INTERAKSI OBAT
Obat merupakan
bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan
kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan.
Interaksi obat
adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-bahan lain
tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode
(polifarmasi ) digunakan bersama-sama.
Pasien yang
dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam
obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat
mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan
penyakit atau usia.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan
atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan
probenesit: probenesit menghambat sekresi penilcillin di tubuli ginjal sehingga
meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan
efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi:
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti
kanker: juga meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4) kombinasi
obat anti tuberculosis: memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat;
(5) antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing.
Interaksi obat
secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau
pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut
obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu
diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
A.
Interaksi Obat
Interaksi obat
adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-bahan lain
tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode
(polifarmasi ) digunakan bersama-sama.
Interaksi obat
secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau
pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut
obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu
diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
B.
Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat
terjadi pada berbagai tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolism dan
ekskresi. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia
(dalam tubuh) untuk menimbulkan efek farmakologinya. Interaksi farmakokinetik
tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan
terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat
farmakokinetiknya
- Absorpsi
Absorpsi obat tergantung pada formulasi farmasetik, pKa dan
kelarutan obat dalam lemak, pH, flora usus, dan aliran darah dalam organ
pencernaan. Dalam hal ini perlu dibedakan antara interaksi yang mengurangi
kecepatan absorpsi dan interaksi yang mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi.
Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan absorpsi, tidak bermakna secara
klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat.
Obat-obat yang
digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem
sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati
saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun
aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini
melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar
obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan
gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses
ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari
pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah
berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut
lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya
agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna.
Bila kecepatan
absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi,
terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak
plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan
absorpsi antara lain :
1.
Interaksi langsung
Interaksi secara
fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat
mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat
dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2
jam.
2.
Perubahan pH saluran cerna
Cairan saluran
cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan
obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin.
Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat
absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi
kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan
saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung
oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga
meningkatkan bioavailabilitasnya.
Ketokonazol yang
diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang
dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat
antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton
(misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan
sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
3.
Pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan
adsorsi
Interaksi antara
antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin,
lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent
dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+
dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari
absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena
terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas
antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi
dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian
fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi,
misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2 atau
inhibitor pompa proton dapat dilakukan. Beberapa obat antidiare (yang
mengandung atapulgit) menyerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi.
Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan
obat lain selama mungkin.
4.
Obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant)
Kolestiramin dan
kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya,
akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat
asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau
kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
5.
Perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya
pengosongan lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran
cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus).
- Distribusi
Setelah obat
diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja di mana obat
akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada
di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama
protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada
jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini.
Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi
depot untuk obat-obat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat
yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan
barbiturat. Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap
protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas
untuk berikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma protein binding)
dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang terikat. Obat yang
terikat albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak
terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau
lebih obat yang sangat kuat terikat protein digunakan bersama-sama, terjadi
kompetisi pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi
penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi
peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu obat tergeser dari
ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat
bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada pasien dengan
hipoalbuminemia kadar obat bebas atau bentuk aktif akan lebih tinggi.
Asam valproat
dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein dan juga menghambat
metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin
tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang
lebih besar. Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat.
Terapi kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan
penyesuaian dosis.
Obat-obat yang
cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat yang :
a.
persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)
b.
terikat pada jaringan
c.
mempunyai volume distribusi yang kecil
d.
mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah
e.
mempunyai rentang terapetik yang sempit
f.
mempunyai onset aksi yang cepat
g.
digunakan secara intravena.
Obat-obat yang mempunyai
kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari ikatan dengan protein adalah
asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid.
- Metabolisme
Banyak obat dimetabolisme di hati,
terutama oleh sistem enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh
suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan
pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesis protein, jadi efek maksimum
terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat
mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya
reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat
daripada induksi enzim.
Untuk
menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti
obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak.
Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut
air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal.
Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada
metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim
mikrosomal hati yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang
lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul
yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang
tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati
satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam
air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat
metabolisme fase I dari pada fase II.
Mekanisme interaksi akibat
gangguan metabolisme antara lain :
1.
Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa
meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat-obat
lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme warfarin sehingga
menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus
ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin
harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative
dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine.
Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone
steroid.
Barbiturat lain
dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga menyebabkan
induksi enzim.
Piridoksin
mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam
jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat melintasi sawar
darah otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu
penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat mencegah gangguan
aktivitas levodopa oleh piridoksin,
2.
Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat
juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak memperpanjang atau
meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi
produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang
memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan
azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase dapat secara bermakna meningkatkan
efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis
merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya.
Simetidin
menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi obat-obat
yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin,
teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidin tidak
mempengaruhi aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang
mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim
oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin
tidak mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif.
Eritromisin
dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti karbamazepin
dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon
seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui
mekanisme yang sama.
- Ekskresi
Obat dieliminasi melalui ginjal
dengan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif. Jadi, obat yang
mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat
lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang
mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat
yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati.
Kecuali
obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau
urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke
glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran
glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus.
Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran
darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif
yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel
tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk
mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena :
a.
Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b.
perubahan pH urin
c.
Perubahan aliran darah ginjal
C.
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah
interaksi antara obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama sehingga
terjadi efek yang sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik
merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda
dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,
karena penggolongan obat memang berdasarkan perlamaan efek farmakodinamiknya.
Disamping itu, kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya,
karena itu dapat dihindarkan bila dokter mengetahui.
Efek yang terjadi pada interaksi
farmakodinamik yaitu :
- Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme
antara dua obat yang bekerja pada sistem organ, sel atau enzim yang sama dimana
kekuatan obat pertama diperkuat oleh kekuatan obat yang kedua, karena efek
farmakologisnya searah, misalnya Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat, sedangkan
trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat
ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat
sebagai obat anti bakteri.
Bila jumlah kekuatannya sama dengan jumlah kekuatan masing-masing
obat disebut adisi atau sumasi, misalnya asetosal dan parasetamol. Bila jumlah
kekuatannya lebih besar dari kekuatan masing-masing obat disebut potensiasi,
misalnya, banyak diuretika yang menurunkan kadar kalium plasma,
dan yang akan memperkuat efek glikosid jantung yang mempermudah timbulnya
toksisitas glikosid, kemudian Penghambat
monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik
dan karena itu memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang
bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin.
- Antagonisme
Dimana
kegiatan obat pertama dikurangi atau ditiadakan sama sekali oleh obat yang
kedua, karena mempunyai khasiat farmakologi yang bertentangan, misalnya antagonis reseptor beta ( beta bloker) mengurangi efektifitas
obat-obat bronkhodilator seperti salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor.
Hal ini dapat disebabkan karena mempunyai reseptor yang sama sehingga terjadi
persaingan ( kompetitif ).
.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta
Ganiswara,
G, Sulistia., dkk. 1987. Farmakologi dan
Terapi Edisi 3. Bagian Farmakologi, fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Harkness Richard,
diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto. 1989. Interaksi obat. Penerbit ITB. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar