EPILEPSI
A.
Dasar
Teori
Ayan atau epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang menimbulkan
serangan mendadak berulang-ulang tak beralasan. Kata 'epilepsi' berasal dari
bahasa Yunani
(Epilepsia) yang berarti 'serangan'.
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala
akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan
tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal)
atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi
merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis
di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya
(Jan, 2008).
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against
Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005
merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial
yang diakibatkannya (Fisher et al,
2005).
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau
gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan
atau sinkron yang terjadi di otak.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak (Jan, 2008).
Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran,
luka kepala, stroke,
tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan mungkin juga karena genetika,
tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum
diketahui.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu (Fisher et al, 2005):
·
Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
·
Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan
terjadinya bangkitan selanjutnya
·
Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga
elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang
penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu
diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan
seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah
penyakit menular, dan sebagainya.
B.
Epidemiologi
Epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang
mencapai 100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan
uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja
dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup
tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per
100.000.
C.
Klasifikasi
Epilepsi
Klasifikasi
Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE)
1981:
1. Kejang Parsial (fokal)
a.
Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1)
Dengan gejala
motorik
2)
Dengan gejala
sensorik
3)
Dengan gejala
otonomik
4)
Dengan gejala
psikik
b.
Kejang parsial
kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1)
Awalnya parsial
sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a)
Kejang parsial
sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b)
Dengan
automatisme
2)
Dengan gangguan
kesadaran sejak awal kejang
a)
Dengan gangguan
kesadaran saja
b)
Dengan
automatisme
c.
Kejang umum sekunder/
kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1)
Kejang parsial
sederhana berkembang menjadi kejang umum
2)
Kejang parsial
kompleks berkembang menjadi kejang umum
3)
Kejang parsial
sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi kejang umum
2.
Kejang umum
(konvulsi atau non-konvulsi)
a.
lena/ absens
b.
mioklonik
c.
tonik
d.
atonik
e.
klonik
f.
tonik-klonik
3.
Kejang
epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi
Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
1. Berkaitan dengan letak fokus
a.
Idiopatik
1)
Benign
childhood epilepsy with centrotemporal spikes
2)
Childhood
epilepsy with occipital paroxysm
b.
Simptomatik
1) Lobus
temporalis
2) Lobus
frontalis
3) Lobus
parietalis
4) Lobus
oksipitalis
2.
Epilepsi Umum
a.
Idiopatik
1)
Benign
neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
2)
Benign
myoclonic epilepsy in infancy
3)
Childhood absence epilepsy
4)
Juvenile
absence epilepsy
5)
Juvenile
myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
6)
Epilepsy
with grand mal seizures upon awakening
7)
Other generalized idiopathic epilepsies
b. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
1)
West’s
syndrome (infantile spasms)
2)
Lennox
gastaut syndrome
3)
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
4)
Epilepsy
with myoclonic absences
c. Simtomatik
1)
Etiologi non spesifik
2)
Early
myoclonic encephalopathy
3)
Specific disease states presenting with
seizures
D.
Anatomi
dan Patofisiologi Epilepsi
Dasar serangan epilepsi ialah
gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis
neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi
atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan
listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin.
Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi
impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial
akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas
muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya
keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga
membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra
seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik
demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak
terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Patologi terjadinya epilepsi yaitu karena adanya aksi serentak &
mendadak dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai
pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya
pelepasan muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas pada
kelompok-kelompok kecil yang memberikan ritme normal pada elektroencefalogram
(EEG).
1. Patofisiologi
Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum,
onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan
pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik
kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa
hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi
ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks
terjadi pada saat tidur non-REM (Chang & Lowenstein, 2003).
2. Patofisiologi
Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah
epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada
sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel
piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks
entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron
di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula dentatus
relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi
propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal (Jeffreys, 1999).
E.
Diagnosa
Epilepsi
Diagnosis epilepsi
didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG
dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus
dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang
riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan
obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi:
-
Pola / bentuk serangan
-
Lama serangan
-
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
-
Frekueensi serangan
-
Faktor pencetus
-
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita
sekarang
-
Usia saat serangan terjadinya pertama
-
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
-
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
-
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan
fisik umum dan neurologis
Melihat adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga
atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa
harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan
ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral.
3. Pemeriksaan
penunjang
a.
Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan
EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal.
1) Asimetris
irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama
gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya
gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike) ,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b.
Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video
secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat
meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi
kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
c.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang
dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif
dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
F.
Faktor
Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi
otak yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor.
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan
pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor ialah trauma
perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit
metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan
lain-lain.
Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas
neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun
postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya
gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
1. Faktor Prenatal.
a. Usia ibu saat hamil
Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya
adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya
adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan
prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi
dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi
bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik.
b. Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi
Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang,
sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR. Keadaan ini dapat menimbulkan asfiksia pada bayi yang
dapat berlanjut pada epilepsi di kemudian hari.
c. Kehamilan primipara atau multipara
Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit
persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan dengan alat, kelainan
letak) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara (kehamilan dan melahirkan
bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera
karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga
terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan
otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya.
d. Bahan Toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi,
minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan
epilepsi.
2. Faktor Natal.
a. Asfiksia
Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal
dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik.
b. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan
perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan terbentuknya fokus
epilepsi. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu
hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak
pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada
perkembangan selanjutnya.
c.
Partus Lama
(berhubungan dengan asfiksia)
d. Perdarahan Intrakranial
3. Faktor Postnatal.
a. Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 380C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Shorvon berpendapat bahwa kejang
demam yang berkepanjangan menyebabkan iskemik otak, dan yang paling terkena
dampaknya adalah lobus temporalis. Hal ini menyebabkan predisposisi timbulnya
epilepsi lobus temporalis (ELT).
b.
Trauma kepala
c.
Infeksi Susunan
Saraf Pusat
d. Gangguan Metabolik
Serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi
serum glokusa, kalsium, magnesium, potassium dan sodium.
4. Faktor Herediter.
Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer kurang lebih
4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama-sama mengidap epilepsi primer,
maka anak yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%. Anak yang
mempunyai ayah dan ibu penyandang epilepsi mempunyai risiko 5 kali lebih besar
dari anak yang ayah dan ibunya bukan penyandang epilepsi.
G.
Manifestasi
Klinis
1. Bangkitan
Umum Tonik-Klonik (Grand Mal)
Bangkitan ini merupakan jenis epilepsi yang paling sering
dijumpai. Bangkitan jenis ini dapat terjadi pada semua umur.
Penderita secara mendadak menghilang
kesadarannya, disertai dengan mulainya fase tonik (kejang tonik) dimana badan
dan anggota gerak menjadi kaku, yang kemudian diikuti fase klonik (badan dan
anggota gerak berkejut-kejut, kelojotan). Bila penderita sedang berdiri sewaktu
serangan mulai, maka ia akan terjatuh seperti benda mati. Pada fase tonik badan
menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara akan dikeluarkan dengan kuat
dari paru-paru melalui pita suara yang sebagian tertutup sehingga terjadi
bunyi, yang disebut sebagai jeritan epilepsi (epileptic cry). Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita
menjadi biru (sianosis) karena pernafasan terhenti dan terdapat pula kongesti
(terbendungnya) pembuluh darah vena. Biasanya fase ini berlangsung 20-60 detik.
2. Bangkitan
Umum Lena (Absence/Petit mal)
Jenis epilepsi ini agak jarang
dijumpai. Biasanya dijumpai pada anak-anak (umur 4-12 tahun). Serangan petit
mal berlangsung singkat, hanya beberapa detik (5-15 detik). Pada serangan petit
mal terlihat hal berikut :
§
Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang
ia lakukan (misalnya makan, bermain, berbicara, membaca).
§
Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini ia tidak bereaksi bila diajak berbicara
atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
§
Setelah beberapa detik kemudian ia sadar dan
melanjutkan lagi apa yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.
3. Bangkitan
Psikomotor (Epilepsi Lobus Temporalis)
Kelainan patologik pada penderita
dengan epilepsi psikomotor selalu terletak pada lobus temporalis, oleh karena
itu disebut juga epilepsi lobus temporalis. Bentuk serangannya bermacam-macam
yang meliputi gejala motorik, sensorik, vegetatif (otonom), dan psikis. Pada
sebagian besar penderita didapatkan aura. Setelah aura ini penderita dapat
menjadi diam, melihat kosong (pandangan orang tidak sadar) atau menjadi pucat.
Keadaan ini disusul oleh gerakan-gerakan motorik. Gerakan motorik ini dapat
bermacam-macam bentuknya, misalnya mengecap-ngecap dengan bibir dan mulutnya,
mengunyah, menggerak-gerakkan wajah, memegang-megang baju, membuka kancing
bajum menggosok-gosok tangan, menepuk badan, menendang-nendang dengan kakinya.
Penderita dapat berjalan hilir mudik, membuka baju, mengucapkan kalimat tanpa
tujuan. Semua gerakan tersebut di atas merupakan gerakan yang cukup
terkoordinasi, yang dilakukan oleh penderita sewaktu kesadarannya sedang
menurun. Gerakan-gerakan tersebut dinamakan juga automatisme yang merupakan
ciri khas epilepsi psikomotor dan biasanya berlangsung selama 1-2 menit, jarang
lebih lama dari 5 menit.
H.
Terapi
1.
Terapi
Non Farmakologi
Tidak jarang anak
yang menderita epilepsi mempunyai tingkat kecerdasan yang rendah (retardasi
mental), gangguan tingkah laku (bihaviour disorders), gangguan emosi,
hiperaktif.Hal ini harus mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya.Hubungan antara penderita
dengan orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah tyerdapat
proteksi berlebihan, rejeksi atau overanxiety.Bila perlu dapat diminta bantuan
dari psikolog atau psikiater.
2.
Terapi
Farmakologi
Setelah
diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan. Semua orang yang
menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang non-idiopatik, namun proses
patologik yang mendasarinya tidak bersifat progresif aktif seperti tumor
serebri, harus mendapat terapi medisinal. Obat pilihan utama untuk
pemberantasan serangan epileptik jenis apapun, selain petit mal, adalah luminal
atau phenytoin. Untuk menentukan dosis luminal harus diketahui umur penderita,
jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan bila sudah diobati dokter lain. Dosis
obat yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis luminal ialah 3-5
mg/kg/BB/hari, sedangkan orang dewasa tidak memerlukan dosis sebanyak itu.
Orang dewasa memerlukan 60 sampai 120 mg/hari. Dosis phenytoin (Dilatin, Parke Davis)
untuk anak-anak ialah 5 mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 5-15
mg/kg/BB/hari. Efek phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru
terlihat dalam lima hari. Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15
mg/kg/BB/hari (kira-kira 800 mg/hari) harus dipergunakan.
Efek
antikonvulsan dapat dinilai pada ‘follow up’. Penderita dengan frekuensi
serangan umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati dibanding dengan
penderita yang mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada kunjungan ‘follow
up’ dapat dilaporkan hasil yang baik, yang buruk atau yang tidak dapat
dinilai baik atau buruk oleh karena frekuensi serangan sebelum dan sewaktu
menjalani terapi baru masih kira-kira sama. Bila frekuensinya berkurang secara
banding, dosis yang sedang dipergunakan perlu dinaikan sedikit. Bila
frekuensinay tetap, tetapi serangan epileptik dinilai oleh orangtua penderita
atau penderita epileptik Jackson motorik/sensorik/’march’ sebagai ‘enteng’ atau
‘jauh lebih ringan’, maka dosis yang digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah
sedikit. Jika hasilnya buruk, dosis harus dinaikan atau ditambah dengan
antikonvulsan lain.
Terapi Pengobatan Epilepsi :
1. Obat pertama yang paling
lazim dipergunakan: (seperti: sodium valporat, Phenobarbital dan phenytoin)
-
Ini adalah anjuran bagi penderita
epilepsi yang baru,
-
Obat-obat ini akan memberi efek samping
seperti gusi bengkak, pusing, jerawat dan badan berbulu (Hirsutisma), bengkak
biji kelenjardan osteomalakia.
2. Obat kedua yang lazim
digunakan: (seperti: lamotrigin, tiagabin, dan gabapetin)
-
Jika tidak terdapat perubahan kepala
penderita setelah mengunakan obat pertama, obatnya akan di tambah dengan dengan
obatan kedua.
-
Lamotrigin telah diluluskan sebagai
obat pertama di Malaysia.
-
Obat baru yang diperkenalkan tidak
dimiliki efek samping, terutama dalam hal kecacatan sewaktu kelahiran.
Berikut ini adalah
obat-obatan yang sering digunakan untuk menangani apabila terjadi kejang:
Obat
|
Bentuk Kejang
|
Dosis
mg/kgbb/hari
|
|
1
|
Fenobarbital
|
Semua bentuk kejang
|
3-8
|
2
|
Dilatin (difenilhidantoin)
|
Semua bentuk kejang kecuali
bangkitan petit mal, mioklonik atau akinetik.
|
5-10
|
3
|
Mysoline (primidon)
|
Semua bentuk kejang kecuali petit
mal
|
12-25
|
4
|
Zarotin (etosuksinit)
|
Petit mal
|
20-60
|
5
|
Diazepam
|
Semua bentuk kejang
|
0,2-0,5
|
6
|
Diamox (asetasolamid)
|
Semua bentuk kejang
|
10-90
|
7
|
Prednison
|
Spasme infantil
|
2-3
|
8
|
Dexametasone
|
Spasme infantil
|
0,2-0,3
|
9
|
Adrenokortikotropin
|
Spasme infantil
|
2-4
|
I.
Study
Kasus
Seorang
laki - laki, usia 26 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan jatuh dari
kursi di depan TV. Sebelumnya pasien merasa silau saat menghidupkan TV dan tiba
– tiba terjatuh dan kemudian tidak sadar akan kejadian selanjutnya. Ayah pasien
melaporkan bahwa setelah pasien jatuh, kemudian pasien mengalami kejang pada
seluruh tubuh berkelenjotan dan kaku – kaku, kemudian pingsan kurang lebih 5
menit dan tertidur setelahnya, mulut tidak berbusa. Pasien sering mengalami hal
serupa jika kecapekan. Serangan biasa didahului oleh rahang yang mengatup –
ngatup dan tangan kanan yang menyentak – nyentak seakan mau memukul orang lain.
Pasien sering mengalami hal seperti ini sejak umur 20 tahun. Riwayat pengobatan
epilepsi sejak usia 25 tahun. OS sering tidak teratur meminum obat tersebut.
Keluarga pasien tidak ada yang menderita seperti ini. Pemeriksaan fisik dan
neurologis tidak didapatkan kelainan. Pada pasien ini tidak dilakukan
elektorensefalografi.
Pemeriksaan
Pasien
ini memenuhi kriteria epilepsi dengan tipe serangan tonik klonik dari keluhan
yang ada, dengan gejala berupa silau saat menghidupkan TV dan tiba – tiba
terjatuh, kejang pada seluruh tubuh berkelenjotan dan kaku – kaku, kemudian
pingsan kurang lebih 5 menit dan tertidur setelahnya. Riwayat pengobatan
sebelumnya dengan obat antiepilepsi meyakinkan diagnosis epilepsi pada pasien
ini dan mendukung bahwa elektroensefalografi bukan suatu syarat dalam penegakan
diagnosis epilepsi.
Salah
satu masalah dalam penanggulangan epilepsi adalah menentukan dengan pasti
diagnosa epilepsi. Sebelum pengobatan dimulai, diagnosis epilepsi harus
ditegakkan. Tidaklah tepat untuk menganggap seorang sebagai penyandang epilepsi
jika hanya mengalami satu serangan saja. Diagnosis epilepsi dapat dibuat dengan
cukup pasti dari anamnesis lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil
pemeriksaan umum dan neurologik serta elektroensefalografi.
Diagnosis
Epilepsi dengan tipe serangan Tonik
Klonik (Grand Mal)
J.
Resep
Dilakukan
pengobatan dengan obat anti epilepsi yaitu tablet fenitoin 100 mg tiap 12 jam
dan ditambah dengan 1 tablet asam folat tiap 12 jam setiap hari sampai minimal
2 tahun bebas dari serangan . Edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga
agar meminum obat secara teratur, rutin kontrol, dan mengurangi aktivitas fisik
yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminoff MJ dkk. Clinical
Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of
Pediatrics. Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)
Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus
Scientific Journal of pharmaceutical development and medical application.
Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
PERDOSSI.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
Price
dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed:
6. Jakarta: EGC
Shorvon SD. HANDBOOK OF
Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
Wilkinson
I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
Terimakasih artikelnya bagus.
BalasHapusSaya juga mau informasikan tentang obat epilepsi bila anda minat klik Terimakasih artikelnya bagus.
Saya juga mau informasikan tentang Obat Epilepsi