PERTANYAAN-PERTANYAAN
YANG UMUMNYA DITANYAKAN
MENGENAI
AFASIA PADA ANAK
1.
Apakah
Anak Afasia?
Anak afasia adalah seorang anak yang gagal
mengembangkan kemampuan bahasa yang memadai atau seseorang yang mengalami
ketidak mampuan menerima bahasa karena kerusakan otak. Berlawanan dengan
kemampuan non-verbalnya, perkembangan bahasanya
biasanya terhambat. Lahir prematur, cacat bawaan, cedera kelahiran,
penyakit ketidaksesuaian darah, perubahan kimia darah, gangguan kelenjar,
epilepsi, meningitis, ensepalitis, tumor dan trauma merupakan beberapa penyebab
cedera otak.
Adakalanya seorang anak yang mengalami kelemahan
bahasa secara etiologi mungkin tidak dapat dinyatakan secara organis melalui
pemeriksaan neurologis biasa dan EEG. Namun evaluasi bahasa dan psikodiagnostik
menegakkan kerusakan dalam area persepsi, konsep dan bahasa yang bersamaan
dengan sindrom perilaku tertentu mungkin mengelompokkan anak ini sebagai
seorang afasia. Afasia pada anak sangat mudah membingunkan ketika tidak
disertai dengan berbagai hambatan misalnya kerusakan pendengaran dan
penglihatan dan penghambatan mental. Anak yang mengalami cedera otak mungkin
mengalami masalah belajar dan perilaku tetapi tidak selalu mempengaruhi kelemahan
bahasa.
2.
Bagaimana
Mengetahui Ketika Seorang Anak Terkena Afasia?
Ini merupakan pertanyaan yang paling umum ditanyakan
oleh orang tua dan guru. Diagnosanya sulit dan seringkali melemahkan temuan
neurologis. Jika kerusakan lain misalnya kelemahan pendengaran dan penglihatan,
palasi otak, dan penghambatan mental, gambaran diagnosa menjadi lebih rancu.
Utamanya diagnosis yang akurat harus dilakukan jika seorang anak diuji. Lagi
pula, kerusakan akibat afasia seringkali merangsang gejala dan kerusakan lain.
Contohnya, anak dengan kelemahan pendengaran mungkin mengalami kehilangan
pendengaran. Anak yang mengalami cedera otak mungkin mengalami beberapa masalah
perilaku yang tidak seperti gangguan emosi pada anak. Diagnosa memerlukan opini
tim ahli yang dibuat ahli syaraf, psikiatri, psikolog, dokter dan terapis
wicara. Seringkali kelemahan perkembangan bahasa merupakan sasaran gejala
pertama afasia yang diamati oleh keluarga. Disamping masalah bahasa, anak
mungkin terlambat mengembangkan kemampuan motorik dan hubungan personal-sosial
yang memadai. Pada anak yang mengalami cedera otak, pertumbuhan dan
perkembangan umum selain bahan mungkin dalam taraf yang normal.
Gangguan afasia terjadi pada tiga bidang: (1)
perilaku, (2) pembelajaran, dan (3) bahasa. Perilaku pada anak afasia mungkin bersifat
salah satu kombinasi berikut: hiperaktivitas, hipoaktivitas, perhatian pendek,
agresif, tidak sesuainya pemahaman, ketakutan, over perkumpulan, masalah
emosional menengah dan parah, reaksi katastrofi, perilaku tak terduga,
kecenderungan kekerasan, dan paksaan yang tak biasa.
Defisit Pembelajaran yaitu gangguan pendengaran dan
penglihatan yang meliputi kekacauan bentuk tubuh, gangguan sisi depan dan
belakang, lemahnya koordinasi mata-tangan, masalah visual-motorik, menggenggam
tak menentu, lemahnya kemampuan untuk menggerakkan seluruh bagian dan gangguan
sendi. Hasilnya terjadi kekurangan konsep pembentukan dan intisari seluruh
proses.
Masalah bahasa terdiri dari agnosia audio-verbal,
agnosia visual-verbal, masalah bahasa (artikulasi), lemahnya perbendaharaan
kata dan bentuk kalimat, dan ketidakmampuan menerima bahasa simbolis (membaca, mengeja,
aritmatika).
Masalah-masalah ini terlihat terpisah atau bersamaan
pada saat pra-sekolah atau selanjutnya. Anak dengan masalah yang paling parah
akan menerima evaluasi dan diagnosa pertama kali.
Hampir tidak mungkin untuk menilai masalah anak-anak
dalam dasar kontak tunggal. Kebanyakan anak tidak merespon pengujian situasi
dan kebanyakan terhantung pada observasi klinis tentang perilaku. Beberapa
kontak seringkali memerlukan waktu yang
banyak sebelum evaluasi yang komprehensif dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar