai berikut : anti bodi-anti human IgG (dan/atau anti human komplemen) di produksi dari rabit. Anti bodi ini akan mengaglutinasi eritrosit cuci dengan anti bodi human IgG dan/atau komplemen yang terdapat pada permukaan sel. Terdapat dua tipe dasar dari anti globulin atau tes Coombs, yaitu direk dan indirek. Tes Coombs direk untuk mengetahui sensitisasi eritrosit secara invivo pada pasien. Tes Coombs indirek untuk mengetahui sensitisasi secara invitro, di mana sensitisasi terjadi di dalam tabung reaksi pada kondisi yang optimal.
Kasus AIHA yang ditemukan pada pasien tanpa riwayat tranfusi darah sebelumnya adalah termasuk penyakit anemia yang disebabkan oleh kelainan sistem imun di mana terbentuk anti bodi terhadap sel eritrositnya sendiri yang di sebut dengan penyakit auto imun. Penyebab dari keadaan ini umumnya idiopatik. Dari kasus AIHA dengan riwayat tranfusi darah yang kompatibel sebelumnya di duga terjadi karena hal-hal sebagai berikut alloantibody induced haemolytik anemia. Dari data yang di peroleh, darah yang ditranfusikan kepada 84% pasien adalah darah lengkap (whole blood) dan kepada 16% pasien adalah eritrosit (packed red cells). Dalam jenis darah ini terdapat bermacam-macam anti gen yang bila ditranfusikan kepada pasien akan merupakan allogenic stimulant. Stimulasi alogenik dapat mengganggu toleransi tubuh terhadap sel eritrositnya sendiri (self tolerance), seperti pada interaksi graft versus host, di mana dalam serum dapat di deteksi adanya auto anti bodi. Auto anti bodi terbentuk terhadap sel epitel, sel eritrosit, timosit, anti gen nuklear dan DNA. Dalam hal AIHA auto anti bodi terbentuk terhadap eritrosit, yang menyebabkan lisis dan destruksi dari eritrosit tersebut. Oleh karena itu pemberian tranfusi darah haruslah aman, yaitu kompatibel secara imunologi dan bebas infeksi. Hal yang akan bereaksi dengan eritrosit donor. Di samping itu harus dipastikan bahwa eritrosit donor tidak akan menyebabkan terbentuknya anti bodi yang tidak di inginkan pada resepien. Terjadi kesalahan penentuan sistem rhesus pada waktu pemeriksaan rutin    
Rh pre tranfusi dengan mempergunakan tes serum inkomplet dalam albumin, di mana dapat terjadi reaksi positif yang tidak spesifik. Hal ini terjadi karena reaksi langsung dengan albumin. Akibatnya pasien akan membentuk anti bodi isoimun terhadap anti gen eritrosit, sehingga self tolerance terganggu. Hal ini diperlihatkan pada percobaan binatang, di mana jika tikus di suntik dengan eritrosit rat, akan ditemukan adanya auto anti bodi terhadap eritrositnya sendiri pada tikus.
Terjadinya reaksi hiper sensitifitas pada resepien yang mendapat tranfusi lebih dari satu kantong, di mana reaksi terjadi secara individual pada kontak kedua dengan partikel anti gen yang sudah di kenal pada tranfusi darah sebelumnya. Acquired AIHA dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau sekunder terhadap penyakit yang di derita pasien. Auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA, yang terjadi secara sekunder terhadap penyakit tidak dapat dibedakan baik secara serologis maupun imunokemikal dengan auto anti bodi yang terbentuk pada AIHA primer. Auto anti bodi bebas dapat di lihat pada serum pasien dengan tes anti globulin indirek. Pada sebagian besar kasus auto anti bodi klas IgG tidak beraglutinasi, karena itu di sebut inkomplet. Hasil tes yang positif berhubungan dengan beratnya hemolisa.
 Jika dipergunakan enzim, sensitifitas tes akan meningkat karena pengurangan tahanan permukaan yang akan menyebabkan sel lebih sanggup untuk beraglutinasi, kira-kira dua pertiga pasien memperlihatkan adanya auto anti bodi bebas. Pada penelitian ini ertrosit dengan IgG dan C3 coated pada permukaannya terdapat pada 68% kasus, IgG saja 21% dan C3 saja 10.5%. Sedangkan pola reaksi pada AIHA umumnya adalah 50% dengan IgG dan C3 yang coated pada permukaan eritrosit, 40% dengan IgG saja dan 10% dengan C3 saja.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, ijin bertanyaa. Materi diatas sumbernya dari apa?

    BalasHapus