FARINGITIS
A.
Definisi
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu
penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan oleh bakteri atau virus tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang
tenggorok.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat
disebabkan akibat infeksi maupun non infeksi. Banyak microorganism yang dapat
menyebabkan faringitis, virus (40-60%) bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling
banyak teridentifikasi dengan Rhinovirus (±20%) dan coronaviruses (±5%). Selain
itu juga ada Influenza virus,
Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxsackie
virus A, cytomegalovirus dan Epstein-Barr
virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya
faringitis.
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 5-15% penyebab
faringitis pada orang dewasa. Group A streptococcus merupakan penyebab
faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan
pada anak berusia <3tahun. Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%)
antara lain Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans, Yersinia eneterolitica
dan Treponema pallidum, Mycobacterium
tuberculosis.
Faringitis dapat menular melalui droplet
infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab
faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan
yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.
Secara umum faringitis dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1.
Faringitis Akut
Faringitis
virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat penting. Beberapa usaha
dilakukan pada klasifikasi peradangan akut yang mengenai dinding faring. Yang
paling logis untuk mengelompokkan sejumlah infeksi-infeksi ini dibawah judul
yang relatif sederhana “Faringitis Akut”. Disini termasuk faringitis akut yang
terjadi pada pilek biasa sebagai akibat penyakit infeksi akut seperti eksantema
atau influenza dan dari berbagai penyebab yang tidak biasa seperti manifestasi
herpesdan sariawan.
2.
Faringitis Kronis
a.
Faringitis Kronis Hiperflasi
Pada faringitis kronis hiperflasi terjadi perubahan mukosa
dinding posterior. Tampak mukosa menebal serta hipertofi kelenjar limfe di
bawahnya dan di belakang arkus faring posterior (lateral band). Dengan demikian
tampak mukosa dinding posterior tidak rata yang disebut granuler.
b.
Faringitis Kronis Atrofi (Faringitis sika)
Faring kronis atrofi sering timbul bersama dengan rinitis
atrofi. Pada rinitis atrofi udara pernapasan tidak diatur suhu serta
kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi faring.
3.
Faringitis Spesifik
a.
Faringitis Luetika
1)
Stadium Primer
Kelainan pada stadium ini terdapat
pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding faring posterior. Kelainan ini
berbentuk bercak keputihan di tempat tersebut.
2)
Stadium Sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada
stadium ini terdapat pada dinding faring yang menjalar ke arah laring.
3)
Stadium Tersier
Pada stadium ini terdapat guma.
Tonsil dan pallatum merupakan tempat predileksi untuk tumuhnya guma. Jarang
ditemukan guma di dinding faring posterior.
b.
Faringitis Tuberkulosa
Kuman tahan asam dapat menyerang mukosa palatum mole,
tonsil, palatum durum, dasar lidah dan epiglotis. Biasanya infeksi di daerah
faring merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru, kecuali bila terjadi
infeksi kuman tahan asam jenis bovinum, dapat timbul tuberkulosis faring primer (Adams, 1997; 328 & Iskandar,
dkk, 1993;170)
B.
Patofisiologi
Pada stadium awal, terdapat hiperemia, edema, dan sekresi yang
meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal atau berbentuk mukus
dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hyperemia, pembuluh darah dinding
faring menjadi melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna putih, kuning, atau
abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tidak adanya tonsila,
perhatian biasanya difokuskan pada faring, dan tampak bahwa folikel atau
bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral,
menjadi meradang dan membengkak. Terkenanya dinding lateral, jika tersendiri,
disebut sebagai ”faringitis lateral”. Hal ini tentu saja mungkin terjadi, bahkan
adanya tonsila, hanya faring saja yang terkena (Mansjoer, 199).
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
bereaksi terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian oedem dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna kuning, putih, atau abu-abu terdapat pada folikel atau jaringan
limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan membengkak
sehingaa timbul radang pada tenggorok atau faringitis.
Faringitis bisa disebabkan
oleh virus maupun bakteri. Kebanyakan
disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab common cold, flu, adenovirus,
mononukleosis atau HIV. Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus
grup A, korinebakterium, arkanobakterium, Neisseria
gonorrhoeae atau Chlamydia pneumoniae.
1. Cara Penularan
Pada umumnya, infeksi ini menular melalui
kontak dan secret (lendir) dari hidung maupun ludah (droplet infection).
Gambar 1. Faringitis
Akut
a)
Virus, 80 % sakit
tenggorokan disebabkan oleh virus, dapat menyebabkan demam .
b)
Batuk dan pilek.
Dimana batuk dan lendir (ingus) dapat membuat tenggorokan teriritasi.
c)
Virus coxsackie (hand, foot, and mouth
disease).
d)
Alergi. Alergi dapat menyebabkan iritasi
tenggorokan ringan yang bersifat kronis (menetap).
e)
Bakteri streptokokus,
dipastikan dengan kultur tenggorok. Tes
ini umumnya dilakukan di laboratorium menggunakan hasil usap tenggorok pasien.
