Senin, 21 September 2015

EPILEPSI



EPILEPSI

A.    Dasar Teori
Ayan atau epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang menimbulkan serangan mendadak berulang-ulang tak beralasan. Kata 'epilepsi' berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti 'serangan'.
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya (Jan, 2008).
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya (Fisher et al, 2005).
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak (Jan, 2008).
Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, stroke, tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan mungkin juga karena genetika, tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu (Fisher et al, 2005):
·        Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
·        Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya
·        Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya.

B.     Epidemiologi Epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.  Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus)  dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta  angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.

C.    Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981:
1.      Kejang Parsial (fokal)
a.       Kejang  parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1)      Dengan gejala motorik
2)      Dengan gejala sensorik
3)      Dengan gejala otonomik
4)      Dengan gejala psikik
b.      Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1)      Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a)      Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b)      Dengan automatisme
2)      Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a)      Dengan gangguan kesadaran saja
b)      Dengan automatisme
c.       Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum  (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1)      Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2)      Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3)      Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,    dan berkembang menjadi kejang umum
2.      Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
a.       lena/ absens
b.      mioklonik
c.       tonik
d.      atonik
e.       klonik
f.        tonik-klonik
3.      Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
1.      Berkaitan dengan letak fokus
a.       Idiopatik
1)      Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
2)      Childhood epilepsy with occipital paroxysm
b.      Simptomatik
1)      Lobus temporalis
2)      Lobus frontalis
3)      Lobus parietalis
4)      Lobus oksipitalis
2.      Epilepsi Umum
a.       Idiopatik
1)      Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
2)      Benign myoclonic epilepsy in infancy
3)       Childhood absence epilepsy
4)      Juvenile absence epilepsy
5)      Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
6)      Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
7)       Other generalized idiopathic epilepsies
b.      Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
1)      West’s syndrome (infantile spasms)
2)      Lennox gastaut syndrome
3)       Epilepsy with myoclonic astatic seizures
4)      Epilepsy with myoclonic absences
c.       Simtomatik
1)      Etiologi non spesifik
2)      Early myoclonic encephalopathy
3)       Specific disease states presenting with seizures



D.    Anatomi dan  Patofisiologi Epilepsi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Patologi terjadinya epilepsi yaitu karena adanya aksi serentak & mendadak dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas pada kelompok-kelompok kecil yang memberikan ritme normal pada elektroencefalogram (EEG).
1.      Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM (Chang & Lowenstein, 2003).
2.      Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal (Jeffreys, 1999).

E.     Diagnosa Epilepsi
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.

1.      Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang riwayat  trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
-         Pola / bentuk serangan
-         Lama serangan
-         Gejala sebelum, selama dan paska serangan
-         Frekueensi serangan
-         Faktor pencetus
-         Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
-         Usia saat serangan terjadinya pertama
-         Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
-         Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
-         Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.      Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3.      Pemeriksaan penunjang
a.       Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.  Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1)      Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2)      Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3)      Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b.      Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c.       Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.



F.     Faktor Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan lain-lain.
Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
1.      Faktor Prenatal.
a.       Usia ibu saat hamil
Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik.
b.      Kehamilan dengan eklampsi dan hipertensi
Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR. Keadaan ini dapat menimbulkan asfiksia pada bayi yang dapat berlanjut pada epilepsi di kemudian hari.
c.       Kehamilan primipara atau multipara
Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya.
d.      Bahan Toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan epilepsi.
2.      Faktor Natal.
a.       Asfiksia
Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik.
b.      BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan terbentuknya fokus epilepsi. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya.
c.       Partus Lama (berhubungan dengan asfiksia)
d.      Perdarahan Intrakranial
3.      Faktor Postnatal.
a.       Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Shorvon berpendapat bahwa kejang demam yang berkepanjangan menyebabkan iskemik otak, dan yang paling terkena dampaknya adalah lobus temporalis. Hal ini menyebabkan predisposisi timbulnya epilepsi lobus temporalis (ELT).
b.      Trauma kepala
c.       Infeksi Susunan Saraf Pusat
d.      Gangguan Metabolik
Serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum glokusa, kalsium, magnesium, potassium dan sodium.
4.      Faktor Herediter.
Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer kurang lebih 4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama-sama mengidap epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%. Anak yang mempunyai ayah dan ibu penyandang epilepsi mempunyai risiko 5 kali lebih besar dari anak yang ayah dan ibunya bukan penyandang epilepsi.

G.    Manifestasi Klinis
1.      Bangkitan Umum Tonik-Klonik (Grand Mal)
Bangkitan ini merupakan jenis epilepsi yang paling sering dijumpai. Bangkitan jenis ini dapat terjadi pada semua umur.
Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai dengan mulainya fase tonik (kejang tonik) dimana badan dan anggota gerak menjadi kaku, yang kemudian diikuti fase klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut, kelojotan). Bila penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, maka ia akan terjatuh seperti benda mati. Pada fase tonik badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara akan dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru melalui pita suara yang sebagian tertutup sehingga terjadi bunyi, yang disebut sebagai jeritan epilepsi (epileptic cry). Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi biru (sianosis) karena pernafasan terhenti dan terdapat pula kongesti (terbendungnya) pembuluh darah vena. Biasanya fase ini berlangsung 20-60 detik.
2.      Bangkitan Umum Lena (Absence/Petit mal)
Jenis epilepsi ini agak jarang dijumpai. Biasanya dijumpai pada anak-anak (umur 4-12 tahun). Serangan petit mal berlangsung singkat, hanya beberapa detik (5-15 detik). Pada serangan petit mal terlihat hal berikut :
§  Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan (misalnya makan, bermain, berbicara, membaca).
§  Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini ia tidak bereaksi bila diajak berbicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
§  Setelah beberapa detik kemudian ia sadar dan melanjutkan lagi apa yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.
3.      Bangkitan Psikomotor (Epilepsi Lobus Temporalis)
Kelainan patologik pada penderita dengan epilepsi psikomotor selalu terletak pada lobus temporalis, oleh karena itu disebut juga epilepsi lobus temporalis. Bentuk serangannya bermacam-macam yang meliputi gejala motorik, sensorik, vegetatif (otonom), dan psikis. Pada sebagian besar penderita didapatkan aura. Setelah aura ini penderita dapat menjadi diam, melihat kosong (pandangan orang tidak sadar) atau menjadi pucat. Keadaan ini disusul oleh gerakan-gerakan motorik. Gerakan motorik ini dapat bermacam-macam bentuknya, misalnya mengecap-ngecap dengan bibir dan mulutnya, mengunyah, menggerak-gerakkan wajah, memegang-megang baju, membuka kancing bajum menggosok-gosok tangan, menepuk badan, menendang-nendang dengan kakinya. Penderita dapat berjalan hilir mudik, membuka baju, mengucapkan kalimat tanpa tujuan. Semua gerakan tersebut di atas merupakan gerakan yang cukup terkoordinasi, yang dilakukan oleh penderita sewaktu kesadarannya sedang menurun. Gerakan-gerakan tersebut dinamakan juga automatisme yang merupakan ciri khas epilepsi psikomotor dan biasanya berlangsung selama 1-2 menit, jarang lebih lama dari 5 menit.

H.    Terapi
1.      Terapi Non Farmakologi
Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat kecerdasan yang rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku (bihaviour disorders), gangguan emosi, hiperaktif.Hal ini harus mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya.Hubungan antara penderita dengan orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah tyerdapat proteksi berlebihan, rejeksi atau overanxiety.Bila perlu dapat diminta bantuan dari psikolog atau psikiater.
2.      Terapi Farmakologi
Setelah diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan. Semua orang yang menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang non-idiopatik, namun proses patologik yang mendasarinya tidak bersifat progresif aktif seperti tumor serebri, harus mendapat terapi medisinal. Obat pilihan utama untuk pemberantasan serangan epileptik jenis apapun, selain petit mal, adalah luminal atau phenytoin. Untuk menentukan dosis luminal harus diketahui umur penderita, jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan bila sudah diobati dokter lain. Dosis obat yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis luminal ialah 3-5 mg/kg/BB/hari, sedangkan orang dewasa tidak memerlukan dosis sebanyak itu. Orang dewasa memerlukan 60 sampai 120 mg/hari. Dosis phenytoin (Dilatin, Parke Davis) untuk anak-anak ialah 5 mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 5-15 mg/kg/BB/hari. Efek phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru terlihat dalam lima hari. Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15 mg/kg/BB/hari (kira-kira 800 mg/hari) harus dipergunakan.
Efek antikonvulsan dapat dinilai pada ‘follow up’. Penderita dengan frekuensi serangan umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati dibanding dengan penderita yang mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada kunjungan ‘follow up’ dapat dilaporkan hasil yang baik, yang buruk atau yang tidak dapat dinilai baik atau buruk oleh karena frekuensi serangan sebelum dan sewaktu menjalani terapi baru masih kira-kira sama. Bila frekuensinya berkurang secara banding, dosis yang sedang dipergunakan perlu dinaikan sedikit. Bila frekuensinay tetap, tetapi serangan epileptik dinilai oleh orangtua penderita atau penderita epileptik Jackson motorik/sensorik/’march’ sebagai ‘enteng’ atau ‘jauh lebih ringan’, maka dosis yang digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah sedikit. Jika hasilnya buruk, dosis harus dinaikan atau ditambah dengan antikonvulsan lain.
Terapi Pengobatan Epilepsi :
1.      Obat pertama yang paling lazim dipergunakan: (seperti: sodium valporat, Phenobarbital dan phenytoin)
-         Ini adalah anjuran bagi penderita epilepsi yang baru,
-         Obat-obat ini akan memberi efek samping seperti gusi bengkak, pusing, jerawat dan badan berbulu (Hirsutisma), bengkak biji kelenjardan osteomalakia.
2.      Obat kedua yang lazim digunakan: (seperti: lamotrigin, tiagabin, dan gabapetin)
-         Jika tidak terdapat perubahan kepala penderita setelah mengunakan obat pertama, obatnya akan di tambah dengan dengan obatan kedua.
-         Lamotrigin telah diluluskan sebagai obat pertama di Malaysia.
-         Obat baru yang diperkenalkan tidak dimiliki efek samping, terutama dalam hal kecacatan sewaktu kelahiran.

Berikut ini adalah obat-obatan yang sering digunakan untuk menangani apabila terjadi kejang:
Obat
Bentuk Kejang
Dosis
mg/kgbb/hari
1
Fenobarbital
Semua bentuk kejang
3-8
2
Dilatin (difenilhidantoin)
Semua bentuk kejang kecuali bangkitan petit mal, mioklonik atau akinetik.
5-10
3
Mysoline (primidon)
Semua bentuk kejang kecuali petit mal
12-25
4
Zarotin (etosuksinit)
Petit mal
20-60
5
Diazepam
Semua bentuk kejang
0,2-0,5
6
Diamox (asetasolamid)
Semua bentuk kejang
10-90
7
Prednison
Spasme infantil
2-3
8
Dexametasone
Spasme infantil
0,2-0,3
9
Adrenokortikotropin
Spasme infantil
2-4

I.       Study Kasus
Seorang  laki - laki, usia 26 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan jatuh dari kursi di depan TV. Sebelumnya pasien merasa silau saat menghidupkan TV dan tiba – tiba terjatuh dan kemudian tidak sadar akan kejadian selanjutnya. Ayah pasien melaporkan bahwa setelah pasien jatuh, kemudian pasien mengalami kejang pada seluruh tubuh berkelenjotan dan kaku – kaku, kemudian pingsan kurang lebih 5 menit dan tertidur setelahnya, mulut tidak berbusa. Pasien sering mengalami hal serupa jika kecapekan. Serangan biasa didahului oleh rahang yang mengatup – ngatup dan tangan kanan yang menyentak – nyentak seakan mau memukul orang lain. Pasien sering mengalami hal seperti ini sejak umur 20 tahun. Riwayat pengobatan epilepsi sejak usia 25 tahun. OS sering tidak teratur meminum obat tersebut. Keluarga pasien tidak ada yang menderita seperti ini. Pemeriksaan fisik dan neurologis tidak didapatkan kelainan. Pada pasien ini tidak dilakukan elektorensefalografi.
Pemeriksaan
Pasien ini memenuhi kriteria epilepsi dengan tipe serangan tonik klonik dari keluhan yang ada, dengan gejala berupa silau saat menghidupkan TV dan tiba – tiba terjatuh, kejang pada seluruh tubuh berkelenjotan dan kaku – kaku, kemudian pingsan kurang lebih 5 menit dan tertidur setelahnya. Riwayat pengobatan sebelumnya dengan obat antiepilepsi meyakinkan diagnosis epilepsi pada pasien ini dan mendukung bahwa elektroensefalografi bukan suatu syarat dalam penegakan diagnosis epilepsi.
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi adalah menentukan dengan pasti diagnosa epilepsi. Sebelum pengobatan dimulai, diagnosis epilepsi harus ditegakkan. Tidaklah tepat untuk menganggap seorang sebagai penyandang epilepsi jika hanya mengalami satu serangan saja. Diagnosis epilepsi dapat dibuat dengan cukup pasti dari anamnesis lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan neurologik serta elektroensefalografi.
Diagnosis
Epilepsi dengan tipe serangan Tonik Klonik (Grand Mal)

J.      Resep
Dilakukan pengobatan dengan obat anti epilepsi yaitu tablet fenitoin 100 mg tiap 12 jam dan ditambah dengan 1 tablet asam folat tiap 12 jam setiap hari sampai minimal 2 tahun bebas dari serangan . Edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga agar meminum obat secara teratur, rutin kontrol, dan mengurangi aktivitas fisik yang berlebihan.





DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)

Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC

Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005

1 komentar:

  1. Terimakasih artikelnya bagus.
    Saya juga mau informasikan tentang obat epilepsi bila anda minat klik Terimakasih artikelnya bagus.
    Saya juga mau informasikan tentang Obat Epilepsi

    BalasHapus