Dapat ditemukan gejala klasik dari kuman streptokokus seperti nyeri hebat saat
menelan, terlihat bintik-bintik putih, muntah – muntah, bernanah pada kelenjar
amandelnya, disertai pembesaran kelenjar amandel.
f)
Merokok.
Gambar 2. Faringitis
Akut
Kebanyakan radang tenggorokan
disebabkan oleh dua jenis infeksi yaitu virus dan bakteri. Sekitar 80% radang
tenggorokan disebabkan oleh virus dan hanya sekitar 10-20% yang disebabkan
bakteri. Untuk dapat mengatasinya, penting untuk mengetahui infeksi yang
dialami disebabkan oleh virus atau bakteri streptokokus.
Infeksi virus biasanya
merupakan penyebab selesma (pilek) dan influenza yang kemudian mengakibatkan
terjadinya radang tenggorokan. Selesma biasanya sembuh sendiri sekitar 1 minggu
begitu tubuh Anda membentuk antibodi melawan virus tersebut (Adams dkk, 1997).
PATHWAY FARINGITIS
Droplet
Penyebab faringitis
dikarenakan oleh virus dan bakteri, seperti dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Virus
|
Bakteri
|
Jamur
|
·
Herpes
simplex virus
·
Rubela
·
Epstein barrvirus
·
Cytomegalovirus
·
HIV
tipe 1
·Rhinoviruses
·Coronaviruses
·Adenoviruses
·Influenza viruses
·Parainfluenza viruses
·Respiratory syncytial virus
|
·
Bakteri
Streptococcal
·
Bakteri
Staphylococal
·
Corynebacterium
diphtheria
·
Bordetella
pertussis
·
Neisseria
gonorrhoeae
·
Treponema
pallidum
·
Bakteri
lain
|
·
Candida
albicans
|
C.
Diagnosis
Diagnosis biasanya
dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarah
ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam menentukan organisme penyebab
faringitis, dan untuk membedakan faringitis karena bakteri atau virus.
Sangatlah penting untuk
mengetahui onset, durasi, progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang
menyertai seperti demam, batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi;
paparan infeksi, dan adanya penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan
lain-lain. Faring harus diperiksa apakah terdapat tanda-tanda eritem,
hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa, petechie dan adenopati. Juga
penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam, timbulnya
ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai faringitis
yang disebabkan oleh Sterptococcus, seorang dokter harus mendengar adanya suara
murmur pada jantung dan mengevaliasi apakah pada pasien terdapat pembesaran
lien dan hepar.
Apabila terdapat tonsil
eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan
meningkat sampai 380 C maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS.
1.
Pemeriksaan
Laboratorium
Kultur tenggorok :
merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari
faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang
akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring
posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik.
Kriteria standar untuk
penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99
%. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari.
2.
GABHS
rapid antigen detection test
a. Merupakan
suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan
menjadi indikasi jika pasien memiliki resiko sedang, atau jika seorang dokter
tidak nyaman memberikan terapi antibiotik dengan resiko tinggi untuk pasien.
Jika hasil yang diperoleh adalah positif maka pengobatan antibiotik yang tepat,
namun jika hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian
dilakukan follow-up
b. Hasil
kultur tenggorok negatif
c. Rapid
antigen detection tidak sensitive untuk Streptococcus
Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya.
D.
Terapi
1.
Non-farmakologi
a. Pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup
dan berkumur dengan air yang hangat.
b. Tirah Baring
c. Pemberian cairan yang adekuat
d. Diit ringan
e. Obat kumur hangat
Berkumur dengan 3 gelas air hangat. Gelas
pertama berupa air hangat sehingga penderita dapat menahan cairan dngan rasa
enak. Gelas kedua dan ketiga dapae diberikan air yang lebihhangat. Anjurkan
setiap 2 jam.
2.
Farmakologi
Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah
bakteri maka diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka cukup
diberikan analgetik dan pasien cukup dianjurkan beristirahat dan mengurangi
aktivitasnya. Dengan pengobatan yang adekuat umumnya prognosis pasien dengan
faringitis adalah baik dan umumnya pasien biasanya sembuh dalam waktu 1-2
minggu. Komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,
mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu
juga dapat terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis,
glomerulonefritis, demam rematik akut.
Hal ini terjadi secara perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.
Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000
U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari
selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin
4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid
telah menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi.
Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada
anak-anak 0,08-0,3 mg/kgBB/IM sekali. dan pada pasien dengan faringitis akibat
bakteri dapat diberikan analgetik, antipiretik dan dianjurkan pasien untuk
berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau antiseptik.
Pada faringitis
kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis
diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat diberikann obat batuk antitusif atau ekspetoran.
Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik
atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik
atrofi hanya ditambahkan dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga
kebersihan mulut.
DAFTAR PUSTAKA
Adams
GL, Boies LR, Higler PH. 1997. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C., dkk. 1997. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC
Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorok: Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK
UI. Jakarta; 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